c

Sunday 25 December 2011

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA

SEJARAH KOTA YOGYAKARTA


Berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari adanya Perjanjian Gianti pada Tanggal 13 Februari 1755 yang ditandatangani Kompeni Belanda di bawah tanda tangan Gubernur Nicholas Hartingh atas nama Gubernur Jendral Jacob Mossel. Isi Perjanjian Gianti : Negara Mataram dibagi dua : Setengah masih menjadi Hak Kerajaan Surakarta, setengah lagi menjadi Hak Pangeran Mangkubumi. Dalam perjanjian itu pula Pengeran Mangkubumi diakui menjadi Raja atas setengah daerah Pedalaman Kerajaan Jawa dengan Gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.

Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaannya adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, Bumigede dan ditambah daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, Grobogan.

Setelah selesai Perjanjian Pembagian Daerah itu, Pengeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755.

Tempat yang dipilih menjadi ibukota dan pusat pemerintahan ini ialah Hutan yang disebut Beringin, dimana telah ada sebuah desa kecil bernama Pachetokan, sedang disana terdapat suatu pesanggrahan dinamai Garjitowati, yang dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II dulu dan namanya kemudian diubah menjadi Ayodya. Setelah penetapan tersebut diatas diumumkan, Sultan Hamengku Buwono segera memerintahkan kepada rakyat membabad hutan tadi untuk didirikan Kraton.

Sebelum Kraton itu jadi, Sultan Hamengku Buwono I berkenan menempati pasanggrahan Ambarketawang daerah Gamping, yang tengah dikerjakan juga. Menempatinya pesanggrahan tersebut resminya pada tanggal 9 Oktober 1755. Dari tempat inilah beliau selalu mengawasi dan mengatur pembangunan kraton yang sedang dikerjakan.

Setahun kemudian Sultan Hamengku Buwono I berkenan memasuki Istana Baru sebagai peresmiannya. Dengan demikian berdirilah Kota Yogyakarta atau dengan nama utuhnya ialah Negari Ngayogyakarta Hadiningrat. Pesanggrahan Ambarketawang ditinggalkan oleh Sultan Hamengku Buwono untuk berpindah menetap di Kraton yang baru. Peresmian mana terjadi Tanggal 7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta dibangun pada tahun 1755, bersamaan dengan dibangunnya Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I di Hutan Beringin, suatu kawasan diantara sungai Winongo dan sungai Code dimana lokasi tersebut nampak strategi menurut segi pertahanan keamanan pada waktu itu
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII menerima piagam pengangkatan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi DIY dari Presiden RI, selanjutnya pada tanggal 5 September 1945 beliau mengeluarkan amanat yang menyatakan bahwa daerah Kesultanan dan daerah Pakualaman merupakan Daerah Istimewa yang menjadi bagian dari Republik Indonesia menurut pasal 18 UUD 1945. Dan pada tanggal 30 Oktober 1945, beliau mengeluarkan amanat kedua yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Istimewa Yogyakarta akan dilakukan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII bersama-sama Badan Pekerja Komite Nasional

Meskipun Kota Yogyakarta baik yang menjadi bagian dari Kesultanan maupun yang menjadi bagian dari Pakualaman telah dapat membentuk suatu DPR Kota dan Dewan Pemerintahan Kota yang dipimpin oleh kedua Bupati Kota Kasultanan dan Pakualaman, tetapi Kota Yogyakarta belum menjadi Kota Praja atau Kota Otonom, sebab kekuasaan otonomi yang meliputi berbagai bidang pemerintahan massih tetap berada di tangan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kota Yogyakarta yang meliputi daerah Kasultanan dan Pakualaman baru menjadi Kota Praja atau Kota Otonomi dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1947, dalam pasal I menyatakan bahwa Kabupaten Kota Yogyakarta yang meliputi wilayah Kasultanan dan Pakualaman serta beberapa daerah dari Kabupaten Bantul yang sekarang menjadi Kecamatan Kotagede dan Umbulharjo ditetapkan sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Daerah tersebut dinamakan Haminte Kota Yogyakaarta.
Untuk melaksanakan otonomi tersebut Walikota pertama yang dijabat oleh Ir.Moh Enoh mengalami kesulitan karena wilayah tersebut masih merupakan bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan statusnya belum dilepas. Hal itu semakin nyata dengan adanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, di mana Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai Tingkat I dan Kotapraja Yogyakarta sebagai Tingkat II yang menjadi bagian Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya Walikota kedua dijabat oleh Mr.Soedarisman Poerwokusumo yang kedudukannya juga sebagai Badan Pemerintah Harian serta merangkap menjadi Pimpinan Legislatif yang pada waktu itu bernama DPR-GR dengan anggota 25 orang. DPRD Kota Yogyakarta baru dibentuk pada tanggal 5 Mei 1958 dengan anggota 20 orang sebagai hasil Pemilu 1955.
Dengan kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, tugas Kepala Daerah dan DPRD dipisahkan dan dibentuk Wakil Kepala Daerah dan badan Pemerintah Harian serta sebutan Kota Praja diganti Kotamadya Yogyakarta.

Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Berdasarkan Undang-undang tersebut, DIY merupakan Propinsi dan juga Daerah Tingkat I yang dipimpin oleh Kepala Daerah dengan sebutan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengankatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya, khususnya bagi beliiau Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII. Sedangkan Kotamadya Yogyakarta merupakan daerah Tingkat II yang dipimpin oleh Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dimana terikat oleh ketentuan masa jabatan, syarat dan cara pengangkatan bagi kepala Daerah Tingkat II seperti yang lain.

Seiring dengan bergulirnya era reformasi, tuntutan untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah secara otonom semakin mengemuka, maka keluarlah Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan Daerah menyelenggarakan otonomi daerah secara luas,nyata dan bertanggung jawab. Sesuai UU ini maka sebutan untuk Kotamadya Dati II Yogyakarta diubah menjadi Kota Yogyakarta sedangkan untuk pemerintahannya disebut denan Pemerintahan Kota Yogyakarta dengan Walikota Yogyakarta sebagai Kepala Daerahnya.







VISI KOTA YOGYAKARTA
Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pendidikan yang berkualitas, Pariwisata yang berbudaya, pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima, ramah lingkungan serta masyarakat madani yang dijiwai semangat Mangayu Hayuning Bawana
MISI KOTA YOGYAKARTA
1. Menjadikan dan mewujudkan lembaga pendidikan formal, non formal dan sumber daya manusia yang mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi serta kompetitif dalam rangka mengembangkan pendidikan yang berkualitas.
2. Menjadikan dan mewujudkan pariwisata , seni dan budaya sebagai unggulan daerah dalam rangka mengembangkan kota sebagai kota pariwisata yang berbudaya.
3. Menjadikan dan mewujudkan Kota Yogyakarta sebagai motor penggerak pertumbuhan dan pelayanan jasa yang prima untuk wilayah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan .
4. Menjadikan dan mewujudkan masyarakat yang menyadari arti pentingnya kelestarian lingkungan yang dijiwai semangat ikut memiliki/handarbeni.
5. Menjadikan dan mewujudkan masyarakat demokrasi yang dijiwai oleh sikap kebangsaan Indonesia yang berketuhanan, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial dengan semangat persatuan dan kesatuan.

KONDISI GEOGRAFIS KOTA YOGYAKARTA


I BATAS WILAYAH
Kota Yogyakarta berkedudukan sebagai ibukota Propinsi DIY dan merupakan satu-satunya daerah tingkat II yang berstatus Kota di samping 4 daerah tingkat II lainnya yang berstatus Kabupaten
Kota Yogyakarta terletak ditengah-tengah Propinsi DIY, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut
Sebelah utara : Kabupaten Sleman
Sebelah timur : Kabupaten Bantul & Sleman
Sebelah selatan : Kabupaten Bantul
Sebelah barat : Kabupaten Bantul & Sleman
Wilayah Kota Yogyakarta terbentang antara 110° 24' 19" sampai 110° 28' 53" Bujur Timur dan 7° 49° 26° sampai 070° 15° 24° Lintang Selatan dengan ketinggian rata-rata 114 m diatas permukaan laut
II KEADAAN ALAM
Secara garis besar Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dimana dari barat ke timur relatif datar dan dari utara ke selatan memiliki kemiringan ± 1 derajat, serta terdapat 3 (tiga) sungai yang melintas Kota Yogyakarta, yaitu :
Sebelah timur adalah Sungai Gajah Wong
Bagian tengah adalah Sungai Code
Sebelah barat adalah Sungai Winongo
III LUAS WILAYAH
Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah tersempit dibandingkan dengan daerah tingkat II lainnya, yaitu 32,5 Km² yang berarti 1,025% dari luas wilayah Propinsi DIY
Dengan luas 3.250 hektar tersebut terbagi menjadi 14 Kecamatan, 45 Kelurahan, 617 RW, dan 2.531 RT, serta dihuni oleh 489.000 jiwa (data per Desember 1999) dengan kepadatan rata-rata 15.000 jiwa/Km²
IV TIPE TANAH
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada didataran lereng gunung Merapi (fluvia vulcanic foot plain) yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda
Sejalan dengan perkembangan Perkotaan dan Pemukiman yang pesat, lahan pertanian Kota setiap tahun mengalami penyusutan. Data tahun 1999 menunjukkan penyusutan 7,8% dari luas area Kota Yogyakarta (3.249,75) karena beralih fungsi, (lahan pekarangan)
V IKLIM
Tipe iklim "AM dan AW", curah hujan rata-rata 2.012 mm/thn dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2°C dan kelembaban rata-rata 24,7%. Angin pada umumnya bertiup angin muson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220° bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90° - 140° dengan rata-rata kecepatan 5-16 knot/jam
VI DEMOGRAFI
Pertambahan penduduk Kota dari tahun ke tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak 493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km²
Angka harapan hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25 tahun dan perempuan usia 76,31 tahun

LAMBANG KOTA YOGYAKARTA

Dasar Hukum
Ketetapan DPRD Nomor 2 Tahun 1952 tentang Penetapan Lambang Kota Praja Yogyakarta
Makna Lambang
1. a. Perbandingan ukuran 18 : 25 , untuk memperingati tahun permulaan perjuangan Pangeran Diponegoro di Yogyakarta (tahun 1825)
b. Warna Hitam : Simbol Keabadian
Warna Kuning dan Keemasan : Simbol Keluhuran
Warna Putih : Simbol Kesucian
Warna Merah : Simbol Keberanian
Warna Hijau : Simbol Kemakmuran
2. Mangayu Hayuning Bawono : Cita-cita untuk menyempurnakan masyarakat
3. a. Bintang Emas : Cita-cita kesejahteraan yang dapat dicapai dengan usaha dibidang kemakmuran
b. Padi dan kapas: Jalan yang ditempuh dalam usaha kemakmuran pangan dan sandang
4. Perisai : Lambang Pertahanan
5. Tugu : Ciri khas Kota Yogyakarta
6. a. Dua sayap : Lambang kekuatan yang harus seimbang
b. Gunungan : Lambang kebudayaan
- Beringin Kurung : Lambang Kerakyatan
- Banteng : Lambang semangat keberanian
- Keris : Lambang perjuangan
7. Terdapat dua sengkala
a. Gunaning Keris Anggatra Kota Praja : Tahun 1953 merupakan tahun permulaan pemakaian Lambang Kota Yogyakarta
b. Warna Hasta Samadyaning Kotapraja : Tahun 1884

FLORA DAN FAUNA IDENTITAS KOTA YOGYAKARTA


Dalam rangka menumbuhkan menjadi kebanggaan dan maskot daerah telah ditetapkan pohon Kelapa Gading (Cocos Nuciferal vv.Gading) dan Burung Tekukur (Streptoplia Chinensis Tigrina) sebagai flora dan fauna identitas Kota Yogyakarta

Keberadaan pohon Kelapa Gading begitu melekat pada kehidupan masyarakat Yogyakarta, karena dikenal sebagai tanaman raja serta mempunyai nilai filosofis dan budaya yang sangat tinggi, sebagai kelengkapan pada upacara tradisional/religius, mempunyai makna simbolis dan berguna sebagai obat tradisional.

