c

Friday 20 March 2009

museumdewantarakirtigriyasebagaiodtwbudaya1








MUSEUM
DEWANTARA KIRTI GRIYA SEBAGAI OBYEK DAN DAYA TARIK WISATA BUDAYA




  1. PENDAHULUAN








Pengembangan Pariwisata di DIY dilaksanakan dengan
pembagian Propinsi DIY menjadi lima Kawasan Pengembangan Pariwisata
(KPP). Untuk KPP Kota Yogyakarta arahan pengembangannya adalah Wisata
Budaya dan Wisata Minat Khusus. Hal ini sesuai dengan potensi Kota
Yogyakarta, yaitu:




  1. 5 dari 13 Kawasan Cagar Budaya di DIY berada di Kota
    Yogyakarta



  2. 7 dari 8 tempat pertunjukan kesenian berada di Kota
    Yogyakarta



  3. 16 dari 22 museum di DIY berada di Kota Yogyakarta



Museum
merupakan sebuah lembaga yang bersifat permanen, melayani kepentingan
masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk umum, tidak bertujuan
mencari keuntungan yang mengumpulkan, memelihara, meneliti,
memamerkan, dan mengkomunikasikan benda-benda pembuktian material
manusia dan lingkungannya, untuk tujuan-tujuan studi, pendidikan, dan
rekreasi (FFJ Schouten, PengantarDidaktik Museum,Jakarta,Proyek
Pembinaan Permuseuman, Ditjen Kebudayaaan, 1992: 3).


Kebijaksanaan
permuseuman sejak tahun 1997 dipegang oleh Dinas Kebudayaan Propinsi
DIY. Namun sebelumnya pada tahun 1971 telah berdiri Badan Musyawarah
Musea (Barahmus) DIY dan pada 28 Oktober 1998 berdiri Badan
Musyawarah Museum-Museum Indonesia (BMMI) yang telah menjadi anggota
Internasional Council of Museum (ICOM).


Museum sebagai
salah satu potensi budaya di DIY ternyata sering terabaikan oleh para
pelaku wisata dan pendapatan sektor museum menempati urutan kelima
dari tujuh sub sektor pariwisata.


PENDAPATAN
SUB SEKTOR PARIWISATA DI DIY


PADA
TAHUN 1994-1996

































































NO.



SEKTOR



1994



1995



1996



1



Pajak
pembangunan I



17%



31,9%



58,4%



2



Obyek
wisata



17,1%



17,2%



17,6%



3



Bioskop



41,7%



32,6%



14,1%



4



Pajak
tontonan



17,5%



12,6%



4,1%



5



Museum



3,6%



3,1%



3,4%



6



Atraksi



2,8%



2,5%



2,3%



7



Ijin
usaha, restribusi losmen, dan RHU



0,3%



0,3%



0,1%




Sumber: Bappeda Prop. DIY



Dengan mengetahui keadaan tersebut kami mengkaji keberadaan museum di
DIY dengan memilih Museum Dewantara Kirti Griya karena:




  1. Museum Dewantara Kirti Griya setelah mengalami
    rehabilitasi namun masih terlihat sepi.



  2. Museum yang bernilai sejarah tinggi yang bisa dikatakan
    mempunyai potensi menjadi Museum Nasional namun keberadaanya
    terabaikan.












II
KEADAAN MUSEUM SAAT INI



Museum Dewantara
Kirty Griya terletak dalam kesatuan komplek Pendopo Agung Taman Siswa
di jalan Tamansiswa, Kelurahan Wirogunan, Kecamatan Mergangsan, Kota
Yogyakarta. Pendopo tersebut oleh Majelis Luhur Tamansiswa dinyatakan
sebagai Monumen Persatuan Tamansiswa, menyatu dengan Museum Dewantara
Kirty Griya.



Bangunan museum adalah bekas kediaman Orang Belanda yang
ditempati Ki Hadjar Dewantara sekeluarga dari tahun 1938 sampai
dengan tahun 1958. Letak rumah memang menghadap ke barat namun
praktis sejak dihuni Ki Hadjar Dewantara, jalan masuk dari arah
selatan (samping) melalui halaman pendopo letak ruang tamu pun ada di
sisi bagian selatan, sehingga benar-benar terlihat dan terasa satunya
kediaman Ki Hadjar Dewantara dengan pendopo agung beserta komplek
kegiatan edukatif kultural yang dulu disebut Perguruan Tamansiswa
Mataram, kemudian beralih nama Ibu Pawiyatan Tamansiswa, yang
berarti induk atau Pusat Perguruan Taman Siswa yang dipimpin langsung
oleh Ki Hadjar Dewantara.



Pada dasarnya koleksi museum Dewantara Kirty Griya
terdiri atas :



  1. Bangunan/rumah
    dalam kompleks perguruan Tamansiswa Yogyakarta.




mempunyai luas bangunan 300 m², berdiri di atas tanah 2.720 m².
Bangunan dan tanah dicatat dalam buku Register Angka 1383/IH tahun
1926. Bangunan didirikan pada tahun 1915 dengan material kualitas
prima.





  1. Kumpulan
    surat menyurat Ki Hadjar Dewantara.




Hingga hari ini surat yang menjadi koleksi museum berjumlah 879 pucuk
surat. Berkat bantuan Arsip Nasional Republik Indonesia di Jakarta,
kumpulan surat-surat telah dikonservasi dengan tehnik tinggi. Selain
itu telah dibuat mikro film dan disimpan di Arsip Nasional Jakarta;
sedangkan aslinya tetap menjadi koleksi museum Dewantara Kirty Griya.



  1. Perlengkapan
    rumah tangga.




Sebagian besar hasil dari pembelian sebidang tanah dan bangunan yang
berada dalam kompleks Tamansiswa jalan Tamansiswa 31 Yogyakarta,
antara lain : tempat tidur, meja tulis, meja-kursi tamu, pesawat
telepon buatan Kellog 1927 Swedia, lemari buku, radio dan lemari.



  1. Dokumentasi
    foto.




Foto-foto diawali pada tahun 1904. Koleksi ini telah direproduksi
serta sebagian besar direkam dalam slide. Selain itu museum memiliki
satu unit film dengan judul Ki Hadjar Dewantara, Pahlawan Nasional.
Film ini di buat oleh PFN tahun 1960 dengan ukuran 33 mm dan lama
putar 80 menit. Berkat kemajuan teknologi film dipindah ke kaset
video, dan di hidangkan pada para pengunjung dalam ruangan khusus,
walaupun kondisinya tidak sempurna, namun masih dapat di dengar logat
dan warna nada pembicaraan beliau.



  1. Pustaka
    dalam berbagai tulisan dan bahasa.




Penempatan pustaka :



  1. Di
    museum Dewantara Krity Griya meliputi ketamansiswaan, politik,
    kebudayaan dan pendidikan, yang berjumlah 2341 judul buku.


  2. Di
    perpustakaan museum meliputi Sastra Daerah Jawa (3560 judul), Melayu
    (423 judul), Bahasa Belanda (3789 judul).




Museum Dewantara Krity Griya dilengkapi dengan perpustakaan museum.
Jam buka museum pada hari kerja mulai pukul 08.00-13.00 WIB. Hari
Jumat buka pukul 08.00-11.00 WIB dan hari sabtu pukul 08.00-12.00
WIB. Pada hari Minggu dan hari besar tutup. Tapi apabila ada
permintaan berkunjung secara tertulis beberapa hari sebelumnya diluar
jadwal tersebut dapat di layani.



Biaya untuk masuk museum bersifat sukarela, bantuan sukarela
digunakan untuk biaya pemeliharaan. Museum Dewantara Kirty Griya
dikelola oleh Yayasan Persatuan Perguruan Tamansiswa, bidang
pendidikan dan kebudayaan Majelis Lulur Tamansiswa.



Adapun susunan pengurus Museum Dewantara Kirty Griya:



Pembina : 1. Ki Dr. Supriyoko, M.Pd (Ketua Bidang
Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Taman Siswa)



2. Ki Nayono (Almarhum)



Ketua : Ki Nayono (Almarhum)



Panitera : Nyi Sri Muryani





























III.
KEKUATAN, KELEMAHAN, PELUANG dan TANTANGAN








  1. KEKUATAN





  1. Museum
    Dewantara Kirty Griya mempunyai nilai sejarah yang tinggi dan
    merupakan museum sejarah lahirnya pendidikan yang bersifat nasional
    di Indonesia.



  2. Mempunyai cukup banyak potensi untuk dikembangkan dan
    diusulkan menjadi salah satu dari museum nasional.



  3. Museum terletak pada lokasi yang strategis dan mudah
    dijangkau



  4. Mempunyai peralatan multimedia (VCD, Slide Proyektor,
    Video) untuk menampilkan film tentang Ki Hadjar Dewantara



  5. Keberadaan perpustakaan yang mendukung keberadaan
    museum



  6. Koleksi museum yang begitu lengkap



  7. Kebijaksanan
    pemerintah di bidang pariwisata dan pendidikan –Wajib
    kunjung museum bagi pelajar dan mahasiswa-.



