c

Sunday 6 February 2011

Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bahasa dan sastra Jawa merupakan refleksi budaya masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya telah berusia relatif tua. Dalam bahasa dan sastra Jawa tercermin nilai-nilai luhur menyangkut kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang bersifat universal. Bahasa krama misalnya, mendidik penuturnya untuk selalu bersikap menghormati orang lain sekaligus sikap rendah hati (lembah manah). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berusaha memperhatikan, melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa yang mencakup bahasa dan sastranya.

Pada zaman global ini, budaya lain akan masuk mempengaruhi budaya setiap bangsa, termasuk pada budaya Jawa. Sudah semestinya budaya Jawa bersikap selektif untuk menerima budaya lain agar tidak kehilangan jati diri. Dalam budaya Jawa hal ini telah diterapkan sejak lama, misalnya, dengan mendasarkan pada pepatah ngeli nanging ora keli yang dapat bermakna mengikuti perkembangan zaman tetapi bersikap selektif.
Buku yang berjudul Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa ini diharapkan dapat menjadi inspirasi langkah-langkah yang tepat dan realistis, demi pelestarian dan pemekaran bahasa dan sastra Jawa, yang merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Di samping itu, secara umum buku ini merupakan langkah realisasi nilai-nilai universal, yakni memayu hayuning bawana.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun yang telah bekerja keras dalam menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat berfaedah bagi siapa saja yang peduli terhadap mekarnya bahasa dan sastra Jawa, sehingga jati diri budaya bangsa terpelihara dengan disertai rasa bangga.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, Oktober 2008
Plt. Kepala Dinas

Dra. Dyan Anggraini Rais
NIP. 131860516


Kata Pengantar “Usung-usung Lumbung”


Setelah sedikit berlelah njajah desa milang kori dalam khasanah bahasa dan sastra Jawa, alhamdullillah wa syukurillah akhirnya masih bisa kami temukan beberapa genggam benih yang siap ditabur, sehingga segala rencana penyusunan buku Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa ini dapat kami selesaikan sebagaimana mestinya.
Buku yang dirancang sebagai pedoman pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa ini, diharapkan mampu menjadi cething yang mewadahi bernas-bernas yang memang jenis unggul, mentes, genjah, dan berasa pulen, dari butiran-butiran nilai aktivitas bahasa dan sastra Jawa. Meskipun hanya dimulai dengan beberapa butir, namun diharapkan taburan benih-benih dari cething kecil ini, dapat segera menjadi ijo royo-royo dan kemudian dapat dipanen melimpah untuk mencukupi kebutuhan pokok yang kita harapkan, bahkan memenuhi lumbung-lumbung lama dan mengisi lumbung-lumbung baru. Semoga tidak ada sisa-sisa yang harus terbuang. Damen-damen-nya segera mengenyangkan sapi-sapi kita yang lapar, dhedhak-nya sebagai bahan minuman kuda-kuda kita yang haus, bekatulnya menyembuhkan sakit beri-beri kita, dan merang-nya untuk keramas, pencuci kepala kita yang gatal. Kami juga berharap, agar kita bersama gumregah bangun pagi untuk segera gotong- royong ngupakara pertanian bahasa dan sastra Jawa kita dan bersama usung-usung lumbung untuk menemukan langkah terbaik.
Kami mesti berterima kasih kepada para pengrajin cething, para penyimpan benih, dan semua kanca-kanca tani yang telah bersusah payah menyiapkan lahan persemaian kembali bahasa dan sastra Jawa kita. Akhirnya atas segala kekurangan dan kesalahan, dalam rangka pengembaraan kami mencari benih hingga mempersiapkannya, kami mohon maaf sebanyak-banyaknya. Yogyakarta, Oktober 2008 Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

A. Visi dan Misi Pengembangan Kebahasan dan Kesasteraaan Visi bidang kebahasaan dan kesasteraan adalah menggali nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam berbagai peninggalan leluhur, berupa naskah atau teks-teks kebahasaan dan kesasteraan. Penggalian diarahkan pada penemuan dan pengembangan nilai budi luhur orang Jawa. Nilai luhur itu direlevansikan dengan kehidupan orang Jawa di Yogyakarta masa kini.
Visi tersebut terkandung pesan agar pemerintah propinsi DIY, khususnya seksi Kebahasaan memandang arti penting bahasa dalam konteks komunikasi budaya. Bahasa sebagai sarana komunikasi di dalamnya terkandung unsur seni, sastra, dan budaya adiluhung yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Tanggung jawab pelestarian dan pengembangan adalah pemerintah bersama rakyat. Oleh sebab itu pembinaan kebahasaan dan kesasteraan di DIY selalu berbasis pada komunitas dan kemasyarakatan.
Misi pemerintah khususnya seksi Kebahasaan terkait dengan tugas dan wewenang adalah mewujudkan Yogyakarta sebagai kota budaya. Berkaitan dengan hal ini pemerintah memiliki misi ke depan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang masih hidup dan dipakai secara luas di tiga propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 0leh karena itu, perlu rencana strategis yang disusun bersama oleh tiga propinsi untuk mengakomodasi permasalahan-permasalahan kebudayaan. Selain itu, program ini juga dapat sebagai sarana komunikasi dan tukar informasi mengenai masalah terkait dengan kebudayaan secara luas, termasuk bahasa, sastra, dan aksara yang berkembang di tiga propinsi.
Misi pemerintah sebagai kepanjangan tangan rakyat yang terdepan adalah menciptakan Yogyakarta berhati nyaman melalui kebahasaan dan kesasteraan secara proporsional. Itulah sebabnya diperlukan landasan filosofi kebijakan dan deskripsi program yang handal. Program-program yang kemudian dijabarkan dalam berbagai kegiatan sebagai upaya pemberdayaan dan pengembangan aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Basis pengembangan program tidak lain berupa pemberdayaan naskah kuna, membakukan aksara, bahasa, sasta, dan budaya Jawa melalui Lomba, Pelatihan, Kursus, Festival, konferensi, outbound, Sarasehan, kongres, dan pertemuan lain.
Berbagai kegiatan seperti pelatihan, diarahkan untuk memberikan bekal kepada 
masyarakat agar terampil menggunakan bahasa dan sastra Jawa dalam konteks komunikasi. Pelatihan yang akan diselenggarakan dalam upaya memberdayakan bahasa dan sastra Jawa, serta meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan terkait bahasa, sastra, dan budaya Jawa yang dilakukan secara serentak. Pelatihan-pelatihan ini direncanakan dilaksanakan secara terpadu selama periode tertentu. Pelatihan dilakukan oleh tenaga profesional di bidangnya. Sasaran pelatihan pranatacara dan sesorah berbahasa Jawa adalah masyarakat umum. Pelatihan nembang dan bengkel sastra, juga ditujukan untuk masyarakat umum, serta siswa-siswa SMP dan SMA di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh peserta pelatihan dapat mendaftar langsung maupun melalui instansi setempat.
Bengkel sastra adalah salah satu bentuk kegiatan kesastraan yang berfungsi sebagai sanggar pelatihan untuk mendalami nilai-nilai sastra. Selain itu, bengkel sastra juga berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan dan melatih daya kreativitas siswa serta memperkenalkan proses penciptaan karya sastra. Kegiatan bengkel sastra selama ini masih terarah kepada siswa dan guru yang diselenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta dimulai sejak tahun 2000 sampai sekarang. Dinas Kebudayaan tentu saja mempunyai tanggung jawab mengadakan kegiatan serupa, tidak hanya terbatas pada guru dan siswa, melainkan juga bagi masyarakat umum. Bengkel sastra Balai Bahasa Yogyakarta itu perlu dikembangkan lebih meluas pada santri pondok pesantren, organisasi profesi (misal: PSK) dan ke depan ingin merangkul para anak jalanan, nelayan, dsb. 

Adapun tujuan penyelenggaraan bengkel sastra adalah 
(1) peserta dapat mengenal, memahami, dan menghayati berbagai karya sastra, baik puisi, prosa, drama, macapat serta mengetahui perkembangannya; 
(2) peserta mampu bersikap kritis dan apresiatif terhadap karya sastra; 
(3) peserta dapat menyalurkan minat, bakat, dan kemampuannya berkarya sastra; dan (4) peserta yang telah mengikuti kegiatan
Program sarasehan, seminar, kongres, konferensi, dan festival diarahkan untuk menuju sebuah acara besar yaitu Kongres Bahasa Jawa V di Jawa Timur dan sekaligus menyongsong Kongres Budaya Jawa. Kegiatan itu berupaya membahas isu mutakhir kebudayaan, kebahasaan, seni, dan keskasteraaan direncanakan berjalan secara rutin setiap bulan, mulai bulan Januari sampai dengan Desember. Diharapkan kegiatan ini mampu menyerap partisipasi aktif masyarakat umum, budayawan, siswa, guru, dosen, teoritisi maupun praktisi, serta para pecinta aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa untuk berdialog sebagai upaya membuka jalan tengah dan solusi permasalahan seputar isu mutakhir aksara, bahasa, sastra, dan, budaya Jawa. Sedangkan seminar dan diskusi tentang pengelolaan kebudayaan akan melibatkan para pengelola kebudayaan yang terdiri dari seniman, budayawan, teoritisi, event organizer, travel biro, pengelola hotel, dalang, guru, wartawan media cetak dan elektronik. Seminar ini bertujuan untuk menyediakan forum bagi para pengeloia kebudayaan, bahasa, dan sastra agar dapat duduk bersama untuk bermediasi, membicarakan permasalahan seputar pengelolaan kebudayaan, sekatigus mencari jalan tengah untuk memecahkan persoalan yang mengemuka. Kegiatan direncanakan terselenggara pada bulan Juni sampai Desember.
Pemberdayaan bahasa, sastra, seni, dan budaya juga diselenggarakan lewat penyelenggaraan festival budaya nusantara, Festival Kesenian Yogyakarta, festival lagu dolanan anak, festival dalang, dan beber seni. Festival dan beber seni ini bertujuan untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai ikon destinasi pariwisata. Festival budaya nusantara diselenggarakan dalam lingkup nasional dengan sasaran masyarakat umum. Kegiatan ini direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Juli. Sedangkan waktu penyelenggaraan Festival Kesenian Yogyakarta dan beber seni menyesuaikan dengan jadwal rutin. Festival tahun ini diupayakan adalah partisipasi masyarakat. Maksudnya, masyarakat tidak hanya sebagai penonton, melainkan harus sebagai pelaku.
Berbagai macam lomba dan gelar prestasi akan diselenggarakan di Yogyakarta. Lomba bukan semata-mata mencari kemenangan, melainkan ke arah unjuk kebolehan dan prestasi puncak. Selama ini di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah berlangsung agenda rutin untuk menyelenggarakan Pekan Kreativitas Budaya Pelajar dan Porseni Pelajar. Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan merasa perlu untuk bekerjasama dengan dinas-dinas terkait, mendukung agenda rutin ini melalui program mendukung lomba. Perlombaan merupakan upaya merintis kaderisasi pemerhati bahasa dan sastra Jawa yang profesional. Perlombaan bahasa dan sastra dirancang tidak hanya berhenti sesaat, melainkan kontinuitas yang diutamakan. Lomba ini direncanakan terselenggara pada bulan Agustus dengan melibatkan masyarakat umum dan para pelajar SD sampai dengan SMA sebagai peserta.
Pekan budaya merupakan kegiatan yang merangkum serangkaian acara lomba terkait bahasa, sastra, dan budaya Jawa sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi bahasa, sastra, budaya, termasuk aksara Jawa. Pekan budaya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelenggarakan secara rutin. Pekan budaya akan memuat segala aktivitas budaya dan sastra secara komprehensif. Pekan budaya disertai dengan pendampingan budaya, agar masyarakat memahami apa yang diprogramkan pemerintah. Berkaitan dengan hal ini penciptaan Desa Budaya Jawa di Yogyakarta amat penting. Desa budaya ini juga menjadi penting bagi pengembangan wisata.
Melalui pendampingan desa budaya, keunikan suatu desa budaya dapat terkelola dengan baik, sehingga menjadi nilai lebih sebagai salah satu komoditas unggulan pariwisata. Kegiatan pendampingan direncanakan ditaksanakan secara terus menerus dan berkelanjutan dari bulan Januari sampai dengan Desember. Sasaran kegiatan adalah desa atau wilayah yang mempunyai keunikan budaya. Pendampingan desa budaya diarahkan ke desa yang berbasis Jawa. Dari sini diharapkan muncul kampung-kampung Jawa lokal yang berbasis global.
Pendampingan kegiatan budaya tradisi dilakukan dengan kerjasama antara dinas kebudayaan, dinas pariwisata, dinas pendidikan, lembaga lain yang terkait. Melalui pendampingan dan perbaikan sistem pengelolaan, diharapkan kegiatan budaya tradisi mampu menjadi salah satu tawaran menarik dalam industri pariwisata Kegiatan pendampingan budaya tradisi dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, sedangkan waktunya menyesuaikan dengan waktu penyelenggaraan budaya tradisi. 