Burung tekukur dengan suara merdu dan sosok tubuh yang indah mampu memberikan suasana kedamaian bagi yang mendengar, menjadi kesayangan para pangeran dilingkungan kraton. Dengan mendengar suara burung tekukur diharapkan orang akan terikat kepada Kota Yogyakarta

Upacara Tradisi Tedhak Siten

Upacara tedhak siten di selenggarakan pada saat ana berusia kira – kira 9 bulan. Pada waktu itu anak secara resmi turun ke tanah atau menginjak tanah. Adapun tempat upacaranya di rumah orang tua anak yang bersangkutan. Upacara seperti ini yaitu upacara yang berwujud kenduri biasanya di selenggarakan di serambi rumah, rumah bagian depan atau di pendapa, sedangkan keperluan lain yang ada rangkaiannya dengan upacara itu di selenggarakan di gandhok rumah, rumah bagian belakang.
Beberapa pihak yang terlibat dalam upacara adalah si anak tersebut dan orang tua serta kakek dan nenek. Upacara ini juga melibatkan sanak keluarga dan tetangga. Perlengkapan kenduri terdiri dari nasi tumpen, gudhangan , jenang abang putih, jenang baro – baro, jajan pasar, sega gurih, dan ingkung ayam. Kelengkapan lainnya adalah jadah 7 tetel manca warni: merah, putih, hitam, kuning, biru, merah muda, dan ungu. Ada kembang setaman di letakkan di bokor, tangga yang terbat dari tebu rejuna, pranji (kurungan ayam jantan) yang di hias dengan janur kuning. Di sediakan pula padi kapas, beras kuning, sekar telon, bokor yang berisi perhiasan gelang, kalung, dan cincin. Upacara tedhak siten di laksanakan pagi hari. Menjelang pelaksanaan, para pinisepuh berkumpul di serambi rumah (rumah bagian depan) untuk kenduri (kepungan ambeng) yang di pimpin oleh Pak Kaum selaku pembaca doa. Sesudah itu di halaman rumah di selenggarakan upacar tedhak siten lengkap dengan ubarampe, sang anak segera di bawa keluar rumah di mana upacara di selengarakan. Mula – mula sang anak di tetah agar berjalan menginjak jadah aneka warna (tujuh tetel). Sesudah itu, di tetah memanjat tangga tebu, mulai dari anak tangga yang paling bawah sampai anak tangga yang paling atas. Begitu sampai di atas, lalu di turunkan lagi, seterusnya sang anak di masukkan ke dalam kurungan ayam jantan yang di dalamnya di taruh bokor – bokor yang berisi barang perhiasan agar sang anak bisa bermain dengan puas. Begitu usai bermain – main , anak di keluarkan dari kurungan ayam , lalu di mandikan dengan air dari dalam bokor yang telah di campur dengan kembang setaman. Tahap berikutnya, tubuh anak tersebut di keringkan dan di beri pakaian yang bagus Usai upacara tersebut, bokor yang berisi beras kuning dan beberapa uang logam beserta seluruh isinya di sebar di halaman. Ada beberapa pantangan yang harus di hindari, misalnya saja wanita yang menyusui bayinya tidak boleh makan yang serba daging agar tidak cepat datang bulan (menstruasi) lagi. Sesungguhnya ini secara implisit merupakan langkah antisipatif terhadap proses terjadinya kehamilan. Larangan lainnya berlaku untuk bayi yang masih lembut jangan di bawa berpergian.
Beberapa perlengkapan yang di siapkan di dalam upacara tedhak siten mengandung lambang atau makna khusus. Jadah manca warni melambangkan dunia atau lingkungan hidup yang beraneka warna yang mau tidak mau kelak akan di tempuh sang anak. Kurungan ayam merupakan simbol bahwa dunia (alam) dimana kita hidup mengenal batas – batas. Manakala kita keluar dari rambu – rambu tersebut niscaya akan tertimpa bencana. Kurungan ayam juga di maksudkan untuk menghalangi ancaman bencana gaib yng mungkin akan mendera kehidupan sang anak. Tangga yang terbuat dari tebu mengandung makna keteguhan hati (tekad) untuk menjalani jenjang kehidupan hingga mencapai taraf keluhuran derajad maupun budi. Tebu bermakan keteguhan hati. Tebu berasal dari kata antebing kalbu, yakni keteguhan hati. Tebu Arjuna (rejuna) menyiratkan agar dalam menjalani jenjang kehidupan , sang anak senantiasa bersikap manis, mengalami nasib yang baik, dan serba menyenangkan.

Wednesday 25 May 2011

Perkumpulan ‘Kridha Beksa Wirama’, Ihwal Kemunculan Seni Tari Di Tengah Rakyat



Seni tari, adalah sebuah kesenian yang awal mulanya berasal, dari, dan hanya untuk kalangan keraton. Adalah sebuah larangan besar, jika seseorang dari luar istana mempelajari seni tari. Dikenalnya seni tari dalam masyarakat, tidak dapat dilepaskan dari keberadan perkumpulan ‘Kridha Beksa Wirama’.

Kridha Beksa Wirama, sebuah perkumpulan yang berdiri pada 17 Agustus 1918. Gagasan mendirikan perkumpulan ‘Kridha Beksa Wirama’, didasari atas desakan para pemuda yang tergabung dalam Jong Java. Mereka menginginkan diberi pelajaran tari dan gamelan. Karena sebelumnya, sejak berakhirnya Perang Dunia I, tahun 1918, tidak ada seorangpun dari kalangan istana yang berniat mengajarkan seni tari beksa.

Keinginan para pemuda yang tergabung dalam Jong Java, kemudian ditindaklanjuti, dikirimlah R. Wiwoho dan R.M. Notosutarso sebagai perwakilan mereka untuk menghadap dan memperoleh restu Sultan. Restupun diperoleh, tidak perlu waktu lama, sebuah perkumpulan seni taripun didirikan, dengan nama ‘Kridha Beksa Wirama’ atau KBW.

Keberadaan perkumpulan Kridha Beksa Wirama pun semakin mantab, yaitu dengan dibentuk sebuah susunan pengurus. Adapun susunan pengurus KBW tersebut antara lain:

Suryodiningrat sebagai Ketua
Tedjokusumo sebagai Pemimpin Pelajaran Tari
Wiroguno sebagai Pemimpin Pelajaran gamelan
Jayadipura sebagai Pemimpin Kapujanggan
Suryomurcita (K.R.T. Wiranegara) sebagai Sekretaris
Puspodiningrat sebagai Bendahara
Atmawijaya, Puspadirdja, Sastrasuprapta, Jayapragola, dan Atmawijaya sebagai Komisaris-komisaris.
Bekerjasama dengan Jong Java, KBW berusaha menyebarluaskan pendidikan seni tari bagi masyarakat umum. Kedua organisasi tersebut saling berbagi tugas, KBW menyediakan guru-guru tari, sedangkan Jong Java menyiapkan murid-murid yang bersal dari sekolah lanjutan. Pelajaran tari wayang orang, tari Bedaya-Serimpi, dan wayang orang yang telah digubah (menjadi wayang orang topeng), adalah kurikulum yang diajarkan.

Sejak tahun 1922, Kridha Beksa Wirama mulai membuka kesempatan bagi para penggemar seni tari, yang berminat memperdalam kemampuan tarinya. Di tahun yang sama, beberapa putra dan putri Paku Alam VII pun menjadi siswa KBW, seperti Suryosularso (kelak Paku Alam VIII), Suryosutikno, Sulastri, Kussaban, dan Kuspinah.

Pada tahun-tahun berikutnya, keberadaan Kridha Beksa Wirama semakin dikenal masyarakat luas, baik itu orang-orang pribumi maupun mancanegara. Banyak pihak yang berminat untuk sekadar belajar ataupun menekuni seni tari.

Tahun 1925, perkumpulan KBW menerima dua murid wanita, Zella Thomas dan Veramirowa, masing-masing berkebangsaan Amerika dan Rusia. Seperti sekolah-sekolah pada umumnya, KBW juga mengadakan ujian akhir, untuk mengukur seberapa kemampuan siswa dalam belajar tari. Dalam ujian ini, dua siswa asing tersebut mendapat nilai empat.

Tahun 1926 (a), Sri Mangkunegoro VII mengirim putri-putrinya, diantaranya R.A. Siti Nurul dan R.A. Partinah. Mereka diberikan pelajaran tari Sari Tunggal, Serimpi Merak Kesimpir, Serimpi Pande Lori, Serimpi Putri Cina, dan Bedaya Sinom. R.A. Partinah memperoleh nilai tujuh, dalam ujian akhir.

Tahun 1926 (b), KBW menerima murid asing seorang wanita Rusia lagi, Helen Litman. Wanita tersebut mempelajari tari Sari Tunggal. Ketika masa studinya telah berakhir, dia diberi kesempatan menunjukkan kemampuan menari dalam sebuah perjamuan, yaitu di pendapa Taman Siswa dan Tejokusuman.
Diposkan oleh Indonesia Djaja

Wednesday 11 May 2011

Panggung Wayang Orang Kalah Oleh Ingar-bingar Seni Industri


Wayang orang sebagai salah satu bagian dari kesenian tradisi kini seperti hidup segan mati pun tak mau. Tak hanya di Solo, beberapa grup wayang orang di beberapa kota baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, maupun Jakarta pun terancam gulung kelir karena minim peminat. Padahal di era 1970-an, seorang pemain wayang orang tak ubahnya superstar yang ke mana-mana selalu dikerubuti para penggemarnya.
Menyikapi hal tersebut, Suyati atau tenar disapa Yati Pesek, seniman serba bisa asal Yogyakarta menjelaskan, situasi merana sebenarnya tak hanya dialami seniman wayang orang, tapi seniman tradisi secara keseluruhan. Terlebih ketika muncul anggapan jika pergelaran seni tradisi adalah sebuah pemborosan, sehingga semakin mempersempit napas seni tradisi itu sendiri. “Apa sekarang kita masih bisa dengan mudah menemukan panggung tobong seni tradisi, baik itu ludruk, ketoprak, atau wayang orang? Kalaupun masih ada yang peduli, paling hanya budayawan saja, itu pun tidak semua,” keluhnya.
Padahal menurutnya, dalam pergelaran seni tradisi khususnya wayang orang termuat banyak kearifan lokal dan ragam pengetahuan seperti tata rias dan busana, politik, dan juga ilmu sosial lainnya. Dan semua itu seolah dikalahkan begitu saja oleh ingar-bingar organ tunggal, atau sekadar karaoke di depan televisi. “Kita lihat betapa bagus riasan dan kualitas akting pemain yang ada dalam wayang orang. Tapi kenapa semua itu bisa kalah dengan sebuah alat musik modern? Padahal di Eropa, Jepang, dan negara-negara maju lainnya, seni tradisi masih sangat dijunjung tinggi. Ini kan aneh,” ungkapnya.
Tak ingin pertunjukan wayang orang berubah menjadi kisah yang tersimpan dalam arsip museum, Yati Pesek bersama grup wayang orang Trisno Budoyo yang dipimpinnya, mencoba bangkit dari keterpurukan. Tujuan mereka hanya satu yaitu kembali membumikan wayang orang itu sendiri. “Seni itu selalu berkembang dan pasti mengalami pasang surut masing-masing. Untuk itu kami sejenak lepas dari kemasan klasik dan mencoba melakukan kreasi dalam pertunjukan wayang orang,” ujarnya.
Kreasi itu meliputi sanggit atau tema lakon, tata rias, penyederhanaan dialog dan bahasa, durasi waktu, bahkan hingga pengubahan judul lakon. Semua itu dilakukan Yati dengan tujuan utama menarik perhatian para generasi muda, sehingga tidak putus informasi mengenai pertunjukan wayang orang. “Misal, lakon Alap-alapan Sembadra kami ganti dengan judul Burisrawa Stres. Atau dari sisi bahasa kami alih bahasakan dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Pokoknya kami tidak antiperubahan,” tegasnya.
Di sisi lain, Teguh Prihadi, pemerhati seni tradisi dari Wisma Seni TBJT Solo menyarankan, sebaiknya para seniman tradisi khususnya wayang orang agar sepakat dulu akan arah pertunjukan wayang orang. Karena tanpa kesepakatan, akan rentan konflik sesama seniman tradisi, dan hal ini akan semakin memperparah kondisi panggung seni tradisi itu sendiri. “Disepakati dulu seni tradisi sebagai klangenan atau murni hiburan. Pilihannya hanya pertahankan yang lama atau bongkar total, baru bicara konsep. Sehingga pertunjukan akan benar-benar berkualitas,” sarannya.
Karena ibarat motor, jika dilihat dari aspek fungsional, maka tentunya lebih memilih motor baru yang lebih irit dan tidak mudah rusak. Tetapi ketika pilihannya adalah klangenan, maka motor butut pun akan dianggap klasik dan bernilai jual tinggi. “Dan jangan sampai gembar-gembor pelestarian seni tradisi, tapi ujung-ujungnya adalah pendangkalan tradisi itu sendiri,” kritiknya.
Deniawan Tommy Chandra Wijaya