  8. Potensi atraksi pendukung berupa latihan tari dan
    pameran di Pendopo Agung Taman Siswa yang sudah teratur



B.
KELEMAHAN




  1. Luas area yang sangat sempit bagi pengembangan museum



  2. Keterbatasan ruang untuk menampilpajangkan seluruh
    koleksi museum



  3. Kerusakan koleksi museum yang tersimpan di gudang
    akibat keterbatasan ruang









  1. Standart operating procedure pemanduan belum ada



  2. Sarana museum sebagai obyek dan daya tarik wisata
    budaya masih kurang; antara lain: tiket box, wahana interpretasi
    bagi wisatawan



  3. Perlindungan benda koleksi terhadap manusia dan alam
    masih kurang



  4. Keterbatasan
    dana pengembangan dan
    pengelolaan museum



  5. Perawatan koleksi masih manual dan sederhana



  6. Kualitas SDM yakni petugas museum masih kurang



  7. Jumlah/kuantitas petugas masih kurang saat musim
    liburan




C. PELUANG



  1. Pasar
    sasaran potensial yaitu siswa Perguruan Taman Siswa yang berkunjung
    setiap hari libur




b. Pendopo Agung Tamansiswa yang layak dijadikan gedung pertemuan
umum sekaligus mengajak mereka mengunjungi museum.



D. ANCAMAN




  1. Obyek wisata lain yang sejenis dan lebih berkembang
    serta menarik



  2. Apresiasi
    pengunjung terhadap museum dan
    koleksinya yang masih kurang, misal memegang-megang benda koleksi,
    membolak-balik buku koleksi.







IV.
PROGRAM PENGEMBANGAN




  1. Mencari sumber dana dengan
    mengadakan tiket box bagi pengunjung ataupun bekerjasama dengan
    berbagai LSM dan memanfaatkan Pendopo Agung Tamansiswa
    sebagai Gedung Pertemuan umum.



  2. Menjadi anggota/bekerjasama dengan museum lain dalam organisasi
    daerah, nasional maupun internasional.



  3. Pengiriman petugas pada berbagai pembinaan permuseuman.



  4. Penambahan tenaga saat libur sekolah dengan menerima siswa PKL.



  5. Pembuatan Wahana Interpretasi bagi pengunjung



  6. Penambahan ruang audio visual dengan dilengkapi semacam café
    (museum café) dan didukung keberadaan perpustakaan



  7. Pembuatan perangkat perlindungan koleksi.



  8. Aktif dalam berbagai pameran.



  9. Pengadaan cindera mata khas sebagai pelestari kesan.




10. Mengadakan kegiatan yang aspek
demonstratifnya tinggi dengan melibatkan pasar sasaran yang
dituju-lomba lukis dengan tema-tema tertentu-.





















halaman 1
dari 14




definisi museum


Untuk lebih menegaskan definisi
museum, maka para ahli permuseuman tingkat internasional yang
tergabung dalam International Council of Museum (ICOM) di
Copenhagen pada tahun 1974 membuat rumusan tentang museum yaitu:


Museum merupakan sebuah lembaga yang
bersifat permanen, melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya,
terbuka untuk umum, tidak bertujuan mencari keuntungan yang
mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan, dan mengkomunikasikan
benda-benda pembuktian material manusia dan lingkungannya, untuk
tujuan-tujuan studi, pendidikan, dan rekreasi (FFJ Schouten,
PengantarDidaktik Museum,Jakarta,Proyek Pembinaan Permuseuman,
Ditjen Kebudayaaan, 1992: 3).



Museum sebagai obyek wisata, untuk
lebih dikenal luas oleh masyarakat maka perlu dilakukan promosi
sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program
pemasaran. Promosi pada hakikatnya adalah suatu kegiatan yang
dimaksudkan untuk menyampaikan atau mengkomunikasikan suatu produk
kepada pasar sasaran, untuk memberikan informasi tentang
keistimewaan, kegunaan, dan yang paling penting adalah tentang
keberadaannya untuk mengubah sikap ataupun untuk mendorong orang
untuk bertindak dalam hal ini membeli1.


Untuk meningkatkan kinerja para petugas di museum, maka
perlu adanya efisiensi kerja. “Efisiensi merupakan konsep kerja
yang mampu memberi makna positif bagi siapa saja yang ingin mencapai
tujuan sesuai dengan yang direncanakan, sehingga tindak pemborosan
dapat dihindari ( Djihad Hisyam, PDU-FPIPS IKIP Yogyakarta, 1987:
7)”. “Perkataan efisien itu sendiri berasal







1 Fandy Tjiptono,
StrategiPemasaran,(Yogyakarta: Andi Offset, 1995), hlm. 200.






Dari Bahasa Latin effisierre yang
artinya to effect yang berarti menghasilkan, mengadakan,
menjadikan ( Djihad Hisyam, Tanpa Tahun: 7)”.


Selain di bidang kerja, efisiensi
juga dapat diterapkan pada paket-paket wisata yang ditawarkan kepada
wisatawan. Paket wisata adalah suatu tur yang direncanakan dan
diselenggarakan oleh suatu Travel atau Tour Operator
atas risiko sendiri dan tanggung jawab sendiri, yang acara, lamanya
waktu, tempat-tempat yang dikunjungi, akomodasi, transportasi, serta
makanan dan minuman yang telah ditentukan dalam suatu harga yang
sudah ditentukan juga jumlahnya. Atmin D Lehmand yang dikutip oleh
Oka A Yoeti memberi batasan paket wisata adalah:


any advertised tour or a single
destination tour, in closing transportation, accomodation, and other
tour elements or a offering (line a cruise) providing a holiday
(Oka
A Yoeti, Tour and Travel Management, Pradnya Paramita,
Jakarta,1991:105).



Salah satu paket wisata yang
sebaiknya ditawarkan oleh sebuah Travel Agent adalah kunjungan
ke museum. “Dari penelitian yang pernah dilakukan ternyata
Travel Agent menguasai 70% dari usaha perjalanan ( Oka A.
Yoeti, 1991: 31)”.



.


















rgt sambodo 98/125086/DSA/01163





















1





Thursday 19 March 2009

PENGELOLAAN BENDA DAN KAWASAN CAGAR BUDAYA

Oleh : Drs. H. Gunadi Kasnowihardjo, MHum.
(Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta)

PENGANTAR

Dalam beberapa tahun terakhir ini penulis telah berusaha menyajikan bacaan tentang manajemen sumberdaya arkeologi yang telah terbit dua jilid, yaitu buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi dan Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama akan terbit buku ketiga yaitu Manajemen Sumberdaya Arkeologi-3. Penulisan buku-buku di atas semata-mata didorong oleh adanya “ketimpangan-ketimpangan” dalam sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia. Sumberdaya arkeologi yang merupakan bagian dari Benda Cagar Budaya (BCB) maupun Kawasan Cagar Budaya (KCB) kadang-kadang dicampur-aduk dengan benda-benda lain yang juga bagian dari BCB, seperti benda-benda etnografi, dan sejarah.

Dalam kesempatan ini kita perlu bangga atas prakarsa Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menggelar kegiatan Sosialisasi Pengelolaan BCB, Situs, dan KCB, dengan melibatkan unsur masyarakat. Sebab masyarakat adalah salah satu stake holder dalam sistem pengelolaan BCB, Situs, dan KCB, dan pada hakekatnya masyarakatlah pemilik dan pemangku obyek-obyek tersebut. Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam pelestarian sangat diharapkan, yang selanjutnya mereka jugalah yang akan memanfaatkan dan mendapatkan keuntungannya.

I. Pengertian Benda Cagar Budaya, Situs dan Kawasan Cagar Budaya

Istilah dan batasan tentang Benda Cagar Budaya kita kenal dari Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah :
  1. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
  2. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Sedangkan yang dimaksud dengan situs dalam Undang-Undang di atas adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya yang diperlukan bagi pengamanannya.

Adapun Kawasan Cagar Budaya seperti yang sering kita dengar atau baca, menurut hemat saya tidak jauh dari pengertian situs di atas. Bedanya, untuk KCB sudah tidak diduga lagi, akan tetapi merupakan suatu lokasi yang mengandung atau terdapat benda cagar budaya. Untuk lebih jelasnya di bawah akan diuraikan tentang pengertian situs dan batas-batasnya seperti telah dijelaskan oleh penulis dalam sebuah artikel yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII di Cipanas tahun 1996 yang lalu.