Sasaran kegiatan ini adalah sanggar, kelompok-kelompok kesenian, paguyuban penghayat kepercayaan, yayasan budaya, serta kelompok kebudayaan, lembaga, desa, dan lain-lain yang merupakan penyelenggaran kegiatan budaya tradisi.
Perancangan dan perencanaan pembentukan Dewan Bahasa dan Dewan Sastra Jawa direncanakan pada bulan Februari yang akan datang. Dewan Bahasa Jawa diharapkan mewakili secara menyeluruh unsur-unsur, instansi, maupun institusi dengan bahasa Jawa sebagai bidang garapnya, begitu pula dewan sastra. Dewan bertugas memberi pertimbangan pemerintah di bidang pengembangan bahasa dan sastra. Sehingga kegiatan ini melibatkan perwakilan dari instansi, institusi, lembaga, dan unsur-unsur lain dengan bidang garapan bahasa Jawa untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk sebagai anggota Dewan Bahasa dan Sastra Jawa. Dewan bukan lagi ditunjuk dengan kedekatan teman, melainkan melalui proper test dan pemilihan secara sinergis.
Setelah serangkaian kegiatan perencanaan dan pembentukan Dewan Bahasa dan Sastra Jawa ditaksanakan, kegiatan selanjutnya adalah penyusunan program kerja Dewan Bahasa dan Sastra Jawa sebagai ancangan kerja untuk merevitatisasi bahasa Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyusunan program kerja pewan Bahasa Jawa diharapkan terselenggara pada bulan April.
Program pemberian penghargaan kepada penggiat bahasa, sastra, dan budaya Jawa bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Diharapkan pemberian penghargaan mampu menjadi motor penggerak agar bahasa, sastra, dan budaya Jawa tumbuh subur dan lebih dinamis. Program ini diancangkan tersetenggara pada bulan Mei, dan diberikan secara rutin setiap tahun. Penghargaan diberikan kepada penggiat bahasa, sastra, dan budaya Jawa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Program ini terbagi dalam tiga kegiatan, yaitu 
(1) Pengembangan budaya melalui kerjasama dengan media elektronik dan cetak untuk penyelenggaraan program budaya maupun hiburan yang bemilai tradisi 
(2) Pembuatan dan pengelolaan laman (website) tentang aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa, 
(3) Kerjasama dengan institusi intemasional, dan 
(4) Penelitian kebudayaan. Secara umum program ini bertujuan untuk mengembangkan budaya Jawa melatui pemanfaatan teknologi informasi.

Pengembangan budaya melalui kerjasama dengan media elektronik dan cetak untuk penyelenggaraan program budaya maupun hiburan yang bernilai tradisi. Media cetak dan elektronik merupakan media yang semakin berkembang seiring dengan jaman yang semakin mengglobal. Budaya Jawa juga tidak terlepas dari pengaruh kemajuan jaman. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah untuk berjalan selaras, mengikuti arus globalisasi tanpa harus hanyut di dalamnya. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan media cetak maupun media elektronik seperti koran, majalah, televisi dan radio untuk memuat dan menyiarkan program budaya sebagai upaya untuk pengembangan taudaya Jawa. Selain itu, program hiburan yang bernilai tradisi seperti campursari, kethoprak, dagelan, dan lain-lain juga perlu diekspose dan ditayangkan di media elektronik sebagai sarana penyebaran, pengenalan, dan pengembangan budaya Jawa. Kegiatan ini direncanakan dapat dilaksanakan secara rutin setiap minggu. Persiapan program dimulai pada bulan Januari, dan bulan April direncanakan program dapat disiarkan melalui media elektronik.
Pembuatan dan Pengelolaan Laman (Website) tentang Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Website merupakan sarana komunikasi dan informasi yang dapat diakses oleh semua orang di seluruh penjuru dunia. Melalui website bahasa, sastra, dan budaya Jawa, informasi. informasi terkait bahasa, sastra, dan budaya Jawa dapat disebarluaskan. Program pembuatan taman direncanakan mulai dirintis pada bulan Maret dan setanjutnya di-up date dan dikelola secara rutin oleh tim khusus. Laman ini diharapkan dapat menjadi media komunikasi dan informasi bagi para pemerhati bahasa, sastra, dan budaya Jawa di seluruh dunia.
Melalui Dinas Kebudayaan Propinsi DIY sebagai pelopornya, diharapkan kerjasama dengan institusi intemasional dapat terjalin secara luas, berkelanjutan, semakin berkembang, serta menguntungkan kedua belah pihak. Program ihi direncanakan mulai dirintis pada bulan Maret. Sebagai langkah awali, kerjasama terkait dengan pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa diharapkan terjalin dengan institusi intemasional terutama di Suriname dan Belanda.
Permasalahan seputar kebudayaan merupakan subjek yang menarik untuk diteliti. Melalui penelitian, beragam masalah kebudayaan dapat teridentifikasi, teranalisis, dan pada akhirnya akar permasalahan sekaligus solusinya dapat ditemukan dan diterapkan langsung untuk mengatasi masalah-masalah terkat dengan kebudayaan. Oleh karena itu, penelitian kebudayaan diajukan sebagai satah satu program kerja yang direncanakanakan dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan Desember dengan lokasi penelitian di wilayah DIY. B. Dasar Pentingnya Bahasa Jawa Diakui atau tidak, bahasa Jawa itu sebagai busananing bangsa. Bahasa adalah ekspresi budaya. Sebagai busana, bahasa Jawa akan terpakai terus senyampang orang Jawa itu ada. Orang Jawa sebagai pengguna bahasa Jawa, tentu akan memelihara supaya pakaiannya bersih dan berwibawa. Orang Jawa akan selalu berprinsip bahwa bahasanya itu tidak sekedar penghias, tetapi menjadi pakaian yang indah dan berguna.
Bahasa Jawa amat penting dalam percaturan hidup masa kini. Dalam aktivitas hidup di YogyakartaYang dimaksud bahasa Jawa ini tidak terlepas dari aspek sastra, budaya, seni, dan budaya. Maka pentingnya bahasa Jawa juga berkaitan dengan aspek tersebut. Bahasa sebagai busana bangsa, akan melekat pada berbagai aspek tersebut. Maka kebijakan pengembangan bahasa Jawa sulit lepas dari aspek-aspek penting itu. Paling tidak, bahasa Jawa akan menjadi wahana komunikasi praktis, teoritis, dan esensial dari berbagai aspek tersebut.
Dalam setiap jengkal hidup manusia Jawa, sulit lepas dari penggunaan bahasa Jawa. Dalam kehidupan apa pun, jarang yang mampu melepaskan aspek bahasa, sastra, budaya, seni, dan budaya Jawa. Yang perlu dipahami, bahwa kehidupan bahasa dan sastra Jawa pada era global ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan peradaban manusia yang penuh dengan kemajuan teknologi informasi, frekuensi dan intensitas interaksi, dan komunikasi manusia antar benua yang makin meningkat. Itulah sebabnya penyiapan kebijakan bahasa dan sastra Jawa di era mendatang perlu disiapkan secara masak. 
Ada berbagai alasan mendasar mengapa harus melestarikan dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa, yaitu: sebagian orang beranggapan bahwa pelestarian bahasa, sastra, dan budaya adalah sekedar mengelus-elus, tanpa upaya aktif untuk berbuat yang lebih spektakuler. Namun ada pula yang beranggapan bahwa pelestarian warisan budaya termasuk bahasa adalah tidak diperlukan karena bertentangan dengan paradigma masa kini yang serba efisien, praktis dan pragmatis selaras dengan kemajuan peradaban dan teknologi.
Jawaban atas pertanyaan maupun persepsi masyarakat tentang pelestarian dan pengembangan kebudayaan tersebut tertuang didalam rumusan filosofis dibawah ini: (1) budaya etnik khas lokal merupakan pilihan style hidup dan kebanggaan identitas, jati diri dalam kancah pergaulan global antar bangsa, 
(2) potensi budaya khas etnik (tangible clan intangible), 
(3) budaya warisan dapat digunakan sebagai keberadaan obyek maupun destinasi.
Dalam situasi seperti itu, kondisi dan kehidupan bahasa dan sastra Jawa menunjukkan fenomena yang kompleks dan sebaliknya justru strategis dan menantang. Di satu sisi, bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi dan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang. Di lain pihak, sering ada penutur yang hendak menghalangi tumbuh kembangnya bahasa dan aksara Jawa. Fenomena yang kedua ini berarti menunjukkan bahwa belum tahu manfaat bahasa dan sastra Jawa.
Yang perlu diketahui, jumlah penutur bahasa Jawa sangat besar yaitu kurang lebih 80 juta orang. Masyarakat Jawa masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi baik di lingkungan formal maupun informal, bahkan non formal. Masyarakat Jawa mempunyai komitmen yang kuat untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa secara serius. Hal ini yang menjadikan bahasa dan sastra Jawa mempunyai potensi dan daya tarik untuk dikaji ulang. Bahasa dan sastra Jawa perlu diformat, diteliti, digerakkan agar memenuhi fungsinya di masyarakat.
Masalah kebahasan dan kesastraan Jawa tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat Jawa telah terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang barn, seperti pemberlakuan pasar bebas dalam rangka globalisasi akibat perkembangan teknologi informasi yang amat pesat maupun pemberlakuan otonomi daerah. Teknologi informasi mampu menerobos batas ruang dan waktu sehingga keterbukaan tidak dapat dihindarkan. Kondisi itu telah memengaruhi perilaku masyarakat Jawa dalam bertindak dan berbahasa. Oleh karena itu, agar kita tetap mampu bersaing dan sekaligus berperan dalam kancah kehidupan global seperti itu, diperlukan sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas, bertanggung jawab, berdisiplin, dan memunyai kompetensi yang tinggi.
Memaknai pemahaman tentang manusia yang berkualitas dan berkompetensi, tersirat suatu tuntunan bagi insan Indonesia untuk akrab dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mencapai hal itu, bahasa memegang peran yang amat penting dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Sebagai sarana komunikasi, bahasa menjadi sarana utama bagi seseorang untuk menginfomasikan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis. Di pihak lain, manusia yang mampu berkomunikasi dengan baik dan secara kritis mampu pula menyerap substansi sumber bacaan ilmiah sehingga dapat berperan dalam menghadapi tantangan zaman. Di samping sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan sarana berpikir. Melalui bahasa, berbagai hal yang dihadapi dan terjadi di sekelilingnya dapat dipahami dan dicerna dengan baik sehingga dapat menambah kematangan pribadi seseorang. Hal itu membuktikan bahwa peningkatan mutu sumber daya manusia hanya akan menjadi impian semata tanpa peningkatan kemampuan berbahasa.
Disadari atau tidak atau tidak di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, pemakaian bahasa dan sastra Jawa juga memiliki beberapa kelemahan. Minat generasi muda untuk menggunakan makin berkurang. Generasi muda kurang bangga berbahasa Jawa. Adanya persepsi di kalangan generasi muda Jawa bahwa mempelajari bahasa dan sastra Jawa itu sangat sulit. Partisipasi para pejabat dan tokoh masyarakat dalam menggunakan bahasa Jawa masih lemah. Kemauan politik untuk melindungi dan mempertahankan bahasa sastra, dan budaya Jawa secara sungguh-sungguh belum ada. Meskipun demikian, bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi dan peluang untuk tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di lingkungan masyarakatnya, karena keunggulankeunggulan tertentu. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa masih menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, serta dapat memberikan kontribusi untuk membentuk kepribadian bangsa. 