"BURISRAWA STRES" TAMAN BUDAYA YOGYAKARTA

pada tanggal 2 april 2011 saya beserta temen-temen mendapat tugas untuk menyaksikan pertunjukan wayang wong dengan lakon Burisrawa stres di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY).Acara tersebut untuk memperingati Hari Kartini yang jatuh tanggal 21 April mendatang..
Tugas ini sekaligus untuk memenuhi mata kuliah q.
sebenernya q mendapat tugas lakon Kertomarmo tapi kurang tahu saya ada tidaknya lakon Kertomarmo dalam pertunjukkan tersebut . Berdasarkan dari beberapa sumber (alias saya memulung .hehehhehhe) judul "Burisrawa Stres" yang didalamnya terdapat pemain perempuan semua gabungan penari, pelawak, seniman ketoprak, dosen, istri pejabat dan beberapa pengusaha Yogya tersebut.

Pendukung pentas ini di antaranya Yati Pesek, Susilowati, Daruni, Sekarini, Jilah, Fransiska, Supatmi, Watik Wibowo, Kinting Handoko, Hamzah HS, Sari Nainggolan, Rara Ireng, Dani, Wigung Wratsongko dan seniwati Yogya lainnya.

dibawah ini q sampaikan sedikit sinopsis tentang Burisrawa stres MENURUT SEPENGERTIAN SAYA. karena setelah q interview temen-temen mereka mempunyai penangkapan yang berbeda-beda .hehehhehe ^_^

cerita dari "Burisrawa Stress" sebenarnya merupakan modifikasi dari cerita sembodro Larung namun agar lebih menarik diganti menjadi "Burisrawa Stress"
Berikut sinopsis ceritanya ...

Pada awal cerita ditampilkan Burisrawa bersama Semboro .Burisrawa mengungkapkan keinginan'na untuk memiliki Semboro .tapi karena Sembodro sudah mempunyai suami yaitu Janaka maka Sembodro menolak. Hingga Burisrawa marah dan menakut-nakuti Sembodro dengan keris .Demi menjaga kesuciannya sebagai istri maka sembodro memilih menubrukkan dirinya kearah keris tersebut hingga meninggal.
Mengetahui Dewi Sembadra telah mati, Burisrawa menjadi ketakutan, ia segera bersembunyi di hutan dengan ketakutan dan perasaan bersalahnya.

Prabu Kresna (Yati Pesek) meminta agar dapat mengetahui siapa pembunuhnya, maka Sembadra harus dilarung. Gatutkaca ditugaskan Prabu Kresna untuk mengawasi keberadaan larungan Sembadra.

Sementara itu Antasena bermaksud akan menghidupkan kembali orang tersebut. Ia segera mendekati jasad, Gatutkaca melihat ada seseorang yang menghampiri jasad Sembadra, maka Gatutkaca segera menyerangnya dan terjadilah perkelahian.

Hingga terbuka kalau keduanya masih bersaudara.Keduanya putera Werkudara. Dan Sembodro dihidupkan oleh Antaseno , lalu Sembodro menceriterakan apa sebenarnya yang telah terjadi, hingga ia tewas. Antaseno ingin membalas kejahatan Buriswara. hingga Antasena berubah menjadi Sembadra.

Maka terjadilah perkelahian antara Buriswara dan Antaseno. Buriswara melarikan diri ketakutan. 

makna yang bisa dipetik dari pergelaran wayang wong ini adalah pengorbanan dan kesetiaan Sembodro sebagai seorang istri untuk menjaga kesuciannya .

Kesetaraan Gender dalam Pentas Wayang Orang Burisrawa Stres


Kelompok Wayang Wong Tresno Budoyo pimpinan Yati Pesek menggelar pementasan wayang orang berjudul “Burisrawa Stres” di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY) Sabtu (2/4).
Pentas wayang orang “Burisrawa Stres” hadir sangat unik karena menampilkan semua pemain wayang orang perempuan.
Sebanyak 35 perempuan terlibat dalam pementasan wayang orang Burisrawa Stres untuk memperingati Hari Kartini 21 April 2011.
Yati Pesek menerangkan pentas Burisrawa Stres sengaja ditampilkan oleh perempuan semua. Selain Yati Pesek, juga tampil Yulianingsih, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta serta Yuningsih (Yu Beruk)
Perempuan-perempuan tersebut harus bermain dalam banyak karakter seperti karakter raksasa, Punokawan, ksatria dll yang biasanya sering dimainkan pemain wayang orang pria. Namun pementasan wayang orang “Burisrawa Stres” ini dalam rangka memperingati Hari Kartini maka kesetaraan gender menjadi hal utama untuk ditampilkan.
“ Kesetaraan gender saat ini masih dianggap remeh,” terang Yati Pesek yang berperan sebagai Kresna.
Yati Pesek menerangkan, Burisrawa Stres menghadirkan adegan perempuan yang sudah mempunyai suami rela bunuh diri untuk mempertahankan kesucian dari pada selingkuh atau khianat dengan laki-laki yang bukan suaminya.
“Dalam pementasan Burisrawa Stres ini benar-benar ditampilkan wujud kesetiaan seorang istri terhadap suami untuk bertekad dengan cara apapun menjaga kesucian dirinya dari lelaki lain,” ujar Yati Pesek.
Sutradara pementasan wayang orang Burisrawa Stres, Pardiman Cakil menerangkan cerita Burisrawa Stres merupakan cerita modifikasi cerita Sembodro Larung. Hal ini dilakukan agar masyarakat tertarik untuk menyaksikan pementasan.
Burisrawa Stres menampilkan inti cerita mengenai pengorbanan Dewi Woro Sembodro yang bunuh diri agar tidak diperkosa Burisrawa. Hal itu dilakukan Dewi Woro Sembodro mengingat dirinya sudah mempunyai suami sehingga sebagai istri dia berusaha menjaga kesucian dirinya.
“Akibat Dewi Woro Sembodro bunuh diri, Burisrawa tidak berani pulang karena kecamuk batin yang merasa bersalah, benci dan rasa cinta kepada Dewi Woro Sembodro yang bercampur menjadi satu,” ujar Pardiman Cakil.
Burisrawa kemudian memilih bersembunyi di hutan hingga akhirnya Burisrawa tersiksa dengan perasaannya sendiri sampai stres batin.
Pardiman Cakil melanjutkan, sebenarnya Kresna bisa menghidupkan Sembodro dengan kesaktian yang ia punya. Namun untuk mencari sebab Dewi Woro Sembodro meninggal, Krisna menggunakan cara me-larung jasad Dewi Woro Sembodro ke laut apabila ada yang mendekat jasad Dewi Sembodro maka dialah pembunuh Dewi Sembodro.
Pada akhirnya Burisrowo yang sudah tidak tahan dengan perasaan campur aduk tidak karuan, berusaha mendekati jasad Dewi Sembodro lalu ia pun mengaku  telah menyebabkan Dewi  Sembodro bunuh diri.
“Kemudian Dewi Sembodro dihidupkan kembali oleh Ontoseni, anak Werkudoro untuk memberi kesaksian atas perbuatan Burisrawa,” ujar Pardiman Cakil.
Pesan dari pentas wayang orang Burisrawa Stres ini adalah tentang wanita yang memegang teguh kesucian sebagai istri. Meski harus bunuh diri namun justru hal tersebut mampu mengatasi masalah yang ia hadapi.
“ Penampilan para wanita yang bermain dalam wayang orang Burisrawa Stres bisa muncul maksimal. Mereka juga bisa menari tarian gagah yang biasa dipakai laki-laki,” terang Pardiman Cakil. (Jogjanews.com/joe)

Sunday 3 April 2011

Wayang Orang 'Burisrowo Stres', Bentuk Perjuangan Kesetaraan Gender

YOGYA (KRjogja.com) - Sebanyak 35 perempuan yang berprofesi sebagai seniman dan pengusaha yang tergabung dalam kelompok Wayang Orang Tresno Budoyo menggelar pertunjukan wayang orang dengan lakon 'Burisrowo Stres' di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Sabtu Malam (2/4). Uniknya wayang orang ini seluruh pemainnya perempuan, guna memperingati Hari Kartini yang akan jatuh pada 21 April 2011 mendatang.

Pimpinan kelompok Wayang Wong Tresno Budoyo, Yati Pesek mengatakan, pertunjukan wayang wong kali ini sengaja dihadirkan dalam rangka memperingati Hari Kartini, dimana seluruh pemainnya kurang lebih 36 orang adalah perempuan.

"Para pemain yang semuanya perempuan ada yang harus menjadi buto, punokawan, ksatria dan lain-lain yang diperankan laki-laki, namun dalam rangka Hari Kartni kami mengangkat keseteraan gender yang hingga kini masih disepelekan dengan lakon Burisrawa Stres," ungkap Yati Pesek yang berperan sebagai Kresna dalam pertunjukan kali ini.

Yati menjelaskan dengan mengangakat cerita tentang kesetaraan gender yang hingga saat ini masih dianggap remeh, dalam cerita ini ditegaskan bahwa perempuan yang sudah mempunyai suami rela bunuh diri untuk mempertahankan kesuciannya daripada berselingkuh atau berkhianat dengan lelaki lain yang bukan suaminya.

"Disini benar-benar ditampilkan wujud kesetiaan seorang istri terhadap suami untuk bersikukuh dengan cara apapaun menjaga kesucian dirinya dari lelaki lain," katanya.
Ditambahkan Sutradara Wayang Wong ini, Pardiman Cakil, sebenarnya cerita ini tentang Sembodro Larung namun agar menarik masyarakat judul ceritanya dimodifikasi menjadi Burisowo Stres.

Mengenai inti ceritanya, Pardiman menjelaskan tentang pengorbanan Dewi Sembodro yang bunuh diri agar tidak diperkosa Burisrowo mengingat Sembodro sudah mempunyai suami maka sebagai istri dia berusaha menjaga kesuciannya tersebut. Akibat Sembodro bunuh diri, Burisrowo yang tidak berani pulang ke kerajaannya karena merasa bersalah, benci, ingin memiliki yang bercampur aduk memilih bersembunyi di hutan hingga akhirnya dia tersiksa dengan perasaanya sendiri sampai stres atau tertekan.

"Sebenarnya Kresna bisa menghidupkan Sembodro dengan kesaktiannya, namun untuk mencari pelaku penyebab Sembodro meninggal, maka dia mempunyai taktik untuk melarung jasad Sembrodro di lautan dan barang siapa nanti yang berusaha mendekatinya dialah pelakuknya," tuturnya.

Pada akhirnya Burisrowo yang sudah tidak tahan dengan perasaanya yang bercampur aduk berusaha medekati jasad Sembodro dan mengaku telah menyebabkan Semodro bunuh diri. Kemudian Sembodro dihidupkan kembali oleh anak Werkudoro yaitu Ontoseno untuk memberi kesaksian atas perbuatan Burisrawa.