Situs dapat dideskripsi dalam beberapa jenis antara berdasarkan keletakan dan fungsinya. Atas dasar keletakannya, situs dapat dibedakan menjadi situs terbuka atau open site, yang biasanya terletak di lembah, pantai, ataupun di puncak gunung. Berdasarkan fungsinya, dapat dibedakan menjadi situs hunian, situs pasar, situs perburuan, situs perbengkelan, situs penyembelihan binatang, situs pemujaan, dan situs penguburan (Sharer and Ashmore, 1979 : 73-74). Untuk dapat mengetahui jenis-jenis situs seperti disebutkan di atas harus terlebih dahulu diketahui struktur situs berdasarkan distribusi temuan artefak, hal ini sangat penting bagi interpretasi arkeologis (Binford, 1988 : 144-145). Mengacu pendapat para ahli tersebut, maka untuk dapat menentukan suatu situs hendaknya terlebih dahulu dilakukan penelitian oleh ahlinya. Dengan demikian pengertian situs tidak hanya terbatas pada suatu lokasi ditemukannya artefak atau BCB, akan tetapi dapat meluas pada suatu kawasan yang mempunyai suatu keterkaitan antara satu dengan lainnya (Gunadi, 1996 : 94).

Penyebutan Situs Candi Sewu, Situs Candi Plaosan Lor, Plaosan Kidul, Situs Watu Kandang Ngasinan Lor, Ngasinan Kidul adalah contoh penyebutan situs yang hanya berdasarkan lokasi ditemukannya BCB. Oleh karena tidak memperhatikan hasil penelitian arkeologis, maka dalam penataan Taman Wisata di Kawasan Candi Prambanan tersebut sebagian kawasan atau situs Candi Sewu saat ini tertutup jalan dan kampung. Sedangkan penyebutan Situs Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul terkesan ada dua situs candi, padahal kedua situs dtersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan. Demikian kasus yang ditemukan pada situs Watu Kandang di Ngasinan Lor dan Ngasinan Kidul, yang kebetulan saat ditemukan situs tersebut terbelah oleh pembuatan jalan yang kemudian memisahkannya.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Kawasan Cagar Budaya adalah tidak hanya berupa satu situs, akan tetapi bias merupakan suatu lokasi yang lebih luas yang terdiri dari beberapa situs. KCB dapat diketahui dan ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian, kajian dan studi, sehingga secara akademik dapat dipertanggung jawabkan, dan kemudian dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan selanjutnya, antara lain dalam pembuatan peraturan daerah maupun keputusan-keputusan lain yang perlu diterbitkan oleh pihak eksekutif atau pemerintah.

II. Siapa Pemilik Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya?

Seperti telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 bahwa BCB dibedakan menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Untuk BCB yang bergerak biasanya dimiliki secara perorangan, baik diperoleh secara turun-temurun atau diperoleh secara tidak sengaja (penemuan). Misalnya berbagai jenis senjata seperti keris, tombak, pedang; perkakas rumah tangga seperti benda-benda keramik asing, maupun berbagai perhiasan yang berasal dari masa lampau. Selain itu, adapula BCB bergerak yang “tidak bertuan” seperti benda-benda yang ditemukan tergeletak di pekarangan maupun di persawahan penduduk, akan tetapi pemiliki sawah maupun pekarangan tersebut tidak merasa memiliki benda tersebut. Misalnya arca-arca lepas, lesung batu, yoni maupun lingga yang ditemukan di pekarangan maupun persawahan milik masyarakat. Sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak pada umumnya dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Antara lain seperti gua-gua yang mempunyai konteks dengan kehidupan masa prasejarah, bangunan atau monument megalitik, candi, klenteng, serta masjid dan gereja tua.

Untuk kawasan cagar budaya pada umumnya masih dimiliki oleh masyarakat, akan tetapi dalam pengelolaannya dikuasai oleh pemerintah, sehingga para pemilik yang berada dalam suatu KCB tersebut dibatasi oleh berbagai aturan yang menyangkut tentang pengelolaan BCB yang dimilikinya. Salah satu contoh kawasan cagar budaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah Kawasan Cagar Budaya Kota Baru. Para pemilik bangunan di kawasan tersebut tidak dapat dengan sesuka hati merubah, merenovasi, ataupun membangun bangunan yang dimilikinya. Untuk dapat menjaga kelestarian dan pelestarian suatu KCB dibutuhkan kesadaran yang tinggi bagi masyarakat. Dengan demikian makin banyak suatu daerah memiliki KCB berarti masyarakatnya telah memiliki kesadaran dalam melestarikan BCB.

Pada hakekatnya baik BCB maupun KCB keduanya dikuasai oleh pemerintah dan terikat dalam suatu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. BCB dan KCB dapat dimiliki oleh masyarakat akan tetapi tidak dapat diposisikan sebagai asset pribadi yang dapat dengan mudah diperjual-belikan ataupun diperlakukan seperti asset pribadi lain yang tidak termasuk dalam kualifikasi BCB. Oleh karena itu baik BCB maupun KCB oleh Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) tidak disebut sebagai warisan budaya akan tetapi diistilahkan sebagai pusaka budaya. Dengan menggunakan istilah pusaka budaya dimaksudkan agar BCB dan KCB oleh pemilik dan pemangkunya lebih dipahami tidak hanya sekedar warisan yang diterimanya dari nenek moyang, akan tetapi ada pemahaman sebagai benda yang harus dijaga, dan dirawat, karena telah menyatu dengan jiwa pemiliknya.

III. Mengapa BCB dan KCB perlu dilestarikan?

Pertanyaan di atas biasa terlontar dari masyarakat secara spontanitas, karena secara fisik BCB dan KCB merupakan obyek-obyek yang sudah ketinggalan jaman, mengapa tidak diganti dengan yang baru yang lebih kokoh dan modern?

Perlu diketahui dan dipahami bahwa BCB dan KCB memiliki atau mengandung nilai-nilai yang bobotnya antara satu dan yang lain tidak sama. Berbagai nilai yang dimiliki dalam BCB dan KCB tersebut antara lain:
  1. Langka dan tidak terbarukan (unrenewable), artinya bahwa BCB dan KCB tidak dapat ditukar dengan benda lain, sekalipun yang sejenis.
  2. Unik, dengan nilai-nilai historis, arsitektur, maupun ekologi yang khas sehingga menjadi daya tarik untuk dikunjungi para wisatawan. Nilai histories yang sarat akan makna, perlu dan harus dipahami oleh bangsa ini dari generasi ke generasi. Sebab, dalam nilai histories tersebut terkandung pula nilai-nilai lain yang dapat mengajak kepada generasi muda untuk bisa bersikap dan bertindak secara positif, seperti misalnya sikap kepahlawanan, cinta tanah air, rasa kesatuan dan persatuan, serta berbudi pekerti yang luhur. Selain nilai-nilai yang bersifat immaterial, BCB dan KCB dapat pula dimanfaatkan dalam berbagai sector seperti akan dijelaskan pada tahap pemanfaatan di bawah.
Upaya pelestarian BCB dan KCB adalah kegiatan untuk mempertahankan wujud secara fisik yang meliputi bentuk, ukuran, warna, dan fungsinya sehingga mendekati pada keadaan semula. Dalam mempertahankan fungsi BCB dan KCB harus mengacu pada pengertian living monument yaitu BCB yang hingga sekarang masih dimanfaatkan sesuai dengan fungsi semula dan dead monument yaitu BCB yang saat ditemukan sudah tidak dimanfaatkan lagi sebagaimana fungsi semula, seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 10 tahun 1993 tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor : 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Bagi BCB yang sudah tidak difungsikan sebagaimana fungsi semula harus dipertahankan agar tidak difungsikan kembali. Dengan alasan apapun BCB yang telah dinyatakan sebagai dead monument tidak dibenarkan apabila difungsikan kembali “seolah-olah” mirip dengan fungsi semula. Contoh kegiatan-kegiatan keagamaan yang dilakukan di candi-candi baik yang berlatar agama Hindu maupun Buda, sebab kedua jenis candi yang ditemukan di Indonesia tersebut telah ditetapkan sebagai dead monument. Sedang BCB dan KCB yang bersifat living monument tetap dapat difungsikan oleh masyarakat pendukungnya dengan mempertimbangkan dan memperhatikan kelestarian dan pelestariannya.