Bahasa dan sastra Jawa sekurang-kurangnya memiliki tiga arti penting, yaitu: 
(1) bahasa dan sastra Jawa berperan penting dalam komunikasi hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa atau bernegara, 
(2) bahasa dan sastra Jawa memiliki peranan penting dalam komunikasi barik dalam forum ilmiah dan non ilmiah, 
(3) bahasa dan sastra Jawa memiliki peranan sebagai pembangun budi pekerti luhur bangsa. 

Melalui tiga peran itu diharapkan bahasa dan sastra Jawa selalu dibina, dilestarikan, dan dikembangkan agar fungsi itu tetap berjalan terus hingga belum tahu sampai kapan.
C. Bahasa Jawa sebagai Alat Komunikasi Komunikasi di mana pun tidak akan lepas dari bahasa. Bahasa Jawa pada dasarnya telah lama dipegang teguh oleh orang Jawa sebagai wahana komunikasi yang esensial. Komunikasi berbahasa Jawa akan membangun budaya dan budi pekerti luhur. Dalam komunikasi bahasa dan sastra Jawa ada ungkapan menarik yang disampaikan Mendagri, H. Mardiyanto, tanggal 21 Oktober 2008 di pendapa Kantor Bupati Bayumas yaitu sing kalah aja ngamuk sing menang aja umuk. Ungkapan yang bernuansa Pemilu ini, sebagai upaya mengingatkan khalayak agar dalam peristiwa berbahasa dan berbudaya selalu dijaga ketenteraman. Dalam kaitan ini, ternyata orang berbahasa dan bersastra bisa menyulut kemarahan atau sebaliknya kerendahan hati asalkan disampaikan secara proporsional.
Kemampuan berkomunikasi yang baik dan cara berpikir yang kritis dalam menghadapi setiap tantangan baru pada gilirannya dapat melahirkan sikap apresiatif terhadap nilai-nilai yang terkandung pada karya-karya sastra. Dalam hubungan itu, tidak dapat dinafikan bahwa karya-karya sastra mengandung nilai-nilai yang dapat memperhalus akal budi dan amat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan. Dengan demikian, kemampuan mengapresiasi karya-karya sastra juga berperan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia pada era global. Oleh karena itu, masalah bahasa dan sastra perlu digarap dengan sungguhsungguh dan berencana supaya tujuan akhir pembinaan bahasa dan sastra Jawa dalam rangka peningkatan pelayanan kebahasaan di Indonesia dapat dicapai.
Pemformatan bahasa dan sastra Jawa dalam komunikasi dengan sendirinya membutuhkan kemampuan berhubungan melalui budaya. Bahasa tidak lepas dari budaya dalam komunikasi, maka kemampuan berbudaya menjadi prasyarat dalam berbagai ragam komunikasi. Bahasa Jawa di Yogyakarta telah sejak era kolonial menjadi alat komunikasi baik di tingkat formal, informal, dan non formal. Komunikasi menggunakan bahasa Jawa dipandang paling efektif, sebab antara satu pihak dengan pihak lain akan mudah saling kenal dan saling menghormati. Hadirnya tatakrama dan atau unggah-ungguh bahasa Jawa tampak lebih praktis untuk membangun komunikasi yang efektif.

Atas dasar KBJ IV di Semarang yang lalu, bahasa Jawa tetap harus ditumbuhsuburkan sebagai bahan komunikasi. Keputusan Kongres tersebut menggariskan bahwa Pendidikan Formal Menekankan kembali berlakunya Keputusan Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta tahun 2001, bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD/MI,SMP/MTs,SMA/SMK/MA di tiga Provinsi, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur. Bahasa Jawa di sekolah harus ditumbuhkembangkan menjadi alat komunikasi. Paling tidak hal ini dapat ditempuh dengan hadirnya program Javanese Day, ditiap-tiap sekolah. Sekolah yang mempelopori penggunaan bahasa Jawa dengan sendirinya menjadi pionir kemajuan bahasa dan sastra Jawa. Komunikasi bahasa Jawa secara estetis dapat dibangun dengan menciptakan lomba-lomba penciptaan geguritan, macapat, dongeng dan lain-lain agar siswa tidak lepas pemakaian bahasa Jawanya. Pembelajaran bahasa Jawa harus bersifat kontekstual, memanfaatkan teknologi informasi, mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif, serta dapat dimulai dari varian bahasa setempat sebagai titik tolak untuk mengajarkan bahasa Jawa baku. Pembelajaran seyogyanya diarahkan ke aspek komunikasi berbahasa dan bukan teori-teori berbahasa Jawa yang menjemukan. 
Komunikasi menandai bahwa bahasa Jawa itu masih hidup. Jika dalam pembelajaran antara guru dengan siswa selalu berbahasa Jawa, berarti bahasa Jawa tetap akan jaya di Yogyakarta. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu mengajarkan unggah-ungguh dan bahasa Jawa sinandi untuk menanamkan nilai kesantunan dan budi pekerti. Ketepatan penggunanan unggah-ungguh akan mencerminkan perilaku bahasa dan sastra Jawa yang memadai. Hal ini menjadi cermin komunikasi efektif dan efesien berbahasa dan sastra Jawa.
Selain itu, tindak berbahasa perlu memahami dua hal penting, yaitu: 
(1) ngudi sejatining becik, artinya dalam komunikasi tidak ada yang merasa arogan. Komunikasi bahasa dan sastra akan membangun insan yang berbudi luhur, perlu bertindak yang ke arah berbudi bawa leksana. Mereka itu orang yang komunikasi berbahasanya amat mulia; 
(2) perlu dilandasi dengan sikap eling, artinya ingat. Ingat bahwa Pangeran itu ada, tetapi diri manusia itu bukan Pangeran. Maksudnya, manusia dalam komunikasi berbahasa, 
(3) kebenaran itu ada dua kebenaran, yaitu bener mungguhing Allah dan bener manut kang lagi kuwasa. Maksudnya, kedua kebenaran itu yang paling hakiki adalah kebenaran Tuhan. Benar bagi yang sedang berkuasa itu ada dua macam, yaitu yang sesuai dengan Tuhan dan tidak sesuai. Maka dalam berbahasa, perlu membangun komunikasi yang enak, kepenak, sabutuhe, saolehe. Yang penting pengguna bahasa dan sastra Jawa tidak merusak atau mengganggu ketenteraman orang lain. Itulah sebabnya dalam komunikasi perlu ditata berbagai hal terkait dengan bahasa dan sastra Jawa dalam komunikasi tradisi, adat, budaya, sosial, politik, kekuasaan, dan sebagainya. Hal ini perlu disadari, sebab bahasa dan sastra Jawa amat luas cakupannya. Di mana saja akan ada konsepsi dan praktisi pemakaian bahasa dan sastra Jawa. Dalam kaitan ini, pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa perlu ditingkatkan melalui berbagai kegiatan, seperti lomba, sarasehan, pelatihan dan kursus. Manusia itu bisa melakukan apa saja dalam berbahasa, tetapi kekuasaan tetap pada Tuhan. Itulah sebabnya, penataan bahasa dalam lembaga keagamaan, lembaga kemasyarakatan, lembaga pemerintahan, dan lembaga kebudayaan perlu memberikan dukungan dalam pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. D. Realita Penggunaan Bahasa Jawa di Yogyakarta Penggunaan bahasa Jawa di kalangan Yogyakarta sulit dipungkiri. Dalam berbagai event bahasa Jawa masih eksis. Di lingkungan keraton, negara, petani, dan generasi muda masih memanfaatkan bahasa Jawa. Apalagi Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya, sehingga bahasa menjadi ruhnya. Orang Yogyakarta yang dikenal santun, luruh, nglembah manah, dan penuh kedamaian perlu dikembangkan dalam penggunaan bahasa.
Yogyakarta adalah wilayah kecil, tetapi pemakai bahasa Jawa amat luas. Pemakai bahasa Jawa semakin meluas seiring dengan kultur orang Jawa Yogyakarta yang semakin bertambah. Orang Jawa Yogyakarta melalui proses perpindahan penduduk secara administratif dan alamiah, pasti akan menambah pemakai bahasa Jawa. 

Realitas menunjukkan, minat generasi muda sekarang (anak-anak, remaja, pemuda) untuk menggunakan bahasa dan mengapresiasi sastra Jawa semakin berkurang. Kenyataan itu disebabkan oleh beberapa hal, di samping generasi sekarang kurang bangga berbahasa (dan berapresiasi sastra) Jawa, juga adanya persepsi bahasa mempelajari bahasa dan sastra Jawa itu sulit.
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan mempunyai berbagai macam jenis kebudayaan. Bahasa dan sastra daerah (Jawa) merupakan khasanah budaya yang memiliki arti penting dalam pembentukan identitas jati diri bangsa, melalui bahasa seluruh pengertian, pemikiran, kepercayaan clan tata nilai kelompok masyarakat dapat diwujudkan. Dengan kata lain bahasa mencerminkan semua aspek budaya masyarakat pemiliknya.
Bahasa daerah (Jawa) dapat memberikan kontribusi yang cukup penting dalam pembentukan kebudayaan nasional, maupun jati diri sebagai identitas suatu bangsa, yang dalam perkembangannya bahasa Jawa dewasa ini semakin tersingkir dan terdesak oleh bahasa nasional ataupun bahasa asing (Inggris) yang kelihatan lebih terpandang. Atas dasar pemikiran di atas maka Dinas Kebudayaan sebagai suatu instansi yang berkecimpung dalam pembinaan, pengembangan dan pelestarian kebudayaan memandang perlu diadakan kegiatan yang berhubungan dengan upaya pembinaan, pengembangan dan pelestarian.
Terlebih lagi, partisipasi para tokoh dalam menggunakan bahasa Jawa masih lemah, di samping befum ada kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melindungi dan mempertahankan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Kondisi ini dapat dipahami karena kini kita (masyarakat Jawa) berada datam situasi gamang akibat semakin kuatnya pengaruh budaya global sebagai konsekuensi perkembangan teknologi informasi.

Hal semacam ini akan menyebabkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu: 
(1) orang sering lupa diri, sehingga melupakan jati diri dan harga diri, sampai melupakan bahasa dan sastra Jawa, 
(2) orang sering mengingatkan dengan ungkapan berbahasa Jawa berbunyi sing waras ngalah, artinya yang berpikiran jernih sebaiknya mengalah. Bahasa Jawa sering dipakai di Yogyakarta ini ekspresi emosional terutama oleh generasi muda. Maka tugas bangsa di DIY ini adalah menata agar seseorang itu santun berbahasa Jawa. 