Pardiman mengatakan meskipun hanya berlatih sekitar satu minggu, namun para pemain yang semua perempuan ini telah berlatih memainkan karakter wayang wong pria semaksimal mungkin dalam durasi dua jam tersebut. "Mereka juga bisa menarikan tarian gagah yang ditarikan lelaki dan memakai kostum lelaki sesuai perannya," katanya.

Pesan morilnya disini memang tentang pahlawan wanita yang memegang teguh kesuciannya sebagai istri, meskipun dia bunuh diri namun itu justru untuk mengatasi masalahnya sendiri. (Fir)

Sunday 6 February 2011

Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEBUDAYAAN
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA


Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Bahasa dan sastra Jawa merupakan refleksi budaya masyarakat Jawa yang dalam sejarahnya telah berusia relatif tua. Dalam bahasa dan sastra Jawa tercermin nilai-nilai luhur menyangkut kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual yang bersifat universal. Bahasa krama misalnya, mendidik penuturnya untuk selalu bersikap menghormati orang lain sekaligus sikap rendah hati (lembah manah). Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berusaha memperhatikan, melestarikan dan mengembangkan budaya Jawa yang mencakup bahasa dan sastranya.

Pada zaman global ini, budaya lain akan masuk mempengaruhi budaya setiap bangsa, termasuk pada budaya Jawa. Sudah semestinya budaya Jawa bersikap selektif untuk menerima budaya lain agar tidak kehilangan jati diri. Dalam budaya Jawa hal ini telah diterapkan sejak lama, misalnya, dengan mendasarkan pada pepatah ngeli nanging ora keli yang dapat bermakna mengikuti perkembangan zaman tetapi bersikap selektif.
Buku yang berjudul Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa ini diharapkan dapat menjadi inspirasi langkah-langkah yang tepat dan realistis, demi pelestarian dan pemekaran bahasa dan sastra Jawa, yang merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Di samping itu, secara umum buku ini merupakan langkah realisasi nilai-nilai universal, yakni memayu hayuning bawana.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun yang telah bekerja keras dalam menyusun buku ini. Semoga buku ini dapat berfaedah bagi siapa saja yang peduli terhadap mekarnya bahasa dan sastra Jawa, sehingga jati diri budaya bangsa terpelihara dengan disertai rasa bangga.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, Oktober 2008
Plt. Kepala Dinas

Dra. Dyan Anggraini Rais
NIP. 131860516


Kata Pengantar “Usung-usung Lumbung”


Setelah sedikit berlelah njajah desa milang kori dalam khasanah bahasa dan sastra Jawa, alhamdullillah wa syukurillah akhirnya masih bisa kami temukan beberapa genggam benih yang siap ditabur, sehingga segala rencana penyusunan buku Pedoman Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa ini dapat kami selesaikan sebagaimana mestinya.
Buku yang dirancang sebagai pedoman pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa ini, diharapkan mampu menjadi cething yang mewadahi bernas-bernas yang memang jenis unggul, mentes, genjah, dan berasa pulen, dari butiran-butiran nilai aktivitas bahasa dan sastra Jawa. Meskipun hanya dimulai dengan beberapa butir, namun diharapkan taburan benih-benih dari cething kecil ini, dapat segera menjadi ijo royo-royo dan kemudian dapat dipanen melimpah untuk mencukupi kebutuhan pokok yang kita harapkan, bahkan memenuhi lumbung-lumbung lama dan mengisi lumbung-lumbung baru. Semoga tidak ada sisa-sisa yang harus terbuang. Damen-damen-nya segera mengenyangkan sapi-sapi kita yang lapar, dhedhak-nya sebagai bahan minuman kuda-kuda kita yang haus, bekatulnya menyembuhkan sakit beri-beri kita, dan merang-nya untuk keramas, pencuci kepala kita yang gatal. Kami juga berharap, agar kita bersama gumregah bangun pagi untuk segera gotong- royong ngupakara pertanian bahasa dan sastra Jawa kita dan bersama usung-usung lumbung untuk menemukan langkah terbaik.
Kami mesti berterima kasih kepada para pengrajin cething, para penyimpan benih, dan semua kanca-kanca tani yang telah bersusah payah menyiapkan lahan persemaian kembali bahasa dan sastra Jawa kita. Akhirnya atas segala kekurangan dan kesalahan, dalam rangka pengembaraan kami mencari benih hingga mempersiapkannya, kami mohon maaf sebanyak-banyaknya. Yogyakarta, Oktober 2008 Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

A. Visi dan Misi Pengembangan Kebahasan dan Kesasteraaan Visi bidang kebahasaan dan kesasteraan adalah menggali nilai-nilai luhur bangsa yang tercermin dalam berbagai peninggalan leluhur, berupa naskah atau teks-teks kebahasaan dan kesasteraan. Penggalian diarahkan pada penemuan dan pengembangan nilai budi luhur orang Jawa. Nilai luhur itu direlevansikan dengan kehidupan orang Jawa di Yogyakarta masa kini.
Visi tersebut terkandung pesan agar pemerintah propinsi DIY, khususnya seksi Kebahasaan memandang arti penting bahasa dalam konteks komunikasi budaya. Bahasa sebagai sarana komunikasi di dalamnya terkandung unsur seni, sastra, dan budaya adiluhung yang harus dilestarikan dan dikembangkan. Tanggung jawab pelestarian dan pengembangan adalah pemerintah bersama rakyat. Oleh sebab itu pembinaan kebahasaan dan kesasteraan di DIY selalu berbasis pada komunitas dan kemasyarakatan.
Misi pemerintah khususnya seksi Kebahasaan terkait dengan tugas dan wewenang adalah mewujudkan Yogyakarta sebagai kota budaya. Berkaitan dengan hal ini pemerintah memiliki misi ke depan bahwa bahasa Jawa merupakan bahasa daerah yang masih hidup dan dipakai secara luas di tiga propinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 0leh karena itu, perlu rencana strategis yang disusun bersama oleh tiga propinsi untuk mengakomodasi permasalahan-permasalahan kebudayaan. Selain itu, program ini juga dapat sebagai sarana komunikasi dan tukar informasi mengenai masalah terkait dengan kebudayaan secara luas, termasuk bahasa, sastra, dan aksara yang berkembang di tiga propinsi.
Misi pemerintah sebagai kepanjangan tangan rakyat yang terdepan adalah menciptakan Yogyakarta berhati nyaman melalui kebahasaan dan kesasteraan secara proporsional. Itulah sebabnya diperlukan landasan filosofi kebijakan dan deskripsi program yang handal. Program-program yang kemudian dijabarkan dalam berbagai kegiatan sebagai upaya pemberdayaan dan pengembangan aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Basis pengembangan program tidak lain berupa pemberdayaan naskah kuna, membakukan aksara, bahasa, sasta, dan budaya Jawa melalui Lomba, Pelatihan, Kursus, Festival, konferensi, outbound, Sarasehan, kongres, dan pertemuan lain.
Berbagai kegiatan seperti pelatihan, diarahkan untuk memberikan bekal kepada 
masyarakat agar terampil menggunakan bahasa dan sastra Jawa dalam konteks komunikasi. Pelatihan yang akan diselenggarakan dalam upaya memberdayakan bahasa dan sastra Jawa, serta meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan terkait bahasa, sastra, dan budaya Jawa yang dilakukan secara serentak. Pelatihan-pelatihan ini direncanakan dilaksanakan secara terpadu selama periode tertentu. Pelatihan dilakukan oleh tenaga profesional di bidangnya. Sasaran pelatihan pranatacara dan sesorah berbahasa Jawa adalah masyarakat umum. Pelatihan nembang dan bengkel sastra, juga ditujukan untuk masyarakat umum, serta siswa-siswa SMP dan SMA di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Seluruh peserta pelatihan dapat mendaftar langsung maupun melalui instansi setempat.
Bengkel sastra adalah salah satu bentuk kegiatan kesastraan yang berfungsi sebagai sanggar pelatihan untuk mendalami nilai-nilai sastra. Selain itu, bengkel sastra juga berfungsi sebagai sarana untuk menumbuhkan dan melatih daya kreativitas siswa serta memperkenalkan proses penciptaan karya sastra. Kegiatan bengkel sastra selama ini masih terarah kepada siswa dan guru yang diselenggarakan Balai Bahasa Yogyakarta dimulai sejak tahun 2000 sampai sekarang. Dinas Kebudayaan tentu saja mempunyai tanggung jawab mengadakan kegiatan serupa, tidak hanya terbatas pada guru dan siswa, melainkan juga bagi masyarakat umum. Bengkel sastra Balai Bahasa Yogyakarta itu perlu dikembangkan lebih meluas pada santri pondok pesantren, organisasi profesi (misal: PSK) dan ke depan ingin merangkul para anak jalanan, nelayan, dsb. 

Adapun tujuan penyelenggaraan bengkel sastra adalah 
(1) peserta dapat mengenal, memahami, dan menghayati berbagai karya sastra, baik puisi, prosa, drama, macapat serta mengetahui perkembangannya; 
(2) peserta mampu bersikap kritis dan apresiatif terhadap karya sastra; 
(3) peserta dapat menyalurkan minat, bakat, dan kemampuannya berkarya sastra; dan (4) peserta yang telah mengikuti kegiatan
Program sarasehan, seminar, kongres, konferensi, dan festival diarahkan untuk menuju sebuah acara besar yaitu Kongres Bahasa Jawa V di Jawa Timur dan sekaligus menyongsong Kongres Budaya Jawa. Kegiatan itu berupaya membahas isu mutakhir kebudayaan, kebahasaan, seni, dan keskasteraaan direncanakan berjalan secara rutin setiap bulan, mulai bulan Januari sampai dengan Desember. Diharapkan kegiatan ini mampu menyerap partisipasi aktif masyarakat umum, budayawan, siswa, guru, dosen, teoritisi maupun praktisi, serta para pecinta aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa untuk berdialog sebagai upaya membuka jalan tengah dan solusi permasalahan seputar isu mutakhir aksara, bahasa, sastra, dan, budaya Jawa. Sedangkan seminar dan diskusi tentang pengelolaan kebudayaan akan melibatkan para pengelola kebudayaan yang terdiri dari seniman, budayawan, teoritisi, event organizer, travel biro, pengelola hotel, dalang, guru, wartawan media cetak dan elektronik. Seminar ini bertujuan untuk menyediakan forum bagi para pengeloia kebudayaan, bahasa, dan sastra agar dapat duduk bersama untuk bermediasi, membicarakan permasalahan seputar pengelolaan kebudayaan, sekatigus mencari jalan tengah untuk memecahkan persoalan yang mengemuka. Kegiatan direncanakan terselenggara pada bulan Juni sampai Desember.
Pemberdayaan bahasa, sastra, seni, dan budaya juga diselenggarakan lewat penyelenggaraan festival budaya nusantara, Festival Kesenian Yogyakarta, festival lagu dolanan anak, festival dalang, dan beber seni. Festival dan beber seni ini bertujuan untuk mewujudkan Yogyakarta sebagai ikon destinasi pariwisata. Festival budaya nusantara diselenggarakan dalam lingkup nasional dengan sasaran masyarakat umum. Kegiatan ini direncanakan akan diselenggarakan pada bulan Juli. Sedangkan waktu penyelenggaraan Festival Kesenian Yogyakarta dan beber seni menyesuaikan dengan jadwal rutin. Festival tahun ini diupayakan adalah partisipasi masyarakat. Maksudnya, masyarakat tidak hanya sebagai penonton, melainkan harus sebagai pelaku.
Berbagai macam lomba dan gelar prestasi akan diselenggarakan di Yogyakarta. Lomba bukan semata-mata mencari kemenangan, melainkan ke arah unjuk kebolehan dan prestasi puncak. Selama ini di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah berlangsung agenda rutin untuk menyelenggarakan Pekan Kreativitas Budaya Pelajar dan Porseni Pelajar. Oleh karena itu, Dinas Kebudayaan merasa perlu untuk bekerjasama dengan dinas-dinas terkait, mendukung agenda rutin ini melalui program mendukung lomba. Perlombaan merupakan upaya merintis kaderisasi pemerhati bahasa dan sastra Jawa yang profesional. Perlombaan bahasa dan sastra dirancang tidak hanya berhenti sesaat, melainkan kontinuitas yang diutamakan. Lomba ini direncanakan terselenggara pada bulan Agustus dengan melibatkan masyarakat umum dan para pelajar SD sampai dengan SMA sebagai peserta.
Pekan budaya merupakan kegiatan yang merangkum serangkaian acara lomba terkait bahasa, sastra, dan budaya Jawa sebagai salah satu upaya untuk merevitalisasi bahasa, sastra, budaya, termasuk aksara Jawa. Pekan budaya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyelenggarakan secara rutin. Pekan budaya akan memuat segala aktivitas budaya dan sastra secara komprehensif. Pekan budaya disertai dengan pendampingan budaya, agar masyarakat memahami apa yang diprogramkan pemerintah. Berkaitan dengan hal ini penciptaan Desa Budaya Jawa di Yogyakarta amat penting. Desa budaya ini juga menjadi penting bagi pengembangan wisata.
Melalui pendampingan desa budaya, keunikan suatu desa budaya dapat terkelola dengan baik, sehingga menjadi nilai lebih sebagai salah satu komoditas unggulan pariwisata. Kegiatan pendampingan direncanakan ditaksanakan secara terus menerus dan berkelanjutan dari bulan Januari sampai dengan Desember. Sasaran kegiatan adalah desa atau wilayah yang mempunyai keunikan budaya. Pendampingan desa budaya diarahkan ke desa yang berbasis Jawa. Dari sini diharapkan muncul kampung-kampung Jawa lokal yang berbasis global.
Pendampingan kegiatan budaya tradisi dilakukan dengan kerjasama antara dinas kebudayaan, dinas pariwisata, dinas pendidikan, lembaga lain yang terkait. Melalui pendampingan dan perbaikan sistem pengelolaan, diharapkan kegiatan budaya tradisi mampu menjadi salah satu tawaran menarik dalam industri pariwisata Kegiatan pendampingan budaya tradisi dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, sedangkan waktunya menyesuaikan dengan waktu penyelenggaraan budaya tradisi. 