IV. Cara-Cara Pelestarian BCB dan KCB

Dalam upaya pelestarian BCB maupun KCB sebaiknya dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
  1. Perlindungan hukum dan penetapan sebagai BCB ataupun KCB, di era otonomi daerah, undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat kadang-kadang gaungnya tidak seperti peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten dan kota maupun pemerintah propinsi, misalnya Peraturan Daerah, Surat Keputusan Bupati, Walikota, ataupun Gubernur yang gaungnya akan langsung dapat diterima oleh masyarakat luas. Demikian pula dengan penetapan yang menyatakan suatu obyek adalah BCB atau KCB agar mempunyai kekuatan hokum. Untuk itu, diusulkan penetapan dapat dilakukan oleh pemerintah kabupaten kota yang dibantu oleh tenaga ahli yang berkompenten dalam bidangnya (arkeolog, sejarawan, antropolog, filolog, dsb).
  2. Perlindungan secara fisik, perlu dilakukan untuk menghindari campur tangan pihak-pihak lain yang tidak berwenang dalam system pengelolaan BCB dan KCB. Langkah awal dalam perlindungan secara fisik adalah melakukan pemintakatan atau zoning. Langkah pemintakatan ini selain bertujuan melestarikan obyek, juga dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan lain terutama yang terkait dengan pemanfaatan BCB dan KCB tersebut. Penentuan batas-batas antara mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan dapat dilakukan secara arbiter dengan mempertimbangkan batas situs, kondisi geotopografi, dan kelayakan pandang.
Pada dasarnya ada 3 (tiga) jenis bentuk pemintakatan yaitu konsentris, linear, dan sel. Pemintakatan secara konsentris dilakukan untuk BCB dan KCB yang terletak pada satu lokasi dengan geotopografi yang relative datar. Pemintakatan secara konsentris seperti yang diterapkan pada Candi Borobudur dan kompleks Candi Prambanan dalam pengelolaan Taman Wisata Candi Borobudur dan Prambanan. Untuk situs-situs seperti gua-gua prasejarah dapat dilakukan pemintakan secara linear (Gunadi, 1999). Karena untuk situs-situs gua prasejarah ini biasanya secara geotopografi tidak mungkin dilakukan pemintakatan secara konsentris maupun dengan cara sel. Sedang untuk kawasan yang sangat luas dan ditemukan banyak situs dengan sebaran yang tidak teratur, maka pemintakatan dapat dilakukan dengan system sel. Pemintakan seperti ini misalnya untuk kawasan cagar budaya Sangiran. Dengan mempertimbangkan batas-batas situs yang diperoleh dari hasil penelitian arkeologi, lansekap, dan penggunaan lahan pada masa lampau (setting for archaeological sites), maka batas-batas mintakat akan dapat ditentukan.

Pelestarian secara fisik lainnya adalah upaya menghambat proses penurunan kualitas BCB dan KCB dengan cara preservasi dan konservasi. Preservasi dilakukan untuk BCB yang belum mengalami pelapukan dengan melakukan pemeliharaan baik secara manual atau mekanis maupun secara kimiawi. Sedangkan kegiatan konservasi diperlakukan pada BCB yang telah mengalami proses pelapukan (terkena penyakit) dengan tujuan agar dapat menghambat dan menghentikan proses pelapukannya. Dalam perlakuan konservasi diperlukan langkah-langkah seperti observasi, pengumpulan masalah, identifikasi, diagnosis, perlakuan atau tindakan konservasi, dan supervisi. Siklus kegiatan seperti di atas harus dilakukan secara berkesinambungan. Untuk BCB yang tidak bergerak dapat dilakukan kegiatan pemugaran, apabila komponen-komponen bangunan atau monument tersebut secara teknis memungkinkan untuk dilakukan restorasi.

V. Pemanfaatan Benda dan Kawasan Cagar Budaya

Setelah BCB dan KCB berhasil dilestarikan, maka tahap akhir dari system pengelolaannya adalah pemanfaatannya. Akan sia-sia suatu obyek BCB ataupun KCB dilestarikan apabila tidak dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian suatu program kerja harus dapat mewujudkan out put, out come, benefit, dan impactnya, sehingga kinerja suatu lembaga dapat diukur keberhasilannya. Berdasarkan teori, BCB dan KCB tidak hanya untuk kepentingan lembaga tertentu (arkeologi), akan tetapi dapat dimanfaatkan pula oleh berbagai kepentingan, antara lain:
  1. Scientific research, artinya bahwa BCB dan KCB tidak hanya untuk memenuhi kepentingan ilmu arkeologi ataupun lembaga arkeologi dan purbakala, tetapi berbagai disiplin lain dapat pula memanfaatkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh: BCB tidak bergerak seperti candi, masjid, dan gereja kuno dapat pula dijadikan kajian dan obyek penelitian para arsitek maupun ahli teknik lainnya.
  2. Creative arts, bahwa BCB dan KCB dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, penulis, dan fotografer dengan memanfaatkan obyek tersebut sebagai obyek kreativitasnya.
  3. Education, BCB mempunyai peranan penting dalam pendidikan bagi pelajar dan generasi muda, terutama dalam upaya menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsa dan tanah air.
  4. Recreation and tourism, pemanfaatan BCB dan KCB yang paling umum dan nyata ialah sebagai obyek wisata yang dikenal dengan wisata budaya. Lebih-lebih untuk obyek BCB ataupun KCB yang berada pada lingkungan alam yang menarik akan memiliki nilai tambah dan daya tarik yang tidak ditemukan di tempat lain.
  5. Symbolic representation, dimaksudkan bahwa BCB ataupun KCB kadang-kadang dimanfaatkan sebagai gambaran secara simbolis bagi kehidupan manusia. Misalnya Masjid Syuhada dan Kawasan Kota Baru dapat dipahami sebagai symbol kepahlawanan dan pertempuran antara bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda.
  6. Legitimation of action, banyak para pejabat dan orang-orang yang berduit, setelah mendapatkan kedudukan atau kekayaan, mereka kadang-kadang berusaha untuk dapat memiliki atau menguasai BCB tertentu agar dapat meyakinkan kepada masyarakat umum tentang kesuksesan dirinya dan untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi.
  7. Social solidarity and integration, BCB yang berupa punden atau makam cikal-bakal suatu desa dapat mewujudkan suatu motivasi solidaritas social dan integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat. Pada saat-saat tertentu para ahli waris yang merasa keturunan cikal bakal tersebut mereka menziarahinya, maka pada sat itulah akan muncul kesadaran diantara mereka.
  8. Monetary and economic gain, BCB dan KCB yang telah dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya, akan mendatangkan keuntungan terutama bagi masyarakat disekitar obyek. Pemerintahpun akan mendapatkan pemasukan sebagai pendapatan asli daerah yang berasal dari pungutan retribusi.

PENUTUP

Pemanfaatan BCB dan KCB seperti di atas dapat terwujud apabila suatu potensi BCB ataupun KCB tersebut dapat dikelola dengan baik dengan mengacu pada kaidah-kaidah akademis dan praktis. Dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, saya telah mengusulkan satu model “Three in One” dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi yang dalam hal ini dapat dianalogikan dan diterapkan pada pengelolaan BCB dan KCB. Model three in one tersebut yaitu : penelitian yang berwawasan pelestarian dan pemanfaatan, pelestarian yang berwawasan pemanfaatan dan penelitian, serta pemanfaatan yang berwawasan penelitian dan pelestarian. Model tersebut kami usulkan karena kondisi pengelolaan BCB di Indonesia yang terkotak-kotak antara kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan. Hal ini sangat jauh berbeda dengan system pengelolaan yang dilakukan oleh Negara-negara lain. Kalau di Indonesia Museum yang berfungsi sebagai sector pemanfaatan berada pada muara dan menunggu hasil-hasil kegiatan dari sector penelitian dan pelestarian. Sedangkan di Negara lain museum merupakan pusat pengelolaan sumberdaya budaya yang memiliki sumberdaya manusia bidang penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan. Dengan demikian segala aspek pengelolaan dapat dipantau dan alur kegiatannyapun dapat mengalir dengan lancar dalam satu manajemen. Seperti yang dapat kita lihat di lingkungan Negara Asia Tenggara seperti Thailand, Philippine, dan Malaysia, juga di Jepang, dan Negara-negara maju lainnya.

Untuk mengakhiri presentasi ini ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beserta seluruh jajarannya yang telah memfasilitasi kami untuk tampil sebagai narasumber dalam forum sosialisasi pengelolaan BCB dan KCB di daerah Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman.

DAFTAR BACAAN

Gunadi, 1996. “Pemikiran Kembali Tentang Pengertian Situs Arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, Cipanas, 12 – 16 Maret, 1996.

Gunadi dan Tri Hatmaji, 1997. “Bangunan-Bangunan Indis di Jawa tengah: Tinjauan Kelestarian dan Pelestariannya”, Diskusi Ilmiah Arkeologi VIII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat D.I. Yogyakarta – Jawa Tengah.

Gunadi, 1998. “Archaeological Resource Management in Indonesia, Indo Pacific Prehistory Association Conference, Melaka, Malaysia, 1 – 7 July 1998.

Gunadi, 1999a.”Pola Pertamanan Situs-Situs Prasejarah di Indonesia”, makalah disampaikan pada Loka Karya Pembuatan Pedoman Pertamanan Benda Cagar Budaya dan Situs, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Kaliurang 13 – 15 September 1999.

Gunadi, 1999. “Wall Painting Conservation in South Sulawesi: A Case Studies on Wooden Panels of Torajann’s Traditional House”, Ninth Seminar on the Conservation of Asian Cultural Heritage (proceeding), page 86 – 91, Tokyo National Research Institute of Cultural Properties, Tokyo – Japan.