DIY sebagai wilayah yang terletak di area persebaran, pertumbuhan, perkembangan, dan perpindahan berbagai kerajaan Jawa, dikenal sebagai wilayah yang kaya akan peninggalan aset budaya hasil peradaban masa lampau bernilai tinggi, baik warisan budaya fisik (tangible) maupun budaya non tisik (intangible). Banyak aspek bahasa dan sastra Jawa yang kasat mata dan tidak kasat mata di Yogyakarta sebagai gudang budaya, sehingga perlu direvitalisasi ke depan. Yogyakarta menjadi poros bahasa dan sastra Jawa yang selalu menarik, tetapi belum dipetakan secara spesial. Paling tidak dapat diidentifikasi pengaruh beberapa dinasti kerajaan di Jawa yang mewarnai keberadaan (budaya) DiY antara lain kerajaan Mataram kuno pada abad ke 7 yang didirikan oleh Dapunta Syelendra, kerajaan Mataram Hindu yang didirikan dan 
diperintah oleh dinasti Sanjaya pada tahun 717 s/d 925 AD, kerajaan Mataram Islam yang didirikan dan diperintah oleh dinasti Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 sampai dengan 1755, serta Kasultanan Ngayogyakarto yang didirikan dan diperintah oleh dinasti Hamengkubuwono pada tahun 1755 sekarang dengan didampingi oleh otorita Pakualaman. Kedua keraton ini telah banyak melegitimasi penggunaan bahasa dan sastra Jawa. Kekuasaan keraton telah menjadi barometer penggunaan bahasa Jawa halus yang sering ditiru berbagai kalangan.
Dalam budaya global ini di DIY cenderung menggunakan bahasa Jawa dalam konteks serba cepat, praktis, mekanis, dan pragmatis sehingga apa-apa yang berbau lokal, etis-filosofis, cenderung ditinggalkan. Tambahan lagi media dan terbitan berbahasa Jawa kian terbatas sehingga pembinaan dan penyebaran bahasa dan sastra Jawa, juga para penulisnya makin terbatas (berkurang pula). Walaupun begitu, diyakini bahasa dan sastra Jawa mengandung nilai-nilai luhur, dan nilai-nilai luhur itu masih sering menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan masyarakat serta dapat memberi kontribusi untuk membentuk kepribadian bangsa. Karena itu, bagaimana pun, bahasa dan sastra Jawa di DIY perlu terus dikembangkan dan diberdayakan kepada seluruh masyarakat penutur bahasa Jawa. Lalu bagaimana cara yang dapat ditempuh agar bahasa dan sastra Jawa berdaya dan berkembang? 
Berkaitan dengan realitas penggunaan bahasa Jawa di DIY, yang berlangsung di dunia pendidikan, sanggar-sanggar, paguyuban, bidang keagamaan, bidang politik, perlu ditata sedemikian rupa. Pemerintah dengan sendirinya terpanggil untuk melakukan dua kegiatan pokok: 
(1) re-thinking, memikirkan ulang kebijakan bahasa dan sastra Jawa yang sesaui dengan realitas kebutuhan masyarakat, 
(2) merajut kembali, penggunaan bahasa dan sastra Jawa dalam berbagai tatanan hidup, dengan tetap memperhatikan aspek seni, budaya, dan bidang lain yang mendukung.
Yang terpenting lagi, kebijakan yang hendak diambil oleh pemerintah terkait dengan bahasa dan sastra Jawa, selalu memperhatikan realitas bahasa Jawa dan remaja. Kedua tingkat umur ini sering dijadikan sentral karena anak dan remaja adalah ujung tombak masa depan bangsa. Manakala di tingkat realita anak dan remaja di DIY masih aktif menggunakan bahasa Jawa, memanfaatkan sastra, seni, dan budaya Jawa, ke depan akan cemerlang. Realitas itulah yang menjadi perhatian pokok pemerintah setempat. E. Tugas Pengayom Bahasa dan Sastra Jawa Pengayom bahasa dan sastra Jawa di Yogyakarta amat banyak. Pengayom ada yang bersifat formal, informal, dan nonformal. Yang dimaksud pengayom adalah pelindung bahasa dan sastra Jawa, yang bertugas melestarikan, membina, mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengkomunikasikan bahasa dan sastra Jawa. Pengayom tidak hanya birokrat dan teknokrat, melainkan juga masyarakat yang secara langsung maupun tidak bersentuhan dengan bahasa Jawa.
Tugas pengayom bahasa dan sastra Jawa sampai kini kian berat, sebab perlu memahami pengaruh budaya global (termasuk terhadap kehidupan makin kuat sehingga bahasa dan sastra Jawa terpinggirkan. Pengaruh teknologi informasi terhadap kehidupa masyarakat makin kuat, sehingga kegiatan berbahasa dan bersastra Jawa makin tidak diminati oleh masyarakat perlu diwaspadai oleh para pengayom. Jika hal ini tidak dipahami, akan menciptakan kondisi bahasa dan satsra Jawa, termasuk di dalamnya seni dan budayanya semakin terpuruk. 
Semestinya Yogyakarta yang yang memiliki media massa bahasa dan sastra Jawa juga perlu menjadi bagian pengayom. Media massa seperti Djaka Lodang, Sempulur, Mekar Sari (Kedaulatan Rakyat), Jagad Jawa (Harian Jodja), Pagagan (Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta), perlu menata diri sebagai pengayom bahasa Jawa. Media elektronik seperti Jogja TV, TVRI, RBTV, Tugu TV, RRI, Radio Rasia Lima, Radio Sasando, dan sebagainya adalah media penting yang menjadi pengayom bahasa dan sastra Jawa. Peran media massa tersebut sampai saat ini masih perlu diformat agar memiliki andil yang khas terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa. Jumlah media massa berbahasa Jawa mseemang makin terbatas sehingga pembinaan dan penyebaran bahasa dan sastr Jawa juga makin terbatas. Terbitan berbahasa Jawa kurang laku yang menyebabkan para penulis makin berkurang perlu mendapat perhatian para pengayom lain.
Yang sekarang perlu diperhatikan dalam aktivitas pengayom bahasa dan sastra Jawa adalah harus menciptakan aktivitas yang bersinergis. Kerjasama antar pengayom perlu ditata yang lebih efektif dan efesien. Pewarisan nilai-nilai luhur budaya Jawa yang terkandun dalam bahasa dan sastra Jawa kepada generasi muda maki lemah dan itu berakibat makin lunturnya kesadaran generasi muda untuk melestarikan bahasa dan sastra Jawa. Fakta menunjukkan bahwa lembaga-lembaga formal dan informal seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Balai-Balai Bahasa, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta, Yayasan Kinanti, Masyarakat Tradisi Bantul, Kesawa, semestinya lebih banyak memberikan perhatian pada kedudukan, peran, dan fungsi bahasa sastra Jawa di Yogyakarta. Berdasarkan fakta diatas, keberadaan bahasa dan sastra Jawa perlu mendapat perhatian dari semua pihak sebagai pengayom. Strategi yang perlu ditempuh pengayom, perlu disusun yang sinergis, mapan, dan strategis. Bahasa Jawa secara yuridis harus memiliki payung hukum, secara sosial dan budaya harus mendapat perhatian masyarakat, dan secara finansial harus mendapat alokasi dana yang jelas untuk pemberdayaannya. Pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa menjadi tanggung jawab pengayom di Yogyakarta secara menyeluruh. Pengayom perlu duduk bersama untuk membangun pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa yang hebat. F. Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa Melalui Kearifan Lokal Sampai saat ini istilah kearifan lokal masih problematis. Yang dimaksud apa, kabur. Jika lokal itu etnis, daerah, kurang jelas. Karena, etnis sendiri masih dapat dibagi menjadi lokal-lokal lain. Orang menangkap lokal, bisa menterjemahkan hal yang sempit secara georgafis. Katakan saja kearifan lokal Jawa. Berarti, Jawa sebagai lokal etnis.
Anehnya, kearifan yang ”dipandang” lokal, sering ada yang mengglobal. Mondial. Hal ini tidak perlu dianggap repot. Toh akhirnya, yang mendunia pun akarnya lokal. Maksudnya, seluruhnya berasal dari jati diri lokal. Jika begitu, lokal bisa juga merujuk pada jati diri. Boleh-boleh saja. 
Saya memandang, kearifan lokal juga dari dan untuk selingkungnya. Namun, kebermaknaan yang lokal itu sering ditarik ke batas luas. Hingga menyebabkan yang lokal tetapi bermuatan global. Atas dasar ini, dapat saya simpulkan kearifan lokal adalah kebijaksanaan (kawicaksanan) yang berasal dari dan untuk lokal maupun mondial. Kearifan termaksud bersifat abadi. Kearifan itu tulus.
Kearifan lokal, saya nyatakan sebagai gumpalan makna. Di dalamnya ada jaring-jaring makna. Di dalamnya pula ada jutaan bahkan milyaran makna. Maka, kearifan lokal juga ibarat sumur, tak akan habis ditimba maknanya, di musim kemarau sekalipun. Dia, menurut hemat saya memiliki sifat open interpretation. Oleh sebab itu, sebuah kearifan lokal dapat ditafsir apa saja, menurut konteks dan kebutuhan. Kearifan lokal merefer pada aspek daya nalar. Karena, kata arif berarti bijak. Bijak, memiliki daya nalar yang jernih. Orang bijak, adalah yang mampu berpikir dengan nalar sempurna. Sebagai misal, andai kata pemerintah mengadili pencuri ayam dengan koruptor milyaran adil, berarti bijak (arif). Sebaliknya, jika pengadilan terkesan emban cindhe emban siladan, artinay tak arif.
Dalam kearifan lokal terkenadung local genius. Bahkan, tak diragukan lagi local emotional-nya. Itulah pemikir yang menggunakan konsep ’nalapadhanga”. Misal, seorang A (pegawai bank) diminta mengisi kamar yang penuh apa saja, jika dipenuhi dengan uang ratusan ribu ditata miring – orang itu tak bijak, karena instrumentalis. Orang lain seorang B (petugas pengairan), mungkin akan mengisi kamar dengan air, penuh, juga kurang bijak, karena lebih materialis. Sementara yang lain C (dukun), akan mengambil lampu 40 watt, teranglah kamar itu. Mindset yang dibangun sang spiritualis, cenderung menggunakan inteligensi spiritualis. Apapun yang mereka gunakan dalam mengambil kebijakan, sah-sah saja. Yang penting, efesiensi dan efektivitas semestinya dipegang oleh orang arif. Orang yang arif, memang wicaksana. Dalam bertindak, biasanya penuh pertimbangan. Hal ihwal kearifan ini, sebenarnya telah include dalam budaya Jawa. Pijar-pijar kearifan lokal Jawa, telah lekat di benak orang Jawa. Sayangnya, banyak pihak masih belum mau tahu tentang hal ini.
Kearifan lokal Jawa, amat banyak macamnya. Sendi-sendi hidup orang Jawa, hampir semuanya berupa kearifan lokal. Tak sedikit orang Jawa yang memiliki bundhelan (bothekan), memuat kearifan lokal. Masalahnya, memang ada kearifan lokal yang semestinya ditinjau ulang. Jangan-jangan kearifan lokal termaksud sudah tidak sesuai dengan jaman. Misalkan saja, ungkapan alon-alon waton klakon, masih relevankah? Paling tidak, jika kurang relevan, tentu membutuhkan penafsiran kembali. Kecuali itu, masalahnya merasakah kita memiliki kearifan lokal yang demikian indah dan kaya itu. Jika ya, implementasi bagaimana. Jangan-jangan sekedar dilisankan atau ditulis sebagai prasasti hidup, sayang sekali. Oleh karena, tanpa ada niat tulus untuk mengimplimentasikan kearifan itu dalam hidup utuh, sia-sia. Jadi sampah, bukan? Nyaris seperti ’kotoran kuda’ di aspal jalan raya.
Terus terang, KBJ 4 kemarin, tidak membicarakan masalah kebijakan kearifan lokal. Jika mencermati makalah yang masuk, sebagian besar menuju value reflection. Arisan nilai yang terjadi di arena kongres. Tentu debat nilai harus terjadi. Jadi, kalau hari ini harus membuat rencana strategis (renstra) kearifan lokal, patut merenungkan ulang atas nilai itu.
Dari kongres tersebut, potret keputusan yang telah dirancang via makalah, harus terjadi. Biarlah. Kini yang perlu dicermati adalah beberapa ’putusan ’ penting kearifan lokal dari KBJ 4 di bawah ini: 1. Sumber-sumber kearifan lokal yang ada dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa antara lain berupa ungkapan, tuturan, ajaran, pepiridan, unen-unen, dan lain-lainnya perlu diidentifikasi dan diintrepretasi; 2. Dari bahasa dan sastra Jawa benyak terkandung nilai-nilai luhur: tentang kejiwaan, kepercayaan, keyakinan dan spiritualitas (aspek Ketuhanan Yang Maha Esa), kebersamaan, toleransi, rela berkorban, dan semangat 'mamayu hayuning sasama' (aspek Kemanusiaan yang adil dan beradab), semangat cinta tanah air, dan 'mamayu hayuning nusa Bangsa' (aspek Persatuan Indonesia), semangat rela berkorban, 'sepi ing pamrih rame ing gawe' (aspek Kerakyatan), 'adil paramarta, 'sing sapa salah seleh' (aspek Keadilan). 3. Hasil identifikasi terhadap kearifan lokal yang ada perlu dikaji dan diintrepretasi agar menjadi sumber inspirasi untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dalam rangka mewujudkan ketahanan budaya dan ketahanan Bangsa; 4. Masyarakat Jawa sebagai kelompok mayoritas memiliki peranan yang cukup besar dalam memberdayakan nilai-nilai dan kearifan lokalnya dalam mewujudkan persa-tuan dan kesatuan bangsa berdasarkan makna Bhineka Tunggal Ika. 5. Kearifan lokal perlu diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui upaya-upaya nyata di berbagai aspek, kehidupan. G. Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa di Era Otonomi Daerah Di era global, otonomi daerah (Otda), dan gejala multikultural ini, banyak pihak selalu meragukan terhadap eksistensi budaya Jawa. Budaya Jawa selalu dianggap marginal, kurang bergengsi, kolot, kurang kompetitif, dan selalu dipertaruhkan. Bahkan seringkali, entah secara riil (blak-blakan) maupun terselubung, masih ada yang mempertanyakan kemampuan budaya Jawa jika harus kontak dengan percaturan budaya lain.
Kenyataan yang sulit dipungkiri itu menggejala, karena khalayak (awam) sering memandang dengan ‘kacamata hitam’ dan sebelah mata terhadap budaya Jawa, terutama budaya tradisi. Seringkali mereka belum mengetahui esensi budaya Jawa yang kaya akan keluhuran. Gerak jiwa dan karya lahiriah orang Jawa, yang menurut Partokusumo (1995:109) didasari naluri: memayu hayuning sarira (memelihara keselamatan diri), memayu hayuning bangsa, dan juga memayu hayuning bawana (menjaga keselarasan, ketenteraman, keselamatan dunia) – mungkin kurang menyentuh dan jarang dirujuk sebagai suatu keunggulan budaya oleh pihak lain. Akibat dari semua itu, memang tidak terlalu salah jika “pengajaran budaya Jawa” pun menjadi kurang berdampak luas. Hal ini juga diakui oleh pihak Depdiknas, bahwa selama tiga tahun terakhir seakan-akan kita gagal dalam membentuk budi pekerti bangsa (2000:3). Padahal, jika nation and character building ini terabaikan cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Bangsa kita yang selama ini dikenal berbudaya, bisa jadi kelak dituding menjadi kurang beradab.
Dengan demikian, kini yang menjadi tantangan budaya Jawa, adalah bagaimana ‘membuka mata’ generasi baru dan dunia luas agar mengangguk, salut, yakin, dan percaya. Ini jelas bukan hal yang mudah, jika tanpa ketekunan dan proses yang mendasar. Karena itu, perlu upaya meyakinkan dunia modern bahwa budaya Jawa ternyata bersifat terbuka, luwes, lentur, toleran momot (akomodatif), dan optimistik. Perlu strategi baru khususnya mengahadapi era otonomi daerah yang memerlukan persaingan ketat ini, agar pihak lain mau ‘angkat topi’ kalau budaya Jawa menyimpan keistimewaan, seperti pandangan Robert J Keyle (1998), peneliti antrophologi Australia, yang menyatakan: orang Jawa suka meredam (tidak senang konflik), bersikap ‘ngalah’ (mengalah), mawas diri, dan mengendalikan diri. Lebih jauh lagi, perlu strategi baru agar kebudayaan Jawa memiliki nyali sebagai modal pencerahan hidup manusia. Antara lain, kalau budaya tersebut mampu menjadi komponen pencipta good governance (Nasikun, 2001:2). Ini semua adalan tantangan berat, yakni bagaimana langkah strategis agar budaya Jawa itu tidak lagi sebagai legitimasi kekuasaan, instrumen liberasi, melainkan mampu menciptakan civil society di era global, otonomi daerah, dan multikultural. Tantangan budaya Jawa di era global dan multikultural ini, sesungguhnya bisa datang dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam, adalah datang dari pemerhati budaya Jawa itu sendiri dan tantangan dari luar berasal dari orang di luar komunitas budaya Jawa. Misalkan saja adanya percobaan perumusan budaya Jawa oleh ‘orang kita’ yang selama ini ‘memojokkan’ dan ‘melemahkan’ perlu ditinjau kembali. Seperti halnya yang terungkap dalam buku Manusia Jawa tulisan Marbangun Hardjowirogo (1989:11-26) yang menegatifkan budaya Jawa, yakni bersikap lamban, perasa, feodalistik, suka menggerutu, fatalistik, dan lain-lain. Betulkah sajian semacam ini didasarkan tinjauan secara kritis. Belum lagi ditambah dengan munculnya buku Ciri Budaya Manusia Jawa oleh J Tukiman Taruna yang seakan-akan menganggap orang Jawa juga negatif dalam berpikir tentang hidup dan kehidupan, seperti sikap nylekuthis, masih perlu ditinjau ulang. Lebih tajam lagi, Eki Syahrudin, mantan anggota Komisi VII DPR RI menyatakan dengan getol ketika seminar bertajuk Membangun Sikap dan Perilaku Budaya Bangsa Indonesia Abad XXI, 17 Desember 1997 di Taman Mini Indonesia Indah – bahwa budaya Jawa yang cenderung bersifat kratonik itu sudah kurang layak sebagai modal menyongsong abad XXI nanti. Budaya stratik itu harus dirombak, diganti dengan budaya demokratik. Pasalnya, budaya kratonik itu justru menghambat kemajuan dan kreativitas bangsa. Budaya semacam ini, sering ‘anti kritik’, melainkan lebih ke arah ‘ABS’ (asal bapak senang) dan jilatisme. 
Implementasi budaya Jawa yang kraton life dan terlalu hirarkhis itu, menghendaki bawahan harus patuh. Bawahan harus bisa ngapurancang, tutup mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih, jika pinjam istilah Darmanta Jatman. Budaya ini akan ‘mematikan’ prestasi. Kurang memupuk jiwa untuk berkembang secara wajar. Memang menyakitkan sentilan tajam begitu, meskipun pada satu sisih juga ada benarnya. Anehnya, lontaran yang semi tendensius itu juga digugah ulang (dikukuhkan) oleh pemakalah berikutnya, Taufik Abdullah, peneliti LIPI. Dalihnya, budaya Jawa hanya sering bersumber dari mitos-mitos dan idiom Jawa yang kurang egaliter. Ini semua, jika kita ingin maju, harus dikikis. Seperti halnya orang Jawa yang mengagungkan tokoh Gatutkaca yang bisa terbang gara-gara memiliki kotang Antrakusuma, sekarang mestinya yang perlu dicari adalah ‘antrakusumalogi’. Pernyataan semacam itu, sebenarnya terlalu ‘sembrana’ dan tergesa-gesa. Mereka memandang esensi budaya Jawa hanya ‘ringan’ dan ‘hampa’. Maka, tugas pemerhati budaya terutama dalam bidang pengajaran adalah menyisihkan asumsi-asumsi minir agar budaya Jawa mampu dikedepankan dan memiliki fungsi nyata bagi pembangunan budi pekerti bangsa. Karena itu, jika terpaksa harus melakukan re-evaluasi dan revitalisasi budaya Jawa pun, tidak perlu diragukan. 
Usulan begitu juga pernah dilontarkan oleh Sujamto (1992) pakar budaya Jawa Jateng, katika harus menjawab komentar Sutan Takdir Alisyahbana dan Moktar Lubis yang menunjuk berbagai kelemahan budaya Jawa, antara lain budaya Jawa dianggap kurang demokrat. Asumsi ini tentu hanya suatu ‘kecerobohan’, muaranya sekedar tesis kultural yang kurang proporsional yang harus dikaji ulang kesahihannya. Sekarang, kata Umar Kayam bahwa tantangan kebudayaan Jawa yang paling serius dalam menggalang konsep kebudayaan baru adalah kondisi multikultural serta ketimpangannya. Dapatkah dari kemajemukan dan ketimpangan kondisi itu dikembangkan ke suatu kultur baru yang homogin? Ataukah justru kondisi yang majemuk ini, merupakan dinamika yang menguntungkan untuk membangunan solidaritas baru. 
Tantangan budaya Jawa berikut adalah konsekuensi dari kehendak kita untuk membuka pintu budaya lebar-lebar. Tidak hanya untuk kebudayaan daerah lain, namun juga bagi budaya asing yang ikut terbawa arus globalisasi dan multikultural. Masalah ini juga menghendaki kiat baru untuk mem-package budaya Jawa agar mampu menjadi penyaring masuknya budaya lain.