Sasaran kegiatan ini adalah sanggar, kelompok-kelompok kesenian, paguyuban penghayat kepercayaan, yayasan budaya, serta kelompok kebudayaan, lembaga, desa, dan lain-lain yang merupakan penyelenggaran kegiatan budaya tradisi.
Perancangan dan perencanaan pembentukan Dewan Bahasa dan Dewan Sastra Jawa direncanakan pada bulan Februari yang akan datang. Dewan Bahasa Jawa diharapkan mewakili secara menyeluruh unsur-unsur, instansi, maupun institusi dengan bahasa Jawa sebagai bidang garapnya, begitu pula dewan sastra. Dewan bertugas memberi pertimbangan pemerintah di bidang pengembangan bahasa dan sastra. Sehingga kegiatan ini melibatkan perwakilan dari instansi, institusi, lembaga, dan unsur-unsur lain dengan bidang garapan bahasa Jawa untuk memilih wakil-wakil yang akan duduk sebagai anggota Dewan Bahasa dan Sastra Jawa. Dewan bukan lagi ditunjuk dengan kedekatan teman, melainkan melalui proper test dan pemilihan secara sinergis.
Setelah serangkaian kegiatan perencanaan dan pembentukan Dewan Bahasa dan Sastra Jawa ditaksanakan, kegiatan selanjutnya adalah penyusunan program kerja Dewan Bahasa dan Sastra Jawa sebagai ancangan kerja untuk merevitatisasi bahasa Jawa di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyusunan program kerja pewan Bahasa Jawa diharapkan terselenggara pada bulan April.
Program pemberian penghargaan kepada penggiat bahasa, sastra, dan budaya Jawa bertujuan untuk memajukan dan mengembangkan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Diharapkan pemberian penghargaan mampu menjadi motor penggerak agar bahasa, sastra, dan budaya Jawa tumbuh subur dan lebih dinamis. Program ini diancangkan tersetenggara pada bulan Mei, dan diberikan secara rutin setiap tahun. Penghargaan diberikan kepada penggiat bahasa, sastra, dan budaya Jawa di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Program ini terbagi dalam tiga kegiatan, yaitu 
(1) Pengembangan budaya melalui kerjasama dengan media elektronik dan cetak untuk penyelenggaraan program budaya maupun hiburan yang bemilai tradisi 
(2) Pembuatan dan pengelolaan laman (website) tentang aksara, bahasa, sastra, dan budaya Jawa, 
(3) Kerjasama dengan institusi intemasional, dan 
(4) Penelitian kebudayaan. Secara umum program ini bertujuan untuk mengembangkan budaya Jawa melatui pemanfaatan teknologi informasi.

Pengembangan budaya melalui kerjasama dengan media elektronik dan cetak untuk penyelenggaraan program budaya maupun hiburan yang bernilai tradisi. Media cetak dan elektronik merupakan media yang semakin berkembang seiring dengan jaman yang semakin mengglobal. Budaya Jawa juga tidak terlepas dari pengaruh kemajuan jaman. Oleh karena itu, diperlukan suatu langkah untuk berjalan selaras, mengikuti arus globalisasi tanpa harus hanyut di dalamnya. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan pemanfaatan media cetak maupun media elektronik seperti koran, majalah, televisi dan radio untuk memuat dan menyiarkan program budaya sebagai upaya untuk pengembangan taudaya Jawa. Selain itu, program hiburan yang bernilai tradisi seperti campursari, kethoprak, dagelan, dan lain-lain juga perlu diekspose dan ditayangkan di media elektronik sebagai sarana penyebaran, pengenalan, dan pengembangan budaya Jawa. Kegiatan ini direncanakan dapat dilaksanakan secara rutin setiap minggu. Persiapan program dimulai pada bulan Januari, dan bulan April direncanakan program dapat disiarkan melalui media elektronik.
Pembuatan dan Pengelolaan Laman (Website) tentang Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Website merupakan sarana komunikasi dan informasi yang dapat diakses oleh semua orang di seluruh penjuru dunia. Melalui website bahasa, sastra, dan budaya Jawa, informasi. informasi terkait bahasa, sastra, dan budaya Jawa dapat disebarluaskan. Program pembuatan taman direncanakan mulai dirintis pada bulan Maret dan setanjutnya di-up date dan dikelola secara rutin oleh tim khusus. Laman ini diharapkan dapat menjadi media komunikasi dan informasi bagi para pemerhati bahasa, sastra, dan budaya Jawa di seluruh dunia.
Melalui Dinas Kebudayaan Propinsi DIY sebagai pelopornya, diharapkan kerjasama dengan institusi intemasional dapat terjalin secara luas, berkelanjutan, semakin berkembang, serta menguntungkan kedua belah pihak. Program ihi direncanakan mulai dirintis pada bulan Maret. Sebagai langkah awali, kerjasama terkait dengan pengembangan bahasa, sastra, dan budaya Jawa diharapkan terjalin dengan institusi intemasional terutama di Suriname dan Belanda.
Permasalahan seputar kebudayaan merupakan subjek yang menarik untuk diteliti. Melalui penelitian, beragam masalah kebudayaan dapat teridentifikasi, teranalisis, dan pada akhirnya akar permasalahan sekaligus solusinya dapat ditemukan dan diterapkan langsung untuk mengatasi masalah-masalah terkat dengan kebudayaan. Oleh karena itu, penelitian kebudayaan diajukan sebagai satah satu program kerja yang direncanakanakan dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan Desember dengan lokasi penelitian di wilayah DIY. B. Dasar Pentingnya Bahasa Jawa Diakui atau tidak, bahasa Jawa itu sebagai busananing bangsa. Bahasa adalah ekspresi budaya. Sebagai busana, bahasa Jawa akan terpakai terus senyampang orang Jawa itu ada. Orang Jawa sebagai pengguna bahasa Jawa, tentu akan memelihara supaya pakaiannya bersih dan berwibawa. Orang Jawa akan selalu berprinsip bahwa bahasanya itu tidak sekedar penghias, tetapi menjadi pakaian yang indah dan berguna.
Bahasa Jawa amat penting dalam percaturan hidup masa kini. Dalam aktivitas hidup di YogyakartaYang dimaksud bahasa Jawa ini tidak terlepas dari aspek sastra, budaya, seni, dan budaya. Maka pentingnya bahasa Jawa juga berkaitan dengan aspek tersebut. Bahasa sebagai busana bangsa, akan melekat pada berbagai aspek tersebut. Maka kebijakan pengembangan bahasa Jawa sulit lepas dari aspek-aspek penting itu. Paling tidak, bahasa Jawa akan menjadi wahana komunikasi praktis, teoritis, dan esensial dari berbagai aspek tersebut.
Dalam setiap jengkal hidup manusia Jawa, sulit lepas dari penggunaan bahasa Jawa. Dalam kehidupan apa pun, jarang yang mampu melepaskan aspek bahasa, sastra, budaya, seni, dan budaya Jawa. Yang perlu dipahami, bahwa kehidupan bahasa dan sastra Jawa pada era global ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan peradaban manusia yang penuh dengan kemajuan teknologi informasi, frekuensi dan intensitas interaksi, dan komunikasi manusia antar benua yang makin meningkat. Itulah sebabnya penyiapan kebijakan bahasa dan sastra Jawa di era mendatang perlu disiapkan secara masak. 
Ada berbagai alasan mendasar mengapa harus melestarikan dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa, yaitu: sebagian orang beranggapan bahwa pelestarian bahasa, sastra, dan budaya adalah sekedar mengelus-elus, tanpa upaya aktif untuk berbuat yang lebih spektakuler. Namun ada pula yang beranggapan bahwa pelestarian warisan budaya termasuk bahasa adalah tidak diperlukan karena bertentangan dengan paradigma masa kini yang serba efisien, praktis dan pragmatis selaras dengan kemajuan peradaban dan teknologi.
Jawaban atas pertanyaan maupun persepsi masyarakat tentang pelestarian dan pengembangan kebudayaan tersebut tertuang didalam rumusan filosofis dibawah ini: (1) budaya etnik khas lokal merupakan pilihan style hidup dan kebanggaan identitas, jati diri dalam kancah pergaulan global antar bangsa, 
(2) potensi budaya khas etnik (tangible clan intangible), 
(3) budaya warisan dapat digunakan sebagai keberadaan obyek maupun destinasi.
Dalam situasi seperti itu, kondisi dan kehidupan bahasa dan sastra Jawa menunjukkan fenomena yang kompleks dan sebaliknya justru strategis dan menantang. Di satu sisi, bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi dan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang. Di lain pihak, sering ada penutur yang hendak menghalangi tumbuh kembangnya bahasa dan aksara Jawa. Fenomena yang kedua ini berarti menunjukkan bahwa belum tahu manfaat bahasa dan sastra Jawa.
Yang perlu diketahui, jumlah penutur bahasa Jawa sangat besar yaitu kurang lebih 80 juta orang. Masyarakat Jawa masih menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi baik di lingkungan formal maupun informal, bahkan non formal. Masyarakat Jawa mempunyai komitmen yang kuat untuk membina dan mengembangkan bahasa dan sastra Jawa secara serius. Hal ini yang menjadikan bahasa dan sastra Jawa mempunyai potensi dan daya tarik untuk dikaji ulang. Bahasa dan sastra Jawa perlu diformat, diteliti, digerakkan agar memenuhi fungsinya di masyarakat.
Masalah kebahasan dan kesastraan Jawa tidak dapat terlepas dari kehidupan masyarakat pendukungnya. Dalam kehidupan masyarakat Jawa telah terjadi berbagai perubahan baik sebagai akibat tatanan kehidupan dunia yang barn, seperti pemberlakuan pasar bebas dalam rangka globalisasi akibat perkembangan teknologi informasi yang amat pesat maupun pemberlakuan otonomi daerah. Teknologi informasi mampu menerobos batas ruang dan waktu sehingga keterbukaan tidak dapat dihindarkan. Kondisi itu telah memengaruhi perilaku masyarakat Jawa dalam bertindak dan berbahasa. Oleh karena itu, agar kita tetap mampu bersaing dan sekaligus berperan dalam kancah kehidupan global seperti itu, diperlukan sumber daya manusia yang benar-benar berkualitas, bertanggung jawab, berdisiplin, dan memunyai kompetensi yang tinggi.
Memaknai pemahaman tentang manusia yang berkualitas dan berkompetensi, tersirat suatu tuntunan bagi insan Indonesia untuk akrab dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mencapai hal itu, bahasa memegang peran yang amat penting dalam peningkatan mutu sumber daya manusia. Sebagai sarana komunikasi, bahasa menjadi sarana utama bagi seseorang untuk menginfomasikan sesuatu, baik secara lisan maupun tertulis. Di pihak lain, manusia yang mampu berkomunikasi dengan baik dan secara kritis mampu pula menyerap substansi sumber bacaan ilmiah sehingga dapat berperan dalam menghadapi tantangan zaman. Di samping sebagai sarana komunikasi, bahasa juga merupakan sarana berpikir. Melalui bahasa, berbagai hal yang dihadapi dan terjadi di sekelilingnya dapat dipahami dan dicerna dengan baik sehingga dapat menambah kematangan pribadi seseorang. Hal itu membuktikan bahwa peningkatan mutu sumber daya manusia hanya akan menjadi impian semata tanpa peningkatan kemampuan berbahasa.
Disadari atau tidak atau tidak di kalangan masyarakat, khususnya generasi muda, pemakaian bahasa dan sastra Jawa juga memiliki beberapa kelemahan. Minat generasi muda untuk menggunakan makin berkurang. Generasi muda kurang bangga berbahasa Jawa. Adanya persepsi di kalangan generasi muda Jawa bahwa mempelajari bahasa dan sastra Jawa itu sangat sulit. Partisipasi para pejabat dan tokoh masyarakat dalam menggunakan bahasa Jawa masih lemah. Kemauan politik untuk melindungi dan mempertahankan bahasa sastra, dan budaya Jawa secara sungguh-sungguh belum ada. Meskipun demikian, bahasa dan sastra Jawa masih memiliki potensi dan peluang untuk tetap hidup, tumbuh, dan berkembang di lingkungan masyarakatnya, karena keunggulankeunggulan tertentu. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam bahasa dan sastra Jawa masih menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat, serta dapat memberikan kontribusi untuk membentuk kepribadian bangsa. 