Gunadi, 2000. “Religious Influences on Indonesian Court Architecture : A Case Studies on Torajan’s Traditional Buildings”, Seminar on South East Asian Traditional Architecture, SEAMEO Regional Centre For Archaeology and Fine Arts, Bangkok, Thailand.

Gunadi, 2001. “Retrospeksi Pengelolaan Sumberdaya Budaya: Satu Studi Kasus Tentang Upaya Pelestarian Sumberdaya Budaya di Makassar”, Majalah Dunia Pendidikan, No. 15, 16, dan 17, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Selatan.

Kasnowihardjo, H. Gunadi, 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin LEPHAS, Makassar.
Kasnowihardjo, H. Gunadi, 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, diterbitkan oleh: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.



















Biodata Penulis :
Nama : Drs. H. Gunadi Kasnowihardjo, MHum.
Tempat/Tgl.lahir : Klaten, 16 Juni 1955
Pendidikan : S1 Arkeologi, UGM th. 1982
: S2 Arkeologi, UI th. 1994
Pekerjaan : th. 1980 – 1996 pemb.pim. pada SPSP Jawa Tengah
: th.1997 – 2002 Ka. SPSP Sul-Sel & Tenggara
: th.2002 – 2006 Ka. Balai Arkeologi Banjarmasin
: th. 2007 – sekarang peneliti pada Balar Yogyakarta jabatan fungsional Peneliti Madya, Gol. IV/b.

Karya Ilmiah berupa buku ada 5 judul yaitu:
  1. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun 2001.
  2. Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Kalimantan, tahun 2004.
  3. Ensiklopedi Wayang Kulit Banjar, Balai Arkeologi Banjarmasin, tahun 2006.
  4. Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar, Pem. Prop. Kalimantan Selatan, th. 2006 ditulis bersama Bani Noor dan Naimatul Aufa dari Jurusan Teknik Arsitektur UNLAM.
  5. Kajian Arkeologi-Sejarah Kerajaan Kutai Martapura, Balitbangda, Kutai kartanegara, tahun 2007 ditulis bersama M. Dwi Cahyono dari jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Saat ini baru menyelesaikan buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-3, dan bersama Prof. Sumijati Atmosudiro tengah mengedit buku berjudul Prasejarah Indonesia dalam Asia Tenggara – Pasifik. Kegiatan ilmiah lain aktif dalam berbagai seminar dan symposium tentang arkeologi, sejarah, dan pelestarian kebudayaan pada umumnya.
Sejumlah artikel dan makalah dalam berbagai seminar dan pertemuan ilmiah, baik yang telah diterbitkan dalam bentuk proceeding maupun dalam jurnal, majalah, dan surat kabar. Kegiatan ilmiah seperti seminar, kongres, maupun work shop antara lain di Thailand (1983 dan 2000); Jepang (1996 dan 1999); Malaysia (1998 dan 2005); Barcelona, Spanyol (1999); Philippine (2006).


Friday 13 March 2009

TEMBUNG WATAK-WEWATEKAN

Menggah ing kanggenipun mbomanawi kemawon:



1. Kenging kagem srana mawas dhiri, tuwin kangge ancer-ancer anggenipun nggulawenthah anak putu, kacelakna dhateng wawatekan sae ing kapribaden Jawi, saha katebihna saking ingkang mboten sae.

2. Wawatekan mribadi Hawu (Indonesia?) menika temtu wonten ginanipun tumraping bidhang panitipriksa ing lingkungan filologi, pendidikan, lan etika.

3. Inggih punika nyekapi wewahan tembung Indonesia manawiri kaleres kabetehaken, krana ing tembungipun Indonesia dereng wonten, kadosta: alem, andhap, asor, anteng, blater, cancingan, ethes, gathekan, lsp.