Grand Strategi Ketahanan Budaya (Summary) 2008

BAB 1.
PENDAHULUAN


1.1. LATAR BELAKANG

Visi Propinsi DIY tahun 2020 yang dicanangkan pada tahun 2003 antara lain mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka¡¨. Dalam perkembangannya, sampai saat ini belum menunjukkan indikasi adanya peningkatan secara nyata dalam pencapaian visi tersebut. Hal ini disebabkan salah satunya karena belum tersedia instrumen yang menjabarkan gambaran yang jelas dari kondisi yang akan dicapai, tahapan-tahapan untuk mencapai kondisi secara terukur, serta peran dan cakupan yang jelas ketugasan masing-masing stakeholder.

Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu potensi unggulan bagi pembangunan daerah di samping sektor-sektor industri ekstraktif atau berorientasi ekspor lainnya. Lebih-lebih bagi Propinsi DI Yogyakarta, yang kekayaan potensi sumber daya alam relatif terbatas untuk diandalkan sebagai sektor utama pembangunan perekonomian. Bagi DI Yogyakarta, yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota budaya, maka atribut tersebut sesungguhnya secara riil menyiratkan keunggulan kompetitif Yogyakarta dalam kerangka pembangunan daerah. Dalam kaitan ini sumber daya manusia dan sumber daya budaya serta pariwisata menjadi komponen unggulan pembangunan ekonomi DI Yogyakarta.

Peluang Pembangunan Kebudayaan
Pembangunan budaya memiliki karakter dan sifat interdependensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, dan bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar untuk mengembangkan potensi sumber daya yang ada. Demikian pula halnya dengan pembangunan kepariwisataan, dikembangkan dengan bertumpu pada keunikan, kekhasan dan kelokalan, sehingga pengembangan pariwisata untuk DIY harus bersama-sama dengan pengembangan kebudayaan yang akan berjalan inheren untuk memperkukuh jati diri dan ketahanan budaya.

Dengan demikian pengembangan budaya dan pariwisata harus dilakukan dalam sistem yang utuh dan terpadu, bersifat interdisipliner dan partisipastif. Dengan memahami konteks keterkaitan yang sangat kuat tersebut, maka pembangunan budaya dan pengembangan kepariwisataan sesungguhnya dapat menciptakan suatu sistem atau pola pembangunan yang secara efektif dapat merangkul dan menggerakkan seluruh elemen-elemen pembangunan daerah.

Tantangan Pembangunan Kebudayaan
Pembangunan kebudayaan dalam konteks Propinsi DI Yogyakarta maupun nasional saat ini dihadapkan pada suatu tantangan fenomena universal yaitu era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya yang satu dengan yang lainnya.

Pertemuan nilai-nilai budaya atau kontak budaya dapat menghasilkan dua kemungkinan yaitu : pertemuan dengan tanpa menghasilkan nilai-nilai baru (asimiliasi) serta pertemuan dengan menghasilkan nilai-nilai baru yang bermakna (akulturasi). Agar bisa mengambil manfaat dalam proses pertemuan budaya tersebut maka setiap bangsa harus berusaha untuk meningkatkan ketahanan budaya masyarakatnya. Hal tersebut sangatlah mendasar, karena tanpa adanya usaha untuk meningkatkan ketahanan budaya secara memadai maka kebudayaan lokal atau nasional bukan saja tidak akan mampu memberi kontribusi dalam pembentukan kebudayaan global, akan tetapi lebih daripada itu akan sangat mudah larut dalam pertemuan antar budaya sehingga tidak memiliki suatu identitas yang dapat dibanggakan.