Bahasa dan sastra Jawa sekurang-kurangnya memiliki tiga arti penting, yaitu: 
(1) bahasa dan sastra Jawa berperan penting dalam komunikasi hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan berbangsa atau bernegara, 
(2) bahasa dan sastra Jawa memiliki peranan penting dalam komunikasi barik dalam forum ilmiah dan non ilmiah, 
(3) bahasa dan sastra Jawa memiliki peranan sebagai pembangun budi pekerti luhur bangsa. 

Melalui tiga peran itu diharapkan bahasa dan sastra Jawa selalu dibina, dilestarikan, dan dikembangkan agar fungsi itu tetap berjalan terus hingga belum tahu sampai kapan.
C. Bahasa Jawa sebagai Alat Komunikasi Komunikasi di mana pun tidak akan lepas dari bahasa. Bahasa Jawa pada dasarnya telah lama dipegang teguh oleh orang Jawa sebagai wahana komunikasi yang esensial. Komunikasi berbahasa Jawa akan membangun budaya dan budi pekerti luhur. Dalam komunikasi bahasa dan sastra Jawa ada ungkapan menarik yang disampaikan Mendagri, H. Mardiyanto, tanggal 21 Oktober 2008 di pendapa Kantor Bupati Bayumas yaitu sing kalah aja ngamuk sing menang aja umuk. Ungkapan yang bernuansa Pemilu ini, sebagai upaya mengingatkan khalayak agar dalam peristiwa berbahasa dan berbudaya selalu dijaga ketenteraman. Dalam kaitan ini, ternyata orang berbahasa dan bersastra bisa menyulut kemarahan atau sebaliknya kerendahan hati asalkan disampaikan secara proporsional.
Kemampuan berkomunikasi yang baik dan cara berpikir yang kritis dalam menghadapi setiap tantangan baru pada gilirannya dapat melahirkan sikap apresiatif terhadap nilai-nilai yang terkandung pada karya-karya sastra. Dalam hubungan itu, tidak dapat dinafikan bahwa karya-karya sastra mengandung nilai-nilai yang dapat memperhalus akal budi dan amat bermanfaat dalam menghadapi kehidupan. Dengan demikian, kemampuan mengapresiasi karya-karya sastra juga berperan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia pada era global. Oleh karena itu, masalah bahasa dan sastra perlu digarap dengan sungguhsungguh dan berencana supaya tujuan akhir pembinaan bahasa dan sastra Jawa dalam rangka peningkatan pelayanan kebahasaan di Indonesia dapat dicapai.
Pemformatan bahasa dan sastra Jawa dalam komunikasi dengan sendirinya membutuhkan kemampuan berhubungan melalui budaya. Bahasa tidak lepas dari budaya dalam komunikasi, maka kemampuan berbudaya menjadi prasyarat dalam berbagai ragam komunikasi. Bahasa Jawa di Yogyakarta telah sejak era kolonial menjadi alat komunikasi baik di tingkat formal, informal, dan non formal. Komunikasi menggunakan bahasa Jawa dipandang paling efektif, sebab antara satu pihak dengan pihak lain akan mudah saling kenal dan saling menghormati. Hadirnya tatakrama dan atau unggah-ungguh bahasa Jawa tampak lebih praktis untuk membangun komunikasi yang efektif.

Atas dasar KBJ IV di Semarang yang lalu, bahasa Jawa tetap harus ditumbuhsuburkan sebagai bahan komunikasi. Keputusan Kongres tersebut menggariskan bahwa Pendidikan Formal Menekankan kembali berlakunya Keputusan Kongres Bahasa Jawa III di Yogyakarta tahun 2001, bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD/MI,SMP/MTs,SMA/SMK/MA di tiga Provinsi, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur. Bahasa Jawa di sekolah harus ditumbuhkembangkan menjadi alat komunikasi. Paling tidak hal ini dapat ditempuh dengan hadirnya program Javanese Day, ditiap-tiap sekolah. Sekolah yang mempelopori penggunaan bahasa Jawa dengan sendirinya menjadi pionir kemajuan bahasa dan sastra Jawa. Komunikasi bahasa Jawa secara estetis dapat dibangun dengan menciptakan lomba-lomba penciptaan geguritan, macapat, dongeng dan lain-lain agar siswa tidak lepas pemakaian bahasa Jawanya. Pembelajaran bahasa Jawa harus bersifat kontekstual, memanfaatkan teknologi informasi, mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif, serta dapat dimulai dari varian bahasa setempat sebagai titik tolak untuk mengajarkan bahasa Jawa baku. Pembelajaran seyogyanya diarahkan ke aspek komunikasi berbahasa dan bukan teori-teori berbahasa Jawa yang menjemukan. 
Komunikasi menandai bahwa bahasa Jawa itu masih hidup. Jika dalam pembelajaran antara guru dengan siswa selalu berbahasa Jawa, berarti bahasa Jawa tetap akan jaya di Yogyakarta. Pembelajaran bahasa Jawa di sekolah perlu mengajarkan unggah-ungguh dan bahasa Jawa sinandi untuk menanamkan nilai kesantunan dan budi pekerti. Ketepatan penggunanan unggah-ungguh akan mencerminkan perilaku bahasa dan sastra Jawa yang memadai. Hal ini menjadi cermin komunikasi efektif dan efesien berbahasa dan sastra Jawa.
Selain itu, tindak berbahasa perlu memahami dua hal penting, yaitu: 
(1) ngudi sejatining becik, artinya dalam komunikasi tidak ada yang merasa arogan. Komunikasi bahasa dan sastra akan membangun insan yang berbudi luhur, perlu bertindak yang ke arah berbudi bawa leksana. Mereka itu orang yang komunikasi berbahasanya amat mulia; 
(2) perlu dilandasi dengan sikap eling, artinya ingat. Ingat bahwa Pangeran itu ada, tetapi diri manusia itu bukan Pangeran. Maksudnya, manusia dalam komunikasi berbahasa, 
(3) kebenaran itu ada dua kebenaran, yaitu bener mungguhing Allah dan bener manut kang lagi kuwasa. Maksudnya, kedua kebenaran itu yang paling hakiki adalah kebenaran Tuhan. Benar bagi yang sedang berkuasa itu ada dua macam, yaitu yang sesuai dengan Tuhan dan tidak sesuai. Maka dalam berbahasa, perlu membangun komunikasi yang enak, kepenak, sabutuhe, saolehe. Yang penting pengguna bahasa dan sastra Jawa tidak merusak atau mengganggu ketenteraman orang lain. Itulah sebabnya dalam komunikasi perlu ditata berbagai hal terkait dengan bahasa dan sastra Jawa dalam komunikasi tradisi, adat, budaya, sosial, politik, kekuasaan, dan sebagainya. Hal ini perlu disadari, sebab bahasa dan sastra Jawa amat luas cakupannya. Di mana saja akan ada konsepsi dan praktisi pemakaian bahasa dan sastra Jawa. Dalam kaitan ini, pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa perlu ditingkatkan melalui berbagai kegiatan, seperti lomba, sarasehan, pelatihan dan kursus. Manusia itu bisa melakukan apa saja dalam berbahasa, tetapi kekuasaan tetap pada Tuhan. Itulah sebabnya, penataan bahasa dalam lembaga keagamaan, lembaga kemasyarakatan, lembaga pemerintahan, dan lembaga kebudayaan perlu memberikan dukungan dalam pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa. D. Realita Penggunaan Bahasa Jawa di Yogyakarta Penggunaan bahasa Jawa di kalangan Yogyakarta sulit dipungkiri. Dalam berbagai event bahasa Jawa masih eksis. Di lingkungan keraton, negara, petani, dan generasi muda masih memanfaatkan bahasa Jawa. Apalagi Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya, sehingga bahasa menjadi ruhnya. Orang Yogyakarta yang dikenal santun, luruh, nglembah manah, dan penuh kedamaian perlu dikembangkan dalam penggunaan bahasa.
Yogyakarta adalah wilayah kecil, tetapi pemakai bahasa Jawa amat luas. Pemakai bahasa Jawa semakin meluas seiring dengan kultur orang Jawa Yogyakarta yang semakin bertambah. Orang Jawa Yogyakarta melalui proses perpindahan penduduk secara administratif dan alamiah, pasti akan menambah pemakai bahasa Jawa. 

Realitas menunjukkan, minat generasi muda sekarang (anak-anak, remaja, pemuda) untuk menggunakan bahasa dan mengapresiasi sastra Jawa semakin berkurang. Kenyataan itu disebabkan oleh beberapa hal, di samping generasi sekarang kurang bangga berbahasa (dan berapresiasi sastra) Jawa, juga adanya persepsi bahasa mempelajari bahasa dan sastra Jawa itu sulit.
Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai salah satu pusat kebudayaan mempunyai berbagai macam jenis kebudayaan. Bahasa dan sastra daerah (Jawa) merupakan khasanah budaya yang memiliki arti penting dalam pembentukan identitas jati diri bangsa, melalui bahasa seluruh pengertian, pemikiran, kepercayaan clan tata nilai kelompok masyarakat dapat diwujudkan. Dengan kata lain bahasa mencerminkan semua aspek budaya masyarakat pemiliknya.
Bahasa daerah (Jawa) dapat memberikan kontribusi yang cukup penting dalam pembentukan kebudayaan nasional, maupun jati diri sebagai identitas suatu bangsa, yang dalam perkembangannya bahasa Jawa dewasa ini semakin tersingkir dan terdesak oleh bahasa nasional ataupun bahasa asing (Inggris) yang kelihatan lebih terpandang. Atas dasar pemikiran di atas maka Dinas Kebudayaan sebagai suatu instansi yang berkecimpung dalam pembinaan, pengembangan dan pelestarian kebudayaan memandang perlu diadakan kegiatan yang berhubungan dengan upaya pembinaan, pengembangan dan pelestarian.
Terlebih lagi, partisipasi para tokoh dalam menggunakan bahasa Jawa masih lemah, di samping befum ada kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk melindungi dan mempertahankan bahasa, sastra, dan budaya Jawa. Kondisi ini dapat dipahami karena kini kita (masyarakat Jawa) berada datam situasi gamang akibat semakin kuatnya pengaruh budaya global sebagai konsekuensi perkembangan teknologi informasi.