A. Watak lan Wawatekan sae, kapratelakaken srana tembung:.

1. Alim-gas-gasan

2. Andhap asor

3. Anor-raga

4. Anteng

5. Bandhel

6. Bawa-leksana

7. Bekti

8. Ber

9. Berbudi

10. Blaba

11. Blater

12. Dhemen dana

13. Dhemen gawe becik

14. Dhemen tetulung

15. Cancingan

16. Cekat-ceket

17. Elingan

18. Ethes

19. Gatekan

20. Gemi

21. Gita

22. Grapyak

23. Gumati

24. Guyup-rukun

25. Jembar

26. Jembar segarane

27. Jenjem

28. Jatmika

29. Jinem

30. Ujur

31. Kenceng kakarepane

32. Kewes

33. Kikrik

34. Legawa

35. Lila-legawa

36. Luwes(an)

37. Mengku kasujanan

38. Kewes

39. Legawa

40. Micara

41. Momong momot, mengku

42. Mrak ati

43. Mrantasi

44. Mugen

45. Ngalahan

46. Ngemong

47. Nriman

48. Pradhah

49. Prayitna

50. Precaya

51. Pretitis

52. Prigel

53. Rahayu

54. Reksa-rumeksa

55. Rereh

56. Resik-an

57. Ringas

58. Rumaket

59. Sabar

60. Sabar-drana

61. Sabar-sareh

62. Sedhep

63. Sedhet

64. Semanak

65. Setya

66. Setya-bekti

67. Setya-tuhu

68. Setya ing kanji

69. Sregep

70. Sugih tepa

71. Sumarah

72. Sumeh

73. Susila

74. Tahan

75. Tajem

76. Tanggap

77. Tanggap ing sasmita

78. Tata

79. Tatag

80. Tunggon

81. Tatrap

82. Tegen, mugen, rigen

83. Temen

84. Teteg-tatag-tanggon

85. Teteh

86. Titih

87. Trampil

88. Tresna-asih

89. Trepsila

90. Tumemen

91. Tuminah

92. Wanter

93. Wanten

94. Waskitha

95. Waspada

96. Welasan

97. Werit

98. Wruh sanak sedulur

99. Wicaksana

100. Wingit

101. Wruh ing ala becik

102. Wruh ing becik

103. Wruh ing butuh

104. Wruh ing petung

105. Wruh ing prelu

106. Wruh ing semu

107. Wruh ing wewadi


B. Wewatekan mboten sae, sirikanipun titiyan Jawi



1. Amblunthah

2. Ambedhidhil

3. Ambegedut

4. Ambejujag

5. Ambesengut

6. Ambesiwit

7. Ambesur

8. Ambrengkelo

9. Amblubut

10. Andhugal

11. Andremis

12. Anggak

13. Anggras

14. Amem

15. Andridhis

16. Angker

17. Angkuh

18. Anggaedog bosok

19. Angglegek

20. Anggleges

21. Angedebus

22. Anggegiri

23. Angglathak

24. Angglenggem

25. Anggethongumos

26. Anyol-anyolan

27. Apik kemripik nancang kirik

28. Aras-arasen

29. Bingungan

30. Bladhog

31. Brangasan

32. Braok

33. Breh-lerweh

34. Cacah-cucah

35. Calak

36. Camah

37. Candhak-cekel

38. Candhak-kulah

39. Cekakak-an

40. Cekakaran

41. Cengkiling

42. Cengkre

43. Centhula

44. Cilik-an aten

45. Cingeng

46. Clinthisan

47. Climut

48. Clemer

49. Clothak-clothok

50. Cola-clolo

51. Clonthetan

52. Clunthangan

53. Cluthak

54. Craki

55. Crewet

56. Crobo

57. Cugetan-aten

58. Dhemen-padu

59. Dhemen sembrana

60. Dhodhok acung

61. Dak menang

62. Delap

63. Dremba

64. Drengki

65. Ewan

66. Edan-edanan

67. Gas-gasan

68. Gawe-gawe

69. Gawe gela

70. Gawe gendra

71. Gawe kaged

72. Gawe kusut

73. Gawe onar

74. Gawe serik

75. Gemaib

76. Gemagus

77. Gemblelengan

78. Gembeng

79. Gemluweh

80. Gemampang

81. Getapan

82. Guru-aleman

83. Iren

84. Jail

85. Jirih

86. Juweh

87. Kemaki

88. Kemayu

89. Kemliya

90. Kemluhur

91. Kemproh

92. Kewat

93. Kibir

94. Kolon

95. Kemelungkung

96. Kumet

97. Kumenthus

98. Kumengsun

99. Kumresik-resik

100. Ladak

101. Ladak-lirih

102. Lamis

103. Lamis

104. Leledha

105. Lelewa

106. Lemer

107. Medhit

108. Meren

109. Mentalan

110. Nakal

111. Nistha

112. Ngajipupung

113. Ngangsa-angsa

114. Nganeh-anehi

115. Ngawu-awar

116. Ngayawara

117. Ngebreh

118. Ngendel-endelake

119. Ngingkrak-ingkrak

120. Ngthuh

121. Nrayak

122. Nrucak

123. Nyaru-wuwus

124. Nyengel-nyengel

125. Nyenyengit

126. Nyelneh

127. Nyongol-nyongol

128. Nyumur-gemuling

129. Ora duwe isin

130. Ora genah

131. Ora kaopan

132. Ora nyebut

133. Ora srantan

134. Ora taba

135. Ora urus

136. Parawadulan

137. Pung-nak pung-na

138. Rai gedheg

139. Rakus

140. Remeh

141. Rongeh

142. Rucah

143. Rusuh

144. Semengit

145. Semuci-suci

146. Sendhon-sikon saron waon

147. Sengguh

148. Slender

149. Slingkuh

150. Srakah

151. Sumongah

152. Wangkot

153. Wiyaen

154. Umuk

155. Ungas

156. Yab-yaban

157. Yak-yakan

Wednesday 11 March 2009

G.B.P.H. Suryobrongto


G.B.P.H. Suryobrongto. Putra Sri Sultan Hamengku Buwana VIII, lahir tanggal 11 Nopember 1914 dan menamatkan pendidikan AMS jurusan Sastra Timur tahun 1936. Beliau belajar menari sejak kecil dan terus mendalami tari hingga dewasa. Dalam pagelaran-pagelaran wayang wong di Kraton beliau pernah berperan sebagai Pathut Guritno, Bathara Bromo, dan R. Gathotkoco, dalam Beksan Lawung bertindak sebagai lurah.


Secara khusus beliau berguru tari kepada G.P.H Tedjokusumo, K.R.T Condrodiningrat, RM. Dutodiprojo, K.R.T. Padmodiningrat, R.W. Hatmodijoyo dan KPH Brongtodiningrat. Beliau pernah menjabat sebagai sekretaris pribadi Sri Sultan Hamengku Buwana IX, aktif ikut serta mengembangkan tari klasik gaya Yogyakarta. Pada Tahun 1933-1944 menjadi guru tari klasik di Krida Beksa Wirama, menjadi guru tari di Kraton Yogyakarta ( 1944-1945) dan menjadi guru tari di Among Beksa Kraton Yogyakarta dan pernah mengajar Akademi Tari Indonesia Yogyakarta ( 1967-1969).


Suryobrongto secara khusus juga menekuni filsafat Joged Mataram. Karya-karya tulis di bidang tari antara lain : Tari Klasik Gaya Yogyakarta, Kaidah Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Selain memberi ceramah-ceramah mengenai tari klasik, ikut mengembangkan dan membuat ragam tari golek menak. Beliau ikut serta melawat ke luar negeri sebagai Art Director dari tim kesenian Siswo Among Bekso antara lain ke Eropa Barat ( 1971), Hongkong dan Jepang (1973) dan ikut serta menangani perlawatan rutin Siswo Among Bekso berpentas di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Dalam Pergelaran Langen Bekso Gagrag Ngayogyakarta tahun 1981, GBPH Suryobrongto bertindak selaku penasehat tari.

K.P.H Brongtodiningrat



KPH Brongtodiningrat. Lahir tanggal 20 Oktober 1989. Dan menamatkan Sekolah Dasar tahun 1908. Masuk menjadi abdi dalem jajar punokawan kadipaten tahun 1910, sambil kursus privat Bahasa Belanda di Dalem Ngadikusuman. Pada tahun 1915 menjadi bekel, tahun 1917 menjadi Bupati Anom Mantu Dalem. Kemudian diperuntukkan kantor Kepatihan hingga tahun 1922 beliau menjadi sekretaris Sri Sultan Hamengku Buwana VIII. Karier sebagai guru tari di mulai sejak 1934 di Kraton Yogyakarta. Beberapa pagelaran tari yang pernah diikuti antara lain : Turut serta dalam Pagelaran Lagendria Golek di Mangkubumen, pergelaran Langen Mandra Wanara di Dalem Sosrodipuran, juga Bedoyo, Serimpi dan Tari Golek, di Kraton Yogyakarta. Menjadi beksan Eteng yang dipagelarkan di Surakarta pada tahun 1914, dan pada tahun 1916 menjadi penari golek di Puro Mangkunegaran.

Sebagai guru tari beliau menyusun tari yang diberi nama : Dwi Tunggal di samping ikut membuat ragam tari Bedhoyo Sangas Koro dan ragam tari golek menak. Menyusun naskah cerita Golek Menak dan fragmen senggono duta serta menyusun cara-cara memberikan pelajaran dan cara membetulkan patrap-patrap tari klasik gaya Yogyakarta.

Bebarapa karya tulis yang pernah dibukukan antara lain : Wulang Beksa Budaya, Filsafat Budoyo lan Srimpi, Joged Mataram, Joged Bedoyo Kraton, Tata rakit adalah suwaosipun Kraton Ngayogyakarta, Boso Kedhaton ( Bagong-an), Riwayatipun Ki Ageng Giring, Waosan Kojar Sakolo. Beberapa peranan tari yang pernah diperankan di Kraton Yogyakarta antara lain : R.Janoko, R. Sri Suwela, Mintorogo.R. Ongkowijiyo, dan lain-lain.

Kanjeng Raden Tumenggung Purbaningrat

Kanjeng Raden Tumenggung Purbaningrat. Putera G.B.H Suryamataram dilahirkan pada tanggal 10 Mei 1865. Pada waktu itu pemerintah Sri Sultan Hamengku Buwana VII beliau diangkat menjadi Bupati Anom Wedono Ageng Punokawan dan disertai kewajiban menjadi pimpinan seni tari, seni tembang dan seni karawitan di Kraton Yogyakarta.
Pada waktu Sri Sultan Hamengku Buwana VII menyelenggarakan wayang orang di Kraton dengan cerita Joyo Semedi, K.R.T Purbaningrat berperan sebagai sebagai Prabu Sri Suwelo. Dalam Cerita Pregiwo-Pregiwati memerankan Prabu Bethoro Kresno.
Beliau menciptakan Tari Bedhoyo Putri dengan tembang dan gendhingnya : 1) Bedhoyo Kuwung-kuwung, 2) Bedhoyo Sapto 3) Bedhoyo Sangaskoro( Bedhoyo Penganten).
Selain itu diciptakan : Bekso Golek Putri dengan gendhing Lambang sari, Bekso Kethek, Cantrik, Klono, Raja Rasekso, dan lain-lain.
Gendhing-gendhing ciptaannya antara lain : Prabu Utomo, Prabu Dewo, Prabu Manukmo, Prabu Wibowo, Madumurti, dan lain lain. Jabatan terakhir beliau adalah abdi dalem Bupati Nayoko Bekel Wedono Bumijo Pembesar II K.H.P Yogyakarta. K.R.T Wiroguno meninggal pada tanggal 13 Juli 1949 dan dimakamkan di Pesantren Hastorenggo Kota Gede Yogyakarta.

B.P.H. Tedjokusumo

B.P.H. Tedjokusumo atau yang lebih akrab dipanggil Gusti Tedjo adalah panutan seni tari, kemudian beliau menguasai tari putri dan alus sehingga pada waktu muda memperoleh Peran Arjuno. Beliau sebagai Direktur Tari dari Krido Beksa Wirama. Pada Zaman Sri Sultan Hamengku Buwana IX berkenan mendirikan Hamong Bekso Kraton Yogyakarta, Gusti Tejo bersama Pangeran Suryodiningrat mengemban tugas Kraton untuk menatar dan menguji calon-calon guru tari Hamong Bekso dengan sistem dan pengujian dari Krida Beksa Wirama, Seputar tahun 1950-an Krida Beksa Wirama mengadakan regenerasi kepemimpinan, dan waktu itu beliau masih sempat mengemukan kreasi tari ” Langen Tirto ” yang memperlihatkan gerak-gerik baru bersumber binatang. Karena ketokohannya dalam tari klasik gaya Yogyakarta, maka beliau menerima penghargaan RI. Piagam seni budaya” Wijaya Kusuma”

Kanjeng Raden Tumenggung Wiroguno


Kanjeng Raden Tumenggung Wiroguno. Putra dari KGPA Mangkubumi dan RAY. Tejomurti ini dilahirkan pada tanggal 3 Nopember 1876 di Yogyakarta. Beliau ,mempunyai kegemaran melukis dengan cat air dan cat minyak. Beberapa lukisannya terpancang di Kraton Yogyakarta.


K.R.T Wiroguno menjabat Bupati Patih Kadipaten Yogyakarta termasuk empu gendhing yang unggul. Disamping itu beliau masih melanjutkan membina corak pagelaran tari ciptaan ayahnya , Pangeran Mangkubumi, yaitu Langendriya. Beliau juga menciptakan dan mengembangkan tari golek putri, ikut serta membina Perkumpulan Tari Krida Beksa Wirama dan aktif membina penyiaran gendhing-gendhing atau seni suara melalui siaran radio pada masa itu.


Hasil Karya K.R.T Wiroguno antara lain : 1) menyusun teori dan pedoman seni gendhing dan suara gaya Mataraman, 2) menciptakan notasi gendhing gaya Mataraman dengan not balok, 3) menyusun suatu lokasi gendhing-gendhing Mataram dalam suatu buku tulisan tangan mulai tahun 1919, 4) mencipta dan menggubah tidak kurang dari 100 buah gendhing, baik gendhing Ageng maupun gendhing alit.

Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo


Kanjeng Raden Tumenggung Madukusumo. Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1899 di Yogyakarta Putera Ngabehi Prawiroreso ini pada tahun 1909 tamat Sekolah Dasar di Gading dan Tahun 1916 masuk menjadi abdi dalem Kraton sebagai Jajar Prajurit Wirabraja hingga menjadi Bupati Anom yang berkantor di KHP. Kridomardowo Kraton Yogyakarta. Dalam membantu usaha pemerintah,beliau menjadi guru di IKIP Jurusan Bahasa Jawa Bagian Kesenian, Guru karawitan di SGA, guru Konservatori Tari Indonesia dan Guru ASTI. Karirnya dimulai tahun 1922 sebagai pesindhen budaya atas perintah Sultan Hamengku Buwana VIII.


Hasil karyanya antara lain : 1) membuat cakepan (syair) Lagon-kakawin, ada-ada untuk wayang orang di Kraton, 2) Cakepan (syair) Pasindhen Bedhayan, Srimpi, Golek dan lain-lain, 3) mencipta tembang antara lain : Pujaretna, Garjita Sapada, Conrobasengkara, Candrawisalasita, danlain-lain : 4) mencipta gendhing antara lain : Tunggal Jiwa, Sri Hasta, Srinawa, Pandayarasa, Sari Mulat, Ngestitama, Sidomurti, dan lain-lain.


K.R.T. Madukusumo seorang ahli karawitan dan pedhalangan gaya Yogyakarta. Sebagai seniman dan pengarang, beliau pernah menjadi direktur dhalang Habirandha dan menjadi yuri dalam perlombaan tembang dan gendhing ( Karawitan )

KLANA ALUS

Tari tunggal gaya Yogyakarta, lahir di lingkungan istana dan ditampilkan sebagai pertunjukkan tersendiri yang klasik. Pada penampilannya klana Alus lebih lunak dan lamban irama geraknya. Merupakan nikmat keindahan tersendiri, bagi suasana kehidupan romantis pada zamannya, seperti kelahiran ”beksan eleng” yang mendambakan soal ”bagus” yang kontras dengan ”beksan lawung” yang perkasa.

Tokoh yang ditampilkan biasanya prabu Jangkung Mardeya, yang gandrung terhadap seorang putri kerabat Pandawa. Hiasan kepala dapat pula dengan ”teropong” atau ”songkok”. Tokoh lain yang lebih unik adalah Prabu Sri Suwela, penyamaran Dewi Arimbi, yang dalam figur pria meminang Bima. Hiasan kepala menunjukkan keunikan keindahan di luar pola tradisional, mempergunakan bulu-bulu burung merpati yang ditata indah warna-warni artistik Jawa. Gerak”tari” Sri Suwela lebih mendekati sifat feminim. Iringan”klana alus” biasanya gendhing ”cangklek laras slendro palet 9.
Klana Alus merupakan jenis tari klana yang ditarikan dengan tipe tari alus gaya Yogyakarta yang menggambarkan seorang kesatria sabrangan (seberang) yang sedang jatuh cinta.

GOLEK, TARI

Komposisi tari tunggal puteri gaya Yogyakartayang lazim ditarikan oleh seorang gadis remaja. Tari ini bersumber pada tari klana Alus yang mulai berkembang sejak akhir abad ke 19. Golek menggambarkan seorang gadis remaja yang sedang suka bersolek seperti berbedak, mengenakan hiasan ,berdandan, berkaca, dan sebagainya. Di Yogyakarta dahulu tari golek ditarikan oleh seorang pemuda remaja berpawakan kecil dan berparas cantik.

Jenis tarian yang lahir di lingkungan istana ini mempergunakan acuan gerak tari”ledek” yang kerakyatan, tergarap dan terangkat penuh stilasi yang Shopisticated. Hal ini tampak jelas pada penamaan beksa ”golek lambang sari ” . Varian lain dalam golek bersusulan antara lain adalah golek ”asmaradhana”, sulung dayung dan sebagainya yang pola geraknya mengikuti gendhing-gendhing iringannya yang sekaligus menjadi namanya.

Tari golek sebagai satu-satunya tari putri yang berfungsi sebagai tari tontonan, pada awalnya menjadi sattu-satunya tari tunggal puteri. Pada awal kemunculannya, keberadaan tari ini selalu dikaitkan dengan opera tari ”langendriya”. Tari ini dipertunjukkan pada akhir langendriya dan tari golek berdiri sendiri, tidak saling terkait. Kata golek dalam bahasa jawa berarti mencari. Mencari dalam konteks tari golek adalah mencari jati diri atau kepribadian pelaku tari ( penari). Walaupun tari golek sebagai tari tunggal, tetapi sering disajikan secara kelompok. Tokoh-tokoh yang sangat berperan dalam pengembangan tari Golek antara lain: K.R.T Purbaningrat, K.R.T Cakraningrat, dan K.R.T. Purwanegara. Selanjutnya banyak sekali pakar-pakar tari yang mulai menciptakan tari Golek, antara lain :GBPH Puger, RM Dinusatama dan KRT. Sasmintadipura ( Rama Sas).

Tari Golek yang dicipta di kemudian hari tidak ada satupun yang terkait dengan langendriya . Semuanya merupakan tari tunggal yang berdiri sendiri, hanya saja ada penyempitan waktu. Jika pada awalnya durasi tari Golek kira-kira satu sampai satu setengah jam, kemudian dipadatkan hanya sepuluh sampai dua puluh menit, bahkan lima atau tiga menit.

Klana Raja

Salah satu tari tunggal Gaya Yogyakarta yang lahir di lingkungan istana, sering ditampilkan sebagai seni pertunjukan tersendiri yang klasik. Disebut Klana Raja karena figur Raja adalah manifestasi penguasaan mayapada dan alam astral yang hadir. Sebutan ”Klana” adalah bagi tokoh besar pengelana yang datang dari luar, yang dapat pula berkonotasi pada manusia-manusia yang suka mengikuti imajinasi terhadap hal-hal yang besar, cita-cita tinggi,yang kadang-kadang berasosiasi pada romantisme suatu ke” gandrungan ” yang tidak mesti bersifat erotis atau cenderung seks, melainkan pada idealisme yang estetis. Ada suatu kegagahan dalam pengeJawantahan.

Motif hiasan kepada klana Raja adalah”tropong”, seperti yang dipakai oleh Prabu Baladewa- Suteja yang terasa paling agung di antara hiasan kepala raja jenis lainnya, seperti ”songkok ”Duryudana yang masih dimungkinkan dipakai. Sedangkan ketu Narpati Basukarna, ”keling” Wibisana kurang lazim dikenakan. Berbeda dengan wayang pada umumnya, penari klana menambah sampurnya melingkar di leher, yang banyak berfungsi dibandingkan dengan penggunaan sampur pinggang.

Dalam penampilannya klana raja merupakan suatu penggambaran keagungan raja, dengan gaya tari gagah”kalang kinantang raja ” yang berbeda dengan ” kalang kinantang” biasa, terutama pada waktu ” ngunus ” kaki kiri, tangan kiri sejajar gerak kaki kemudian melanjutkan kearah badan, lengkung kekiri atas, kemudian ”coklek ” pergelangan tangan disambung ”pacak gulu ” yang menyelesaikan phrase gerak itu secara manis dan jantan. Demikian pula pose tangan kiri diperuntukkan pada ” ngoyong kanan” maupun pada saat ”tancep” yang memberikan ekspresi kesebaran. Di tingkat Irama gendhing ”lung gadung ” pelog bem, maka tarian ini mengumandangkan keagungan keagungan. Pada bagian ”nglana” iringan membawakan suasana erotik yang ”sakral” seperti diupacara temanten, berbeda dengan ”bendrong” pada klana topeng yang menggelitik secara profan, bahkan pada golek ”lambang sari” menimbulkan rangsangan tingkat tinggi karena kehalusannya.

Beksan Bandabaya

Beksan Bandabaya beksan khas Puro Pakulaman Yogyakarta, diciptakan oleh Sri Pakualaman II sekitar tahun 1825-1850. Hingga kini beksan ini masih dilestarikan bentuk penyajiannya. Beksan Bandabaya boleh dikatakan suatu beksan kelengkapan upacara di Pura Paku Alaman apabila Sri Paduka Paku Alam menjamu tamu terhormat. Tema Beksan Bandabaya mengambarkan kegagahan dan ketrampilan prajurit Puro Paku Alaman berlatih perang dengan menunggang kuda, dilengkapi peralatan tari berupa tameng dan pedang panjang. Pementasan Beksan Bandabaya menggunakan dasar gerak tari Kalang Kinantang perpaduan gaya Surakarta dan Yogyakarta. Iringan yang dipergunakan beksan tersebut ialah : (1) Pathetan Pelog Barang dilanjutkan Bawa Swara Durma Rangsang Pelog Barang, (2) Ladrang Bimokurda Pelog Barang, (3) Lancaran Bindiri Pelog, dan (4) Petetan Pelog Barang.Tata rias berpijak pada tokoh pewayangan, seperti tokoh sencaki.

Beksan Bancak- Doyok


Salah satu jenis petilan gaya Yogyakarta yang bukan bertema perang tanding seperti umumnya beksan. Beksan Bancak-Doyok merupakan jenis tari petilan lawakan yang menggambarkan tokoh punakawan( abdi) kesayangan dari Daha bernama Bancak dan Doyok. Tema cerita bersumber pada cerita panji yang mempunyai karakteristik yang kontras antara kedua tokoh tersebut.


Tari yang merupakan perpaduan antara nyanyian, tarian, dan lawakan ini sering digunakan untuk menggambarkan kehidupan sehari-hari, sehingga dapat disamakan dengan gara-gara dalam cerita wayang. Adegan biasanya dimulai dengan keluarnya bancak sendirian yang menceritakan kisah hidupnya, diselingi dengan nyanyian dan tarian. Kemudian muncul doyok yang diceritakan telah lama mencari saudaranya, bancak. Keduanya saling menceritakan pengalamannya masing-masing disertai lawakan-lawakan.


Busana yang dikenakan Bancak adalah pakaian celana panjen, kain batik dan blangkon dengan rias muka sedemikian rupa sehingga bermata sipit, berhidung bulat, dan berkulit hitam, dan berhidung pesek. Gending yang digunakan dalam tarian ini menggunakan iringan gamelan lengkap kembang nangka, glathik inceng-inceng, linggar-jati dan srundeng gosong.


Pementasan tari ini jarang dilakukan karena menuntut keahlian khusus. Beksan Bancak-Doyok bukan suatu tarian yang gampang, karena seorang penari harus menguasai ragam tarian putri, disamping penguasaan gending-gending.

B.P.H. Suryodiningrat

B.P.H. Suryodiningrat. Putra Sri Sultan Hamengku Buwana VII ini dilahirkan dari ibunda BRA Retno Juwito, seorang penari bedoyo, Pangeran Suryodiningrat seorang otodidak, tekun belajar bahasa asing, psikologi, pendidikan politik, karena didorong oleh kesadaran kemajuan zaman agar tidak tertinggal oleh putera-putera yang bersekolah. Atas penguasaan bahasa Belandanya, ia diangkat menjadi ambtenar controleur van agrorische zaken. dengan gaji 500 gulden/bulan, disamping gaji pangeran Kraton sebesar 1000 gulden dan honor karya tulisnya dipelbagai majalah dan surat kabar. Banyak menyekolahkan kemenakan dan kerabat serta anak-anak desa. Ia pernah memimpin organisasi perjuangan rakyat desa Pakempulan Kawula Ngayogyakarta(PKN) sejah tahun 1930 hingga tahun 1960.


Memperoleh didikan menari di Kraton sejak kanak-kanak dalam tari Bedoyo, lalu alusan dengan peran irawan, Bekso Luwung, kemudian peran Kambeng Dewo Pertolo. Bersama G.B.H Tedjokusumo mendirikan Kridha Beksa Wirama pada tanggal 17 Agustus 1918. Pada seputar tahun 1926 Pangeran Suryodiningrat mendirikan Pamulangan Pedhalangan Habirandha, dan membuat patokan pewayangan gaya Yogyakarta.


Pada tahun 1925-an mulai mensubsidi dan mengembangkan tari-tari topeng karena menghawatirkan kepunahan tari topeng rakyat di zaman malaise perang dunia pertama. Tari Topeng kemudian banyak dipagelarkan dengan lakon-lakon panji dan sejarah Jenggala dan Kediri, bahkan penampilan topeng tar-tar, sebagai suatu adengan dizaman Kertanegara. Beliau juga merintis memecahkan larangan putri-putri kalangan atas belajar menari. Yang pada zamannya dianggap merendahkan martabat wanita karena pencemaran tledek, dengan jalan mendidik putri-putrinya sendiri menari dan mementaskannya.


Dalam perjuangan politik peranannya cukup besar antara lain : memimpin rakyat pedesaan, berhasil mengayomi rakyat kecil pedesaan, mendidik pemberantasan buta huruf. Berhasil mengangkat rakyat yang dipimpinnya menduduki kursi pemerintahan, serta perwakilan di MPRS, Parlemen, Konstituante, Badan Pemerintah Harian, DPRD. Karena Ketokohannya dalam seni budaya, ia menerima piagam penghargaan seni Wijaya Kusuma dari Pemerintah Republik Indonesia.

Kanjeng Raden Tumenggung Wironegoro


Kanjeng Raden Tumenggung Wironegoro. Seorang seniman tari dan pencipta gendhing. Lahir pada tanggal 29 Juni 1884, ia masuk menjadi abdi Kraton tahun 1889 dan memulai karier dalam bidang kesenian khususnya Karawitan dan tari. Mulai tahun 1918 mencipta gending antara lain : Gending Patra Manggala( Sekar Ageng Pewlog Bem Kendhangan Ketawang), Gendhing Jiwa Retna, Candra Mengeng, Sastra Menggala dan puluhan gendhing lainnya. Pada waktu menjadi guru tari dan ikut mengajar di Kridho Beksa Wirama, ia telah menciptakan cara latihan tari dengan mempergunakan hitungan satu, dua, tiga, empat yang sekarang menjadi pedoman pelajaran tari, Pada waktu itu masih berpangkat wedana dengan pangkat RW. Suryomurtjito. Tidak kurang dari 30 buah gendhing yang telah diciptakan selama menjadi abdi kraton.


K.R.T. Wironegoro meninggal pada bulan Januari 1964. Jabatan pernah dipegangnya adalah abdi dalem Bupati Anom Yogyakarta, wakil pembesar kelurahan Pangeran Hangabean, dan ketua Bebadan Among Beksa Kraton. Karena sumbangannya yang begitu besar pada kesenian, pada tahun 1978 ia menerima anugerah seni di Bidang Karawitan dari Pemerintah Republik Indonesia

KPAA Danurejo VII atau KPH Tjokrodiningrat


KPAA Danurejo VII atau KPH Tjokordiningrat, seniman yang pertama kali mengadakan pertunjukan wayang wong di luar Kraton Pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana VII penyelenggaraan pergelaran wayang wong di luar kraton tidak mudah seperti sekarang ini. Itulah sebabnya KPH Tjokrodiningrat mencari akal supaya dapat mementaskan wayang wong di luar Kraton, tetapi tidak menyamai wayang wong di dalam Kraton. Karena itu diciptakan Langen Mandra Wanara dimana semua tarian-tarian dilakukan dengan jongkok dan dialognya dengan tembang. Ternyata dengan terciptanya ” Langen Mandra Wanara ” dapat mengobati rakyat yang telah lama menunggu dan haus akan wayang wong asli di luar benteng kraton . Maka tiap-tiap latihan, rakyat dari segala penjuru kasultanan berduyun-duyun membanjiri halaman halaman Yudonegaran untuk menyaksikannya. Lebih-lebih jika ada ” Langen Mandara Wanara ” untuk setiap keperluan dimana para pemain berpakaian wayang lengkap dengan segala alat-alatnya, rakyat antusias menyaksikannya.


Tetapi sayang sekali bahwa pagelaran Langen Mandra Wanara ini membutuhkan biaya yang besar sehingga setelah beliau wafat tahun 1933, pergelaran Langen Mandra Wanara hampir tidak ada lagi. Hasil karya seni yang telah beliau ciptakan yaitu: a) Langen Mandra Wanara lengkap dengan gending-gendingnya, dialog atau tembang dan cakepannya ( syairnya), b) pencipta gamelan dimana bagian dibagian saron dibuat dari pecahan atau potongan gelas, yang terkenal dimana ” Gamelan Beling.”

Pamulang Beksa Ngayogyakarta


Munculnya dari ide atau gagasan para pendiri Mardawa Budaya juga yaitu R.L Sasmita Mardawa. Tujuan pendirian perkumpulan ini adalah untuk mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan seni tari klasik gaya Yogyakarta. Untuk menjadi siswa pamulangan terdapat syarat : a) siswa minimal tamat SD dan maksimal berumur berusia 25 tahun tahun, b) Klasifikasi kemampuan merupakan jenjang tingkatan melalui suatu proses persekolahan dan mengeluarkan ijazah. Pamulang Beksa Ngayogyakarta menggembleng siswa untuk dijadikan kader-kader penerus.