Oleh karena itu dalam lingkungan yang semakin menuju kepada kecenderungan homogenitas nilai, maka aspek-aspek keunikan lokal, nilai-nilai budaya lokal akan menjadi suatu unsur yang sangat signifikan dalam peta hubungan antarbangsa. Unsur-unsur keunikan dan kearifan lokal yang tercermin melalui komponen-komponen warisan budaya, mempertegas peran dan arti penting warisan budaya dalam kancah interaksi lintas bangsa. Pembangunan kebudayaan di era global justru harus semakin memperkuat aspek-aspek kelokalan, dengan tetap menempatkan diri untuk berpikir secara global.

Pembangunan budaya diharapkan akan dapat meningkatkan pelestarian kebudayaan lokal/ daerah dan pengembangannya sebagai wahana membangun bangsa dan watak bangsa, yang dapat diwujudkan melalui upaya-upaya :
1. Melindungi kebudayaan lokal sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan gejala yang menimbulkan kerusakan, kerugian atau kemusnahan kebudayaan daerah,
2. Mengembangkan potensi kebudayaan dalam rangka pembangunan daerah untuk kepentingan pendidikan, agama, ekonomi, ilmu pengetahuan, kepariwisataan dan lain-lain.

Bertolak dari deskripsi di atas, serta kompleksitas dalam perencanaan program pengembangan kebudayaan, maka diperlukan kecermatan dalam mengembangkan strategi untuk mewujudkan Visi Yogyakarta 2020. Upaya perumusan dan pengembangan kebudayaan untuk mewujudkan jati diri dan ketahanan budaya perlu melibatkan berbagai stakeholder secara terpadu dan sinergis.

GRAND STRATEGY KETAHANAN BUDAYA (GSKB) dalam kajian ini lebih dimaknai sebagai pengembangan keunggulan budaya DIY. Dengan demikian, GSKB merupakan rancangan total terpadu berjangka panjang dalam upaya mewujudkan DIY sebagai pusat budaya terkemuka.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988: 991), kata UNGGUL bermakna (1) lebih tinggi (pandai, baik, cakap, kuat, awet, dsb.) dari pada yang lain-lain; (2) utama (terbaik, terutama),: (3) menang. Kata keunggulan dimaknai (1) keadaan (lebih) unggul; (2) keutamaan; (3) kepandaian (kecakapan, kebaikan, kekuatan, dan sebagainya) yang lebih dari pada yang lain-lain. Kata keunggulan secara leksikal menunjuk kepada keadaan yang lebih positif dari pada yang lain-lain.
Dalam konteks kajian ini, keadaan yang lebih positif dimaksudkan dalam hal aspek menejerial. Di samping itu, keadaan yang lebih¡¨ itu dapat pula dimaknai sebagai suatu ciri khas atau keunikan dibanding dengan yang lain-lain.

Dengan demikian, pengembangan keunggulan pengelolaan budaya Yogyakarta berarti pengelolaan budaya Yogyakarta dengan segala kekhasan dan keunikannya secara lebih terarah dan terpadu.
Keunggulan Yogyakarta yang memberikan kekhasan dalam kehidupan masyarakat dapat diidentifikasikan sebagai berikut.
1. Perilaku masyarakat yang berkiblat pada nilai-nilai adiluhung ke-Yogyakarta-an,
2. Keberlangsungan adat dan tradisi yang tercermin dalam keseharian kehidupan masyarakat,
3. Keberlangsungan kesenian dalam masyarakat
4. Lestarinya Kawasan Cagar Budaya dan Desa Budaya yang terjaga keberlangsungannya.
5. Perkembangan tata ruang dan daya dukung lingkungan Yogyakarta yang lestari dan berlanjut
6. Keberadaan museum sebagai representasi perkembangan budaya Yogyakarta

Berdasarkan atas uraian di atas, selanjutnya penjabaran akan dikategorikan dalam aspek-aspek sebagai berikut:
1. Sikap mental dan perilaku masyarakat
2. Adat, tradisi, dan seni budaya
3. Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
4. Tata fisik dan lingkungan
5. Desa budaya
6. Permuseuman

Dalam kerangka rencana strategis tersebut, perlu dirumuskan gambaran yang jelas dari keadaan yang akan dicapai, tahapan-tahapan pencapaian secara terukur, dan keterlibatan yang jelas dari masing-masing stakeholder. Hasil dari jabaran tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai seperangkat panduan yang nantinya diharapkan dapat menjadi acuan dalam perumusan program mewujudkan Visi Yogyakarta 2020.


1.2. MAKSUD, TUJUAN, DAN SASARAN

1.2.1. Maksud
Kegiatan Penyusunan Grand Strategi Ketahanan Budaya Propinsi DIY 2008 ¡V 2020 dimaksudkan untuk menyusun rumusan kondisi aset dan kehidupan budaya yang diinginkan pada tahun 2028 yang memberi indikasi DIY sebagai pusat budaya terkemuka sebagai target pencapaian utama, rencana pentahapan lima tahunan disertai target dan parameter pencapaian, rekomendasi bentuk partisipasi dan kontribusi pihak-pihak terkait sesuai dengan rencana pentahapan dalam upaya mewujudkan DIY sebagai komunitas budaya terkemuka.

1.2.2. Tujuan
Tercapainya kesamaan arah secara sinergis dan terpadu dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam upaya memperoleh hasil secara efektif dan efisien mencapai produk akhir pada tahun 2028 mewujudkan DIY sebagai regional komunitas budaya terkemuka.

1.2.3. Sasaran
1) Dokumen Grand Strategi Ketahanan Budaya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
2) Rumusan Kondisi dan Kehidupan Budaya yang memberi indikasi DIY sebagai pusat budaya terkemuka pada tahun 2028
3) Rencana pentahapan lima tahunan disertai target dan parameter pencapaiannya



BAB 2.
VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN,
DAN KEBIJAKAN



2.1. VISI DAN MISI

2.1.1. VISI
Visi Pengembangan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ke depan dirumuskan sebagai berikut :





2.1.2. MISI
Misi Pengembangan Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dirumuskan sebagai berikut :
1) Melestarikan, mengembangkan, dan memanfaatkan budaya Yogyakarta dalam perspektif kebhinekatunggalikaan kebudayaan nasional dan keberagaman kebudayaan internasional
2) Melestarikan budaya Yogyakarta dengan melaksanakan preservasi, konservasi, revitalisasi, reinterpretasi, dan regenerasi, melalui sosialisasi, edukasi, apresiasi, advokasi, dan pelembagaan.
3) Mengembangkan budaya Yogyakarta dengan melakukan transformasi, adopsi, adaptasi, inovasi, dan promosi.
4) Memanfaatkan aset budaya Yogyakarta dengan melakukan investasi, pemasaran, dan membentuk jejaring.


2.2. TUJUAN DAN SASARAN

2.2.1. Tujuan
Tujuan pengembangan kebudayaan untuk mewujudkan Visi Pengembangan Kebudayaan adalah sebagai berikut:
1) Meningkatnya sikap mental masyarakat yang unggul dan yang tetap berorientasi pada nila budaya Yogyakarta
2) Meningkatnya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan kegiatan adat tradisi dan seni budaya Yogyakarta
3) Meningkatnya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB dan KCB di Yogyakarta
4) Meningkatnya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan tata fisik arsitektur yang bernuansa Yogyakarta
5) Meningkatnya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan desa budaya di Yogyakarta
6) Meningkatnya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan museum di Yogyakarta

2.2.2. Sasaran
Sasaran yang akan dicapai dalam upaya pengembangan kebudayaan DI Yogyakarta adalah :

A. Sikap Mental dan Perilaku Masyarakat
1) Terumuskan tata nilai budaya Yogyakarta sebagai acuan pengembangan sikap mental dan perilaku masyarakat
2) Terselenggaranya sistem edukasi yang mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan, budaya, dan pariwisata
3) Terbentuknya agen pelestarian nilai budaya Yogyakarta
4) Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa Jawa
5) Meningkatnya sikap mental masyarakat Yogyakarta yang disiplin, jujur, taat hukum, mandiri, gigih, bertanggung jawab, toleran, rukun, bersatu, proaktif, kreatif, inovatif, dan memiliki hospitality, sympathy, dan empathy dengan tetap berorientasi pada nila budaya Yogyakarta.


B. Adat dan tradisi
1) Terbentuknya sistem data base bidang adat dan tradisi yang akurat dan terkini dengan ditunjang pemanfaatan teknologi informasi
2) Terreinterpretasikannya berbagai sistem nilai yang terkandung dalam kegiatan adat dan tradisi sehingga tidak bertolak belakang dengan ajaran-ajaran agama yang dianut masyaraka
3) Apresiasi masyarakat terhadap kegiatan adat dan tradisi semakin meningkat
4) Terwujudnya sistem edukasi yang mantap untuk mendukung regenerasi adat dan tradisi budaya Yogyakarta
5) Meningkatnya jumlah kemasan kegiatan adat dan tradisi sebagai objek dan daya tarik wisata

C. Kesenian
1) Tersusunnya data base kesenian yang lengkap, baik di tingkat daerah kabupaten kota maupun provinsial
2) Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap kegiatan kesenian
3) Meningkatnya kemampuan SDM di bidang kesenian (pelaku dan pengelola)
4) Terciptanya regulasi yang kondusif dalam pelestarian dan pengembangan kesenian
5) Meningkatnya jaringan kerjasama dan kemitraan di bidang kesenian Yogyakarta di tingkat nasional dan internasional
6) Fasilitas penunjang terbangun dalam berbagai level
7) Yogyakarta sebagai etalase seni bertaraf internasional

D. Benda Cagar Budaya dan Kawasan cagar Budaya
1) Tersusunnya sistem informasi yang lengkap, akurat dan mutakhir terkait dengan BCB dan KCB
2) Tersusunnya seperangkat peraturan daerah yang mengakomodasikan bagi upaya pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan BCB dan KCB di wilayah DI Yogyakarta.
3) Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap upaya pelestarian dan pengembangan BCB dan KCB
4) Meningkatnya fungsi BCB dan KCB untuk pengembangan budaya, ekonomi, dan pendidikan masyarakat
5) Terwujudnya BCB/KCB dan lingkungannya yang lestari
6) BCB dan KCB menjadi objek dan daya tarik wisata bertaraf internasional

E. Tata Fisik dan Lingkungan
1) Teridentifikasikan dan terumuskan tata fisik bangunan dan lingkungan yang mampu mengungkapkan karakter Yogyakarta secara integratif dan dinamis
2) Kebutuhan ruang terbuka di Yogyakarta dapat dipahami dan disepakati bersama antar stakeholder
3) Perangkat perundangan untuk pengembangan karakter tata fisik dapat disusun dan disosialisasikan dengan baik
4) Ruang publik yang ada mengalami peningkatan kualitas, serta peningkatan kuantitas secara bertahap ruang-ruang publik yang baru
5) Terimplementasinya peraturan perundangan tentang tata fisik dan lingkungan yang berkarakter Yogyakarta

F. Desa Budaya
1) Masyarakat apresiatif dan partisipatif dalam pengelolaan desa budaya
2) Kegiatan seni dan budaya masyarakat tumbuh dan berkembang dengan didukung fasilitas yang memadai
3) Desa-desa budaya di seluruh wilayah Provinsi DI Yogyakarta menjadi desa budaya yang mandiri
4) Desa budaya berkembang sebagai objek dan daya tarik wisata yang bermuatan lokal dan berkualitas internasional

G. Permuseuman
1) Meningkatnya kualitas dan kuantitas informasi benda koleksi museum
2) Meningkatnya kapasitas SDM pengelola museum
3) Meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana penunjang di lingkungan museum
4) Meningkatnya citra museum di masyarakat luas
5) Lembaga museum menjadi salah satu objek dan daya tarik wisata yang wajib dikunjungi oleh wisatawan

2.3. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN
Kebijakan pengembangan kebudayaan yang akan dilakukan untuk mewujudkan Visi Yogyakarta di bidang kebudayaan adalah sebagai berikut:

2.3.1. Sikap Mental dan Perilaku Masyarakat
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek sikap mental dan perilaku masyarakat adalah sebagai berikut.
1) Revitalitasi nilai-nilai budaya Yogyakarta sebagai rujukan sistem nilai dan totalitas perilaku kehidupan masyarakat
2) Mengembangkan agen dan pamong pelestarian budaya Yogyakarta
3) Revitalisasi Bahasa Jawa dalam kehidupan masyarakat
4) Mengembangkan kepribadian unggul melalui pendidikan formal
5) Mengembangkan pendidikan bagi masyarakat untuk membentuk sikap mental dan perilaku berbudaya Yogyakarta
6) Menegakkan hukum dalam kehidupan masyarakat

2.3.2. Adat dan Tradisi
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek adat tradisi dan seni budaya adalah sebagai berikut.
1) Mengembangkan sistem data base adat dan tradisi yang lengkap, akurat, dan mutakhir
2) Mengidentifikasi dan mereinterpretasi nilai-nilai budaya yang terkandung dalam berbagai kegiatan adat dan tradisi.
3) Meningkatkan penghargaan dan kepedulian masyarakat terhadap adat dan tradisi
4) Mengembangkan edukasi bagi masyarakat tentang budaya Yogyakarta
5) Mengembangkan konsep dan rancangan paket wisata adat dan tradisi yang berbasis pada pelestarian nilai-nilai budaya

2.3.3. Kesenian
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek kesenian adalah sebagai berikut.
1) Mengembangkan sistem data base kesenian yang lengkap, akurat, dan mutakhir
2) Mengembangkan sistem edukasi bagi pembelajaran masyarakat di bidang kesenian
3) Meningkatkan peran kelembagaan tradisional di lingkungan komunitas masyarakat dalam mendukung pengelolaan kesenian
4) Mengembangkan regulasi di bidang kesenian untuk menciptakan iklim yang kondusif bagi pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan kesenian
5) Meningkatkan daya saing SDM bidang seni untuk mengantisipasi dampak globalisasi
6) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana penunjang kesenian
7) Pengembangan kerjasama lembaga seni dengan asosiasi industri pariwisata
8) Meningkatkan kualitas penampilan karya seni melalui adaptasi dan inovasi produk seni
9) Mengembangkan kesenian sebagai paket wisata
10) Mengembangkan pemasaran yang efektif dalam rangka membuka akses pasar yang lebih luas bagi hasil karya seni

2.3.4. Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek Benda Cagar Budaya dan Kawasan cagar Budaya adalah sebagai berikut.
1) Mengembangkan sistem informasi dan data base di bidang BCB dan KCB
2) Mengembangkan regulasi dan kebijakan dalam bentuk peraturan daerah di bidang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB dan KCB.
3) Mengembangkan sistem edukasi dan informasi mengenai BCB dan KCB melalui berbagai media massa baik elektronik maupun cetak
4) Mengembangkan pola insentif dan penghargaan kepada pelaku / lembaga pelestarian dan pengembangan BCB dan KCB
5) Mendorong terwujudnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan Kawasan Cagar Budaya
6) Meningkatkan kegiatan pelestarian terhadap BCB dan KCB
7) Mengembangkan objek dan daya tarik wisata berbasis BCB dan KCB.
8) Mengembangkan sarana dan prasarana di lingkungan Kawasan Cagar Budaya yang mendukung kualitas kehidupan masyarakat, kelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB dan KCB

2.3.5. Tata Fisik dan Lingkungan
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek tata fisik dan lingkungan adalah sebagai berikut.
1) Mengembangkan karakter lokal bagi upaya pengembangan dan penataan tata ruang dan bangunan
2) Meningkatkan koordinasi dan kerjasama antar instansi pemerintah daerah dalam mendukung penegakan peraturan di bidang pembangunan fisik dan lingungan
3) Mengembangkan regulasi untuk mendukung pembangunan tata ruang dan arsitektural berdasarkan karakter Yogyakarta.
4) Meningkatkan kuantitas dan kuantitas ruang publik untuk mendukung aktivitas rekreasi, komunikasi, dan kreasi masyarakat
5) Membangun tata ruang wilayah yang berorientasi pada pelestarian lingkungan.

2.3.6. Desa Budaya
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek desa budaya adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan peran kelembagaan tradisional di lingkungan komunitas masyarakat untuk mendukung pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan kegiatan adat dan tradisi
2) Meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap program desa budaya
3) Meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan seni dan budaya di lingkungan desa budaya
4) Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana prasarana untuk mendukung upaya konservasi dan pengembangan segenap aset budaya di lingkungan desa budaya.
5) Meningkatkan kapasitas SDM pengelola desa budaya untuk mendukung upaya konservasi dan pengembangan segenap aset di lingkungan desa budaya.
6) Mengembangkan desa budaya untuk kegiatan pariwisata

2.3.7. Permuseuman
Kebijakan yang perlu ditempuh untuk mendukung pencapaian sasaran aspek permuseuman adalah sebagai berikut.
1) Meningkatkan kualitas layanan informasi yang mudah diakses untuk masyarakat luas
2) Meningkatkan kapasitas SDM di lembaga permuseuman
3) Meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap lembaga permuseuman
4) Mengembangkan kegiatan dan fasilitas layanan publik yang memiliki nilai positif dalam ranah sosial, budaya, pendidikan, maupun ekonomi.
5) Meningkatkan kualitas produk dan layanan museum sebagai wahana pembelajaran dan pewarisan nilai-nilai sejarah dan budaya
6) Meningkatkan upaya promosi dan pemasaran permuseuman di tingkat lokal, nasional, dan internasional


BAB 3.
TAHAPAN PENCAPAIAN
DAN KETERLIBATAN STAKEHOLDER

3.1.
TAHAPAN PENCAPAIAN

3.1.1. Sikap Mental dan Perilaku Masyarakat
Tabel 3.1. Tahapan Pencapaian Aspek Sikap Mental dan Perilaku Masyarakat

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013)
„Terumuskan tata nilai budaya Yogyakarta sebagai acuan pengembangan sikap mental dan perilaku masyarakat
1) Tersistematisasikannya tata nilai budaya Yogyakarta
2) Terbentuknya peraturan daerah tentang tata nilai budaya Yogyakarta sebagai pedoman dan acuan perilaku masyarakat

Terselenggaranya sistem edukasi yang mampu meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap pendidikan, budaya, dan pariwisata
1) Terbentuknya sistem edukasi yang mantap untuk peningkatan apresiasi masyarakat terhadap dunia pendidikan, budaya, dan pariwisata.

TAHAP II
(2014-2018) „
Terbentuknya agen pelestarian nilai budaya Yogyakarta
1) Berfungsinya aparat di lingkungan pemerintah Prov. DIY sebagai agen pewarisan nilai-nilai budaya Yogyakarta
2) Berfungsinya lembaga adat (Kraton dan Puro Pakualaman) sebagai pemangku pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya Yogyakarta

TAHAP III
(2019-2023) „
Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa Jawa
 1) Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap bahasa jawa yang diwujudkan dalam penggunaan secara intensif dalam kehidupan masyarakat
2) Meningkatnya minat masyarakat terhadap karya sastra keyogyakartaan dan kejawaan

TAHAP IV
(2024-2028) „
Meningkatnya sikap mental masyarakat Yogyakarta yang disiplin, jujur, taat hukum, mandiri, gigih, bertanggung jawab, toleran, rukun, bersatu, proaktif, kreatif, inovatif, dan memiliki hospitality, sympathy, dan empathy dengan tetap berorientasi pada nila budaya Yogyakarta
 1) Meningkatnya sikap mental disiplin, jujur, taat hukum
2) Meningkatnya sikap mental mandiri, gigih, bertanggung jawab
3) Meningkatnya sikap mental toleran, rukun, bersatu
4) Meningkatnya sikap mental proaktif, kreatif, inovatif
5) Meningkatnya sikap mental hospitality, sympathy, dan empathy


3.1.2. Adat dan Tradisi
Tabel 3.2. Tahapan Pencapaian Aspek Adat dan Tradisi

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013) „
Masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang adat dan tradisi masyarakat
1) Tersusunnya data base adat dan tradisi budaya masyarakat
2) Informasi tentang adat dan tradisi termuat dalam media massa dan warta seni budaya

TAHAP II
(2014-2018) „
Apresiasi masyarakat terhadap kegiatan adat dan tradisi semakin meningkat
1) Terselenggaranya berbagai kegiatan adat dan tradisi di lingkungan masyarakat yang berskala komunitas
2) Terselenggaranya kegiatan dialog adat dan tradisi dalam masyarakat
3) Terselenggaranya forum penghargaan kepada pelaku pelestarian dan pengembangan adat dan tradisi

TAHAP III
(2019-2023) „
Terwujudnya sistem edukasi yang mantap untuk mendukung regenerasi adat dan tradisi budaya Yogyakarta 1) Kurikulum pendidikan tingkat dasar dan menengah mengakomodasi muatan lokal
2) Meningkatnya jumlah penayangan/ pemuatan berita/ulasan tentang kegiatan adat dan tradisi di media massa, baik cetak maupun elektronik
3) Generasi muda secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan adat dan tradisi di lingkungan masyarakat

TAHAP IV
(2024-2028)
Kegiatan adat dan tradisi menjadi daya tarik wisata
 1) Meningkatnya jumlah kemasan kegiatan adat dan tradisi sebagai daya tarik wisata
2) Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan di kantong-kantong budaya

3.1.3. Kesenian
Tabel 3.3. Tahapan Pencapaian Aspek Kesenian

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013) „
Masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang kesenian
 1) Tersusunnya data base kesenian
2) Informasi tentang kesenian termuat dalam media massa dan warta seni budaya

Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap kegiatan kesenian
1) Terselenggaranya sistem edukasi masyarakat yang mendukung bagi upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan kesenian
2) Terselenggaranya berbagai kegiatan kesenian di lingkungan masyarakat
3) Terselenggaranya forum koordinasi dan komunikasi diantara seniman/ pelaku seni/pekerja seni dengan pemerintah

TAHAP II
(2014-2018)
Meningkatnya kemampuan SDM di bidang kesenian (pelaku dan pengelola)
1) Terbentuknya sistem edukasi yang mampu meningkatkan kapasitas SDM di bidang kesenian
2) Terbentuknya institusi pengelola kesenian yang tanggap terhadap perkembangan kesenian

Terciptanya regulasi yang kondusif dalam pelestarian dan pengembangan kesenian
1) Terbentuknya lembaga sertifikasi di bidang kesenian
2) Meningkatnya jumlah jenis kesenian tradisional yang didaftarkan dalam lembaga Hak Cipta Internasional
3) Tersusunnya perangkat peraturan yang memberikan kesempatan bagi berkembangnya seni-seni tradisional
4) Terpublikasinya karya sastra Yogyakarta

TAHAP III
(2019-2023)
Meningkatnya jaringan kerjasama dan kemitraan di bidang kesenian Yogyakarta di tingkat nasional dan internasional
1) Meningkatnya kegiatan misi seni budaya di tingkat nasional dan internasional
2) Meningkatnya jumlah komunitas kesenian yang melakukan pementas-an/pameran di luar negeri
3) Meningkatnya lembaga asing di bidang seni dan budaya yang membuka kantor atau cabang di Yogyakarta

Fasilitas penunjang terbangun dalam berbagai level
1) Level komunitas
2) Level nasional di masing-masing kabupaten
3) Level internasional

TAHAP IV
(2024-2028)
Yogyakarta sebagai etalase seni bertaraf internasional
 1) Terselenggaranya festival kesenian Yogyakarta yang berskala internasional
2) Intensitas kegiatan pementasan/ pameran karya seni di lingkungan masyarakat semakin meningkat dan terjadual secara sistematis

3.1.4. Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya
Tabel 3.4. Tahapan Pencapaian Aspek Benda Cagar Budaya dan Kawasan cagar Budaya

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013)
Masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi tentang BCB dan KCB
1) Tersusunnya data base BCB dan KCB
2) Informasi tentang BCB dan KCB termuat dalam media massa dan warta seni budaya