Hal semacam ini akan menyebabkan sekurang-kurangnya dua hal, yaitu: 
(1) orang sering lupa diri, sehingga melupakan jati diri dan harga diri, sampai melupakan bahasa dan sastra Jawa, 
(2) orang sering mengingatkan dengan ungkapan berbahasa Jawa berbunyi sing waras ngalah, artinya yang berpikiran jernih sebaiknya mengalah. Bahasa Jawa sering dipakai di Yogyakarta ini ekspresi emosional terutama oleh generasi muda. Maka tugas bangsa di DIY ini adalah menata agar seseorang itu santun berbahasa Jawa. 

DIY sebagai wilayah yang terletak di area persebaran, pertumbuhan, perkembangan, dan perpindahan berbagai kerajaan Jawa, dikenal sebagai wilayah yang kaya akan peninggalan aset budaya hasil peradaban masa lampau bernilai tinggi, baik warisan budaya fisik (tangible) maupun budaya non tisik (intangible). Banyak aspek bahasa dan sastra Jawa yang kasat mata dan tidak kasat mata di Yogyakarta sebagai gudang budaya, sehingga perlu direvitalisasi ke depan. Yogyakarta menjadi poros bahasa dan sastra Jawa yang selalu menarik, tetapi belum dipetakan secara spesial. Paling tidak dapat diidentifikasi pengaruh beberapa dinasti kerajaan di Jawa yang mewarnai keberadaan (budaya) DiY antara lain kerajaan Mataram kuno pada abad ke 7 yang didirikan oleh Dapunta Syelendra, kerajaan Mataram Hindu yang didirikan dan 
diperintah oleh dinasti Sanjaya pada tahun 717 s/d 925 AD, kerajaan Mataram Islam yang didirikan dan diperintah oleh dinasti Ki Ageng Pemanahan pada tahun 1575 sampai dengan 1755, serta Kasultanan Ngayogyakarto yang didirikan dan diperintah oleh dinasti Hamengkubuwono pada tahun 1755 sekarang dengan didampingi oleh otorita Pakualaman. Kedua keraton ini telah banyak melegitimasi penggunaan bahasa dan sastra Jawa. Kekuasaan keraton telah menjadi barometer penggunaan bahasa Jawa halus yang sering ditiru berbagai kalangan.
Dalam budaya global ini di DIY cenderung menggunakan bahasa Jawa dalam konteks serba cepat, praktis, mekanis, dan pragmatis sehingga apa-apa yang berbau lokal, etis-filosofis, cenderung ditinggalkan. Tambahan lagi media dan terbitan berbahasa Jawa kian terbatas sehingga pembinaan dan penyebaran bahasa dan sastra Jawa, juga para penulisnya makin terbatas (berkurang pula). Walaupun begitu, diyakini bahasa dan sastra Jawa mengandung nilai-nilai luhur, dan nilai-nilai luhur itu masih sering menjadi rujukan dalam membina kehidupan berkeluarga dan masyarakat serta dapat memberi kontribusi untuk membentuk kepribadian bangsa. Karena itu, bagaimana pun, bahasa dan sastra Jawa di DIY perlu terus dikembangkan dan diberdayakan kepada seluruh masyarakat penutur bahasa Jawa. Lalu bagaimana cara yang dapat ditempuh agar bahasa dan sastra Jawa berdaya dan berkembang? 
Berkaitan dengan realitas penggunaan bahasa Jawa di DIY, yang berlangsung di dunia pendidikan, sanggar-sanggar, paguyuban, bidang keagamaan, bidang politik, perlu ditata sedemikian rupa. Pemerintah dengan sendirinya terpanggil untuk melakukan dua kegiatan pokok: 
(1) re-thinking, memikirkan ulang kebijakan bahasa dan sastra Jawa yang sesaui dengan realitas kebutuhan masyarakat, 
(2) merajut kembali, penggunaan bahasa dan sastra Jawa dalam berbagai tatanan hidup, dengan tetap memperhatikan aspek seni, budaya, dan bidang lain yang mendukung.
Yang terpenting lagi, kebijakan yang hendak diambil oleh pemerintah terkait dengan bahasa dan sastra Jawa, selalu memperhatikan realitas bahasa Jawa dan remaja. Kedua tingkat umur ini sering dijadikan sentral karena anak dan remaja adalah ujung tombak masa depan bangsa. Manakala di tingkat realita anak dan remaja di DIY masih aktif menggunakan bahasa Jawa, memanfaatkan sastra, seni, dan budaya Jawa, ke depan akan cemerlang. Realitas itulah yang menjadi perhatian pokok pemerintah setempat. E. Tugas Pengayom Bahasa dan Sastra Jawa Pengayom bahasa dan sastra Jawa di Yogyakarta amat banyak. Pengayom ada yang bersifat formal, informal, dan nonformal. Yang dimaksud pengayom adalah pelindung bahasa dan sastra Jawa, yang bertugas melestarikan, membina, mengembangkan, menyebarluaskan, dan mengkomunikasikan bahasa dan sastra Jawa. Pengayom tidak hanya birokrat dan teknokrat, melainkan juga masyarakat yang secara langsung maupun tidak bersentuhan dengan bahasa Jawa.
Tugas pengayom bahasa dan sastra Jawa sampai kini kian berat, sebab perlu memahami pengaruh budaya global (termasuk terhadap kehidupan makin kuat sehingga bahasa dan sastra Jawa terpinggirkan. Pengaruh teknologi informasi terhadap kehidupa masyarakat makin kuat, sehingga kegiatan berbahasa dan bersastra Jawa makin tidak diminati oleh masyarakat perlu diwaspadai oleh para pengayom. Jika hal ini tidak dipahami, akan menciptakan kondisi bahasa dan satsra Jawa, termasuk di dalamnya seni dan budayanya semakin terpuruk. 
Semestinya Yogyakarta yang yang memiliki media massa bahasa dan sastra Jawa juga perlu menjadi bagian pengayom. Media massa seperti Djaka Lodang, Sempulur, Mekar Sari (Kedaulatan Rakyat), Jagad Jawa (Harian Jodja), Pagagan (Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta), perlu menata diri sebagai pengayom bahasa Jawa. Media elektronik seperti Jogja TV, TVRI, RBTV, Tugu TV, RRI, Radio Rasia Lima, Radio Sasando, dan sebagainya adalah media penting yang menjadi pengayom bahasa dan sastra Jawa. Peran media massa tersebut sampai saat ini masih perlu diformat agar memiliki andil yang khas terhadap perkembangan bahasa dan sastra Jawa. Jumlah media massa berbahasa Jawa mseemang makin terbatas sehingga pembinaan dan penyebaran bahasa dan sastr Jawa juga makin terbatas. Terbitan berbahasa Jawa kurang laku yang menyebabkan para penulis makin berkurang perlu mendapat perhatian para pengayom lain.
Yang sekarang perlu diperhatikan dalam aktivitas pengayom bahasa dan sastra Jawa adalah harus menciptakan aktivitas yang bersinergis. Kerjasama antar pengayom perlu ditata yang lebih efektif dan efesien. Pewarisan nilai-nilai luhur budaya Jawa yang terkandun dalam bahasa dan sastra Jawa kepada generasi muda maki lemah dan itu berakibat makin lunturnya kesadaran generasi muda untuk melestarikan bahasa dan sastra Jawa. Fakta menunjukkan bahwa lembaga-lembaga formal dan informal seperti Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dan Balai-Balai Bahasa, Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta, Yayasan Kinanti, Masyarakat Tradisi Bantul, Kesawa, semestinya lebih banyak memberikan perhatian pada kedudukan, peran, dan fungsi bahasa sastra Jawa di Yogyakarta. Berdasarkan fakta diatas, keberadaan bahasa dan sastra Jawa perlu mendapat perhatian dari semua pihak sebagai pengayom. Strategi yang perlu ditempuh pengayom, perlu disusun yang sinergis, mapan, dan strategis. Bahasa Jawa secara yuridis harus memiliki payung hukum, secara sosial dan budaya harus mendapat perhatian masyarakat, dan secara finansial harus mendapat alokasi dana yang jelas untuk pemberdayaannya. Pemberdayaan bahasa dan sastra Jawa menjadi tanggung jawab pengayom di Yogyakarta secara menyeluruh. Pengayom perlu duduk bersama untuk membangun pelestarian dan pengembangan bahasa dan sastra Jawa yang hebat. F. Pelestarian dan Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa Melalui Kearifan Lokal Sampai saat ini istilah kearifan lokal masih problematis. Yang dimaksud apa, kabur. Jika lokal itu etnis, daerah, kurang jelas. Karena, etnis sendiri masih dapat dibagi menjadi lokal-lokal lain. Orang menangkap lokal, bisa menterjemahkan hal yang sempit secara georgafis. Katakan saja kearifan lokal Jawa. Berarti, Jawa sebagai lokal etnis.
Anehnya, kearifan yang ”dipandang” lokal, sering ada yang mengglobal. Mondial. Hal ini tidak perlu dianggap repot. Toh akhirnya, yang mendunia pun akarnya lokal. Maksudnya, seluruhnya berasal dari jati diri lokal. Jika begitu, lokal bisa juga merujuk pada jati diri. Boleh-boleh saja. 
Saya memandang, kearifan lokal juga dari dan untuk selingkungnya. Namun, kebermaknaan yang lokal itu sering ditarik ke batas luas. Hingga menyebabkan yang lokal tetapi bermuatan global. Atas dasar ini, dapat saya simpulkan kearifan lokal adalah kebijaksanaan (kawicaksanan) yang berasal dari dan untuk lokal maupun mondial. Kearifan termaksud bersifat abadi. Kearifan itu tulus.
Kearifan lokal, saya nyatakan sebagai gumpalan makna. Di dalamnya ada jaring-jaring makna. Di dalamnya pula ada jutaan bahkan milyaran makna. Maka, kearifan lokal juga ibarat sumur, tak akan habis ditimba maknanya, di musim kemarau sekalipun. Dia, menurut hemat saya memiliki sifat open interpretation. Oleh sebab itu, sebuah kearifan lokal dapat ditafsir apa saja, menurut konteks dan kebutuhan. Kearifan lokal merefer pada aspek daya nalar. Karena, kata arif berarti bijak. Bijak, memiliki daya nalar yang jernih. Orang bijak, adalah yang mampu berpikir dengan nalar sempurna. Sebagai misal, andai kata pemerintah mengadili pencuri ayam dengan koruptor milyaran adil, berarti bijak (arif). Sebaliknya, jika pengadilan terkesan emban cindhe emban siladan, artinay tak arif.
Dalam kearifan lokal terkenadung local genius. Bahkan, tak diragukan lagi local emotional-nya. Itulah pemikir yang menggunakan konsep ’nalapadhanga”. Misal, seorang A (pegawai bank) diminta mengisi kamar yang penuh apa saja, jika dipenuhi dengan uang ratusan ribu ditata miring – orang itu tak bijak, karena instrumentalis. Orang lain seorang B (petugas pengairan), mungkin akan mengisi kamar dengan air, penuh, juga kurang bijak, karena lebih materialis. Sementara yang lain C (dukun), akan mengambil lampu 40 watt, teranglah kamar itu. Mindset yang dibangun sang spiritualis, cenderung menggunakan inteligensi spiritualis. Apapun yang mereka gunakan dalam mengambil kebijakan, sah-sah saja. Yang penting, efesiensi dan efektivitas semestinya dipegang oleh orang arif. Orang yang arif, memang wicaksana. Dalam bertindak, biasanya penuh pertimbangan. Hal ihwal kearifan ini, sebenarnya telah include dalam budaya Jawa. Pijar-pijar kearifan lokal Jawa, telah lekat di benak orang Jawa. Sayangnya, banyak pihak masih belum mau tahu tentang hal ini.
Kearifan lokal Jawa, amat banyak macamnya. Sendi-sendi hidup orang Jawa, hampir semuanya berupa kearifan lokal. Tak sedikit orang Jawa yang memiliki bundhelan (bothekan), memuat kearifan lokal. Masalahnya, memang ada kearifan lokal yang semestinya ditinjau ulang. Jangan-jangan kearifan lokal termaksud sudah tidak sesuai dengan jaman. Misalkan saja, ungkapan alon-alon waton klakon, masih relevankah? Paling tidak, jika kurang relevan, tentu membutuhkan penafsiran kembali. Kecuali itu, masalahnya merasakah kita memiliki kearifan lokal yang demikian indah dan kaya itu. Jika ya, implementasi bagaimana. Jangan-jangan sekedar dilisankan atau ditulis sebagai prasasti hidup, sayang sekali. Oleh karena, tanpa ada niat tulus untuk mengimplimentasikan kearifan itu dalam hidup utuh, sia-sia. Jadi sampah, bukan? Nyaris seperti ’kotoran kuda’ di aspal jalan raya.
Terus terang, KBJ 4 kemarin, tidak membicarakan masalah kebijakan kearifan lokal. Jika mencermati makalah yang masuk, sebagian besar menuju value reflection. Arisan nilai yang terjadi di arena kongres. Tentu debat nilai harus terjadi. Jadi, kalau hari ini harus membuat rencana strategis (renstra) kearifan lokal, patut merenungkan ulang atas nilai itu.
Dari kongres tersebut, potret keputusan yang telah dirancang via makalah, harus terjadi. Biarlah. Kini yang perlu dicermati adalah beberapa ’putusan ’ penting kearifan lokal dari KBJ 4 di bawah ini: 1. Sumber-sumber kearifan lokal yang ada dalam tradisi dan budaya masyarakat Jawa antara lain berupa ungkapan, tuturan, ajaran, pepiridan, unen-unen, dan lain-lainnya perlu diidentifikasi dan diintrepretasi; 2. Dari bahasa dan sastra Jawa benyak terkandung nilai-nilai luhur: tentang kejiwaan, kepercayaan, keyakinan dan spiritualitas (aspek Ketuhanan Yang Maha Esa), kebersamaan, toleransi, rela berkorban, dan semangat 'mamayu hayuning sasama' (aspek Kemanusiaan yang adil dan beradab), semangat cinta tanah air, dan 'mamayu hayuning nusa Bangsa' (aspek Persatuan Indonesia), semangat rela berkorban, 'sepi ing pamrih rame ing gawe' (aspek Kerakyatan), 'adil paramarta, 'sing sapa salah seleh' (aspek Keadilan). 3. Hasil identifikasi terhadap kearifan lokal yang ada perlu dikaji dan diintrepretasi agar menjadi sumber inspirasi untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan dalam rangka mewujudkan ketahanan budaya dan ketahanan Bangsa; 4. Masyarakat Jawa sebagai kelompok mayoritas memiliki peranan yang cukup besar dalam memberdayakan nilai-nilai dan kearifan lokalnya dalam mewujudkan persa-tuan dan kesatuan bangsa berdasarkan makna Bhineka Tunggal Ika. 5. Kearifan lokal perlu diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui upaya-upaya nyata di berbagai aspek, kehidupan. G. Pengembangan Bahasa dan Sastra Jawa di Era Otonomi Daerah Di era global, otonomi daerah (Otda), dan gejala multikultural ini, banyak pihak selalu meragukan terhadap eksistensi budaya Jawa. Budaya Jawa selalu dianggap marginal, kurang bergengsi, kolot, kurang kompetitif, dan selalu dipertaruhkan. Bahkan seringkali, entah secara riil (blak-blakan) maupun terselubung, masih ada yang mempertanyakan kemampuan budaya Jawa jika harus kontak dengan percaturan budaya lain.
Kenyataan yang sulit dipungkiri itu menggejala, karena khalayak (awam) sering memandang dengan ‘kacamata hitam’ dan sebelah mata terhadap budaya Jawa, terutama budaya tradisi. Seringkali mereka belum mengetahui esensi budaya Jawa yang kaya akan keluhuran. Gerak jiwa dan karya lahiriah orang Jawa, yang menurut Partokusumo (1995:109) didasari naluri: memayu hayuning sarira (memelihara keselamatan diri), memayu hayuning bangsa, dan juga memayu hayuning bawana (menjaga keselarasan, ketenteraman, keselamatan dunia) – mungkin kurang menyentuh dan jarang dirujuk sebagai suatu keunggulan budaya oleh pihak lain. Akibat dari semua itu, memang tidak terlalu salah jika “pengajaran budaya Jawa” pun menjadi kurang berdampak luas. Hal ini juga diakui oleh pihak Depdiknas, bahwa selama tiga tahun terakhir seakan-akan kita gagal dalam membentuk budi pekerti bangsa (2000:3). Padahal, jika nation and character building ini terabaikan cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Bangsa kita yang selama ini dikenal berbudaya, bisa jadi kelak dituding menjadi kurang beradab.
Dengan demikian, kini yang menjadi tantangan budaya Jawa, adalah bagaimana ‘membuka mata’ generasi baru dan dunia luas agar mengangguk, salut, yakin, dan percaya. Ini jelas bukan hal yang mudah, jika tanpa ketekunan dan proses yang mendasar. Karena itu, perlu upaya meyakinkan dunia modern bahwa budaya Jawa ternyata bersifat terbuka, luwes, lentur, toleran momot (akomodatif), dan optimistik. Perlu strategi baru khususnya mengahadapi era otonomi daerah yang memerlukan persaingan ketat ini, agar pihak lain mau ‘angkat topi’ kalau budaya Jawa menyimpan keistimewaan, seperti pandangan Robert J Keyle (1998), peneliti antrophologi Australia, yang menyatakan: orang Jawa suka meredam (tidak senang konflik), bersikap ‘ngalah’ (mengalah), mawas diri, dan mengendalikan diri. Lebih jauh lagi, perlu strategi baru agar kebudayaan Jawa memiliki nyali sebagai modal pencerahan hidup manusia. Antara lain, kalau budaya tersebut mampu menjadi komponen pencipta good governance (Nasikun, 2001:2). Ini semua adalan tantangan berat, yakni bagaimana langkah strategis agar budaya Jawa itu tidak lagi sebagai legitimasi kekuasaan, instrumen liberasi, melainkan mampu menciptakan civil society di era global, otonomi daerah, dan multikultural. Tantangan budaya Jawa di era global dan multikultural ini, sesungguhnya bisa datang dari dalam dan dari luar. Tantangan dari dalam, adalah datang dari pemerhati budaya Jawa itu sendiri dan tantangan dari luar berasal dari orang di luar komunitas budaya Jawa. Misalkan saja adanya percobaan perumusan budaya Jawa oleh ‘orang kita’ yang selama ini ‘memojokkan’ dan ‘melemahkan’ perlu ditinjau kembali. Seperti halnya yang terungkap dalam buku Manusia Jawa tulisan Marbangun Hardjowirogo (1989:11-26) yang menegatifkan budaya Jawa, yakni bersikap lamban, perasa, feodalistik, suka menggerutu, fatalistik, dan lain-lain. Betulkah sajian semacam ini didasarkan tinjauan secara kritis. Belum lagi ditambah dengan munculnya buku Ciri Budaya Manusia Jawa oleh J Tukiman Taruna yang seakan-akan menganggap orang Jawa juga negatif dalam berpikir tentang hidup dan kehidupan, seperti sikap nylekuthis, masih perlu ditinjau ulang. Lebih tajam lagi, Eki Syahrudin, mantan anggota Komisi VII DPR RI menyatakan dengan getol ketika seminar bertajuk Membangun Sikap dan Perilaku Budaya Bangsa Indonesia Abad XXI, 17 Desember 1997 di Taman Mini Indonesia Indah – bahwa budaya Jawa yang cenderung bersifat kratonik itu sudah kurang layak sebagai modal menyongsong abad XXI nanti. Budaya stratik itu harus dirombak, diganti dengan budaya demokratik. Pasalnya, budaya kratonik itu justru menghambat kemajuan dan kreativitas bangsa. Budaya semacam ini, sering ‘anti kritik’, melainkan lebih ke arah ‘ABS’ (asal bapak senang) dan jilatisme. 
Implementasi budaya Jawa yang kraton life dan terlalu hirarkhis itu, menghendaki bawahan harus patuh. Bawahan harus bisa ngapurancang, tutup mulut, sendika dhawuh, dan inggih-inggih, jika pinjam istilah Darmanta Jatman. Budaya ini akan ‘mematikan’ prestasi. Kurang memupuk jiwa untuk berkembang secara wajar. Memang menyakitkan sentilan tajam begitu, meskipun pada satu sisih juga ada benarnya. Anehnya, lontaran yang semi tendensius itu juga digugah ulang (dikukuhkan) oleh pemakalah berikutnya, Taufik Abdullah, peneliti LIPI. Dalihnya, budaya Jawa hanya sering bersumber dari mitos-mitos dan idiom Jawa yang kurang egaliter. Ini semua, jika kita ingin maju, harus dikikis. Seperti halnya orang Jawa yang mengagungkan tokoh Gatutkaca yang bisa terbang gara-gara memiliki kotang Antrakusuma, sekarang mestinya yang perlu dicari adalah ‘antrakusumalogi’. Pernyataan semacam itu, sebenarnya terlalu ‘sembrana’ dan tergesa-gesa. Mereka memandang esensi budaya Jawa hanya ‘ringan’ dan ‘hampa’. Maka, tugas pemerhati budaya terutama dalam bidang pengajaran adalah menyisihkan asumsi-asumsi minir agar budaya Jawa mampu dikedepankan dan memiliki fungsi nyata bagi pembangunan budi pekerti bangsa. Karena itu, jika terpaksa harus melakukan re-evaluasi dan revitalisasi budaya Jawa pun, tidak perlu diragukan. 
Usulan begitu juga pernah dilontarkan oleh Sujamto (1992) pakar budaya Jawa Jateng, katika harus menjawab komentar Sutan Takdir Alisyahbana dan Moktar Lubis yang menunjuk berbagai kelemahan budaya Jawa, antara lain budaya Jawa dianggap kurang demokrat. Asumsi ini tentu hanya suatu ‘kecerobohan’, muaranya sekedar tesis kultural yang kurang proporsional yang harus dikaji ulang kesahihannya. Sekarang, kata Umar Kayam bahwa tantangan kebudayaan Jawa yang paling serius dalam menggalang konsep kebudayaan baru adalah kondisi multikultural serta ketimpangannya. Dapatkah dari kemajemukan dan ketimpangan kondisi itu dikembangkan ke suatu kultur baru yang homogin? Ataukah justru kondisi yang majemuk ini, merupakan dinamika yang menguntungkan untuk membangunan solidaritas baru. 
Tantangan budaya Jawa berikut adalah konsekuensi dari kehendak kita untuk membuka pintu budaya lebar-lebar. Tidak hanya untuk kebudayaan daerah lain, namun juga bagi budaya asing yang ikut terbawa arus globalisasi dan multikultural. Masalah ini juga menghendaki kiat baru untuk mem-package budaya Jawa agar mampu menjadi penyaring masuknya budaya lain.