Kejelasan pengaturan BCB dan KCB dalam upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan
 1) Tersusunnya juklak dan juknis tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB/KCB
2) Tersusunnya kesepakatan pemerintah pusat dg provinsi tentang kewenangan pengelolaan BCB/KCB
3) Penetapan dan sertifikasi seluruh BCB di wilayah Yogyakarta
4) Tersinergikannya tata kerja antar instansi pemerintah untuk penanganan pelestarian

TAHAP II
(2014-2018)
Meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap upaya pelestarian dan pengembangan BCB dan KCB
1) Terbentuknya kelompok Sadar BCB dan KCB dalam masyarakat
2) Terbentuknya forum sadar BCB dan KCB
3) Terselenggaranya forum koordinasi dan komunikasi diantara masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan BCB dan KCB
4) Menurunnya tindakan yang yang merugikan dan mengancam kelestarian BCB dan KCB

TAHAP III
(2019-2023)
BCB dan KCB berfungsi untuk pengembangan budaya, ekonomi, dan pendidikan masyarakat
1) Tersedianya sarana dan prasarana fisik kawasan mampu menampung kegiatan edukasi, rekreasi, dan sosial budaya masyarakat
2) Meningkatnya intensitas penyelenggaraan kegiatan seni budaya di KCB

TAHAP IV
(2024-2028)
 Terwujudnya BCB/KCB dan lingkungannya yang lestari
 1) Meningkatnya upaya konservasi terhadap BCB dan KCB
2) Terbentuknya lingkungan masyarakat yang kondusif bagi upaya pelestaraian

BCB dan KCB menjadi objek dan daya tarik wisata bertaraf internasional
1) Meningkatnya jumlah KCB dan BCB yang dikemas sebagai objek dan daya tarik wisata
2) Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan di objek dan daya wisata berbasis BCB/KCB

3.1.5. Tata Fisik dan Lingkungan
Tabel 3.5. Tahapan Pencapaian Aspek Tata Fisik dan Lingkungan

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013)
 Teridentifikasikan dan terumuskan tata fisik bangunan dan lingkungan yang mampu mengungkapkan karakter Yogyakarta secara integratif dan dinamis
1) Teridentifikasikan sumber-sumber rujukan pengembangan tata fisik dan lingkungan berkarakter Yogyakarta
2) Terumuskannya arah pengembangan tata fisik dan lingkungan berkarakter Yogyakarta

TAHAP II
(2014-2018)
 Kebutuhan ruang terbuka di Yogyakarta dapat dipahami dan disepakati bersama antar stakeholder
1) Teridentifikasikanya kebutuhan ruang di level komunal/kampung/desa dan lingkungan perkotaan atau kabupaten
2) Teridentifikasikannya pola aktivitas publik dan kebutuhan ruangnya

TAHAP III
(2019-2023)
Perangkat perundangan untuk pengembangan karakter tata fisik dapat disusun dan disosialisasikan dengan baik
1) Terumuskannya panduan pengembangan tata fisik dan lingkungan berkarakter Yogyakarta
2) Terumuskannya raperda pengembangan tata fisik dan lingkungan berkarakter YogyakartaTersosialisasikannya tata fisik dan lingkungan berkarakter Yogyakarta

TAHAP IV
(2024-2028)
Ruang publik yang ada mengalami peningkatan kualitas, serta peningkatan kuantitas secara bertahap ruang-ruang publik yang baru
1) Terkembangkannya ruang publik yang ada sehingga lebih memadai dan sesuai dengan tuntutan masyarakat
2) Teridentifikasikannnya lahan dan bangunan yang dapat dikembangkan menjadi ruang publik dengan berbagai level, intensitas dan karakter kegiatanTerakuisisinya sejumlah ruang publik krusial oleh pemerintah dan masyarakat

Terimplementasinya peraturan perundangan tentang tata fisik dan lingkungan yang berkarakter Yogyakarta
1) Terbangunnya sejumlah fasilitas publik dan bangunan pemerintah yang signifikan sebagai pilot project tata fisik dan lingkungan berkarakter Yogyakarta


3.1.6. Desa Budaya
Tabel 3.6. Tahapan Pencapaian Aspek Desa Budaya

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013)
Masyarakat apresiatif dan partisipatif dalam pengelolaan desa budaya
1) Dukungan masyarakat secara aktif dalam kegiatan pelestarian dan pengembangan desa budaya
2) Meningkatnya kualitas lembaga pengelola desa budaya

TAHAP II
(2014-2018) Kegiatan seni dan budaya masyarakat tumbuh dan berkembang dengan didukung fasilitas yang memadai
1) Tumbuh dan berkembangnya kegiatan adat, tradisi, seni, dan budaya di lingkup desa budaya
2) Meningkatnya kualitas dan kuantitas fasilitas penunjang seni budaya di lingkungan desa budaya
3) Meningkatnya kualitas dan kuantitas peralatan pendukung kegiatan seni dalam masyarakat desa budaya

TAHAP III
(2019-2023)
Desa-desa budaya di seluruh wilayah Provinsi DI Yogyakarta menjadi desa budaya yang mandiri
1) Meningkatnya kualitas maupun kuantitas desa budaya di wilayah Provinsi DI Yogyakarta
2) Meningkatnya nilai tambah ekonomis, budaya, dan lingkungan yang diperoleh masyarakat desa budaya

TAHAP IV
(2024-2028)
Desa budaya berkembang sebagai objek dan daya tarik wisata yang bermuatan lokal dan berkualitas internasional
1) Desa budaya dikelola dengan baik sebagai aset pariwisata daerah
2) Potensi seni dan budaya di desa budaya dikembangkan untuk kepentingan pariwisata

3.1.7. Permuseuman
Tabel 3.7. Tahapan Pencapaian Aspek Permuseuman

TIME FRAME KEADAAN YANG AKAN DICAPAI PARAMETER
TAHAP I
(2008-2013)
Meningkatnya kualitas dan kuantitas informasi benda koleksi museum
 1) Terpelihara, terdokumentasi, terinformasi, dan terpajang dengan baik seluruh koleksi museum
2) Terbangunnya fasilitas untuk akses informasi koleksi museum yang memadai
3) Meningkatnya kualitas dan kuantitas pemandu bagi pengunjung museum

Meningkatnya kapasitas SDM pengelola museum
1) Tersusunnya sistem peningkatan kapasitas SDM di lingkungan museum

TAHAP II
(2014-2018)
Meningkatnya kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana penunjang di lingkungan museum
1) Terbangunnya fasilitas pendukung kegiatan ilmiah, pagelaran seni budaya
2) Terbangunnya fasilitas artshop, konvensi, dan workshop di lingkungan museum

TAHAP III
(2019-2023)
Citra museum yang baik di masyarakat luas
1) Meningkatnya kualitas dan kuantitas informasi museum dalam berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik
2) Meningkatnya kegiatan ilmiah, pementasan seni dan budaya di lingkungan museum
3) Meningkatnya jumlah wisatawan segmen pelajar dan mahasiswa di lembaga-lembaga museum

TAHAP IV
(2024-2028)
Lembaga museum menjadi salah satu objek dan daya tarik wisata yang wajib dikunjungi oleh wisatawan
1) Meningkatnya kualitas dan kuantitas fasilitas wisata di lingkungan museum
2) Meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan baik nusantara maupun mancanegara di lembaga-lembaga museum



3.2.
KETERLIBATAN STAKEHOLDER TERKAIT



Perumusan stakeholder ini perlu mempertimbangkan karakter strategi ini yang bersifat:
o Komprehensif
GSKB meliputi banyak komponen tujuan, tindakan dan indikator yang saling berkait sehingga masing-masing stakeholder yang terlibat diharapkan mampu untuk di satu sisi memahami perannya yang unik, di sisi lain memahami keserbacakupan strategi ini dan kesalingterkaitan antar komponennya.
o Integratif
Berbagai pihak yang menjadi stakeholder dalam GKSB ini diharapkan di satu sisi memiliki tanggungjawab dan kewenangan yang jelas, di sisi lain mampu bekerjasama secara sinergis dengan stakeholder lain dalam suatu upaya bersama guna mencapai tujuan.
o Partisipatif
Perumusan tujuan, tindakan dan indikator secara keseluruhan maupun pada tiap tahapan sangat penting untuk melibatkan para stakeholder sehingga dalam implementasi strategi tersebut aspirasi dan intensitas keterlibatan mereka dapat lebih terjamin
o Efektif
Strategi tersebut haruslah berdampak bagi pengembangan dan perbaikan Yogyakarta secara keseluruhan. Lantaran para stakeholder ini adalah subjek dan sekaligus objek dari perubahan tersebut maka keterlibatan mereka bukan hanya sebagai agen perubahan tapi juga sekaligus menjadi sasaran yang diubah.
o Adaptif
Sebagai suatu upaya berjangka panjang dan meliputi banyak aspek dan pihak secara komprehensif, maka GSKB ini tidaklah semestinya dianggap sebagai suatu rumusan kaku. Dinamika kondisi dan aktivitas serta keragaman stakeholder sangat penting untuk diakomodasi sehingga rumusan ini perlu untuk memiliki kelenturan tertentu tanpa meninggalkan prinsip-prinsipnya yang esensial guna beradaptasi terhadap berbagai aspek tersebut. Pada setiap tahapan GSKB ini memerlukan evaluasi ketercapaian dan aspek-aspek terkaitnya bersama dengan para stakeholder untuk merumuskan tindakan tahap berikutnya dengan mengadaptasi hasil evaluasi tersebut.

Dengan mempertimbangkan aspek-aspek tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa GSKB ini melibatkan stakeholeder dalam lingkup yang luas dengan berbagai intensitas dan wilayah keterlibatan. Secara umum stakeholder tersebut adalah:
1) Pemerintah
Unsur-unsur pemerintah baik yang bersifat sektoral maupun teritorial di tingkat provinsi dan kabupaten/kota secara keseluruhan berperan aktif dalam implementasi GSKB ini. Namun demikian, sektor Budaya, Pariwisata dan Pendidikan terlibat dengan lebih intensif dalam perencanaan, implementasai dan evaluasi GSKB. Sektor-sektor tersebut berperan dalam menginisiasi suatu gagasan yang tealh dirumuskan dalam GSKB dan mendiseminasikannya kepada masyarakat, memfasilitasi aspirasi masyarakat yang terkait dengan implementasi GSKB serta menyusun dan menerapkan regulasi yang akan menunjang tercapainya sasaran-sasaran strategis dalam GSKB.
2) Masyarakat (Lembaga, kelompok dan individu)
Masyarakat adalah stakeholder paling penting tapi sekaligus paling heterogen dalam GSKB ini. Kalangan ini terdiri atas individu, kelompok atau komunitas maupun lembaga swadaya masyarakat. Berbagai peran strategis dimainkan oleh masyarakat. Dalam kaitannya dengan budaya, masyarakat dapat berperan sebagai sebagai pelaku budaya, pencipta karya budaya, pelestari budaya maupun penikmat karya budaya. Keterlibatan kalangan yang heterogen dalam GSKB tentu saja sangat beragam. Aspirasi masyarakat memang sangat penting untuk diakomodasi, tapi dinamika masyarakat juga sangat tinggi, sehingga forum sosialisasi, dengar pendapat dan musyawarah perlu untuk diselenggarakan terus menerus dalam penyusunan rencana, pelaksanaan dan evaluasinya.
3) Swasta
Swasta khususnya kalangan wirausaha memiliki peran yang makin dinamis dan berkembang pesat. Banyak event budaya dalam berbagai skala, mulai dari skala komunitas hingga nasional diselenggarakan oleh para event organizer yang memberi warna paling semarak dalam penyajian budaya. Dalam penyajian budaya yang terkait dengan pariwisata stakholder kalangan ini makin luas karena melibatkan berbagai penyedia jasa perjalanan, akomodasi dan berbagai sektor terkait lainnya. Kalangan ini perlu untuk mendapatkan informasi dan peluang yang baik sehingga dapat diharapkan untuk berpartisipasi dalam GSKB secara intensif dan bukan hanya mengambil manfaat berjangka pendek dengan lingkup yang terbatas.

Secara lebih konkret peran pihak-pihak tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: