(Peneliti pada Balai Arkeologi Yogyakarta)
PENGANTAR
Dalam beberapa tahun terakhir ini penulis telah berusaha menyajikan bacaan tentang manajemen sumberdaya arkeologi yang telah terbit dua jilid, yaitu buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi dan Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2. Mudah-mudahan dalam waktu yang tidak lama akan terbit buku ketiga yaitu Manajemen Sumberdaya Arkeologi-3. Penulisan buku-buku di atas semata-mata didorong oleh adanya “ketimpangan-ketimpangan” dalam sistem pengelolaan sumberdaya arkeologi di Indonesia. Sumberdaya arkeologi yang merupakan bagian dari Benda Cagar Budaya (BCB) maupun Kawasan Cagar Budaya (KCB) kadang-kadang dicampur-aduk dengan benda-benda lain yang juga bagian dari BCB, seperti benda-benda etnografi, dan sejarah.
Dalam kesempatan ini kita perlu bangga atas prakarsa Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menggelar kegiatan Sosialisasi Pengelolaan BCB, Situs, dan KCB, dengan melibatkan unsur masyarakat. Sebab masyarakat adalah salah satu stake holder dalam sistem pengelolaan BCB, Situs, dan KCB, dan pada hakekatnya masyarakatlah pemilik dan pemangku obyek-obyek tersebut. Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam pelestarian sangat diharapkan, yang selanjutnya mereka jugalah yang akan memanfaatkan dan mendapatkan keuntungannya.
I. Pengertian Benda Cagar Budaya, Situs dan Kawasan Cagar Budaya
Istilah dan batasan tentang Benda Cagar Budaya kita kenal dari Undang-Undang Nomor: 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Benda Cagar Budaya adalah :
- benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan;
- benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
Adapun Kawasan Cagar Budaya seperti yang sering kita dengar atau baca, menurut hemat saya tidak jauh dari pengertian situs di atas. Bedanya, untuk KCB sudah tidak diduga lagi, akan tetapi merupakan suatu lokasi yang mengandung atau terdapat benda cagar budaya. Untuk lebih jelasnya di bawah akan diuraikan tentang pengertian situs dan batas-batasnya seperti telah dijelaskan oleh penulis dalam sebuah artikel yang dipresentasikan dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII di Cipanas tahun 1996 yang lalu.
Situs dapat dideskripsi dalam beberapa jenis antara berdasarkan keletakan dan fungsinya. Atas dasar keletakannya, situs dapat dibedakan menjadi situs terbuka atau open site, yang biasanya terletak di lembah, pantai, ataupun di puncak gunung. Berdasarkan fungsinya, dapat dibedakan menjadi situs hunian, situs pasar, situs perburuan, situs perbengkelan, situs penyembelihan binatang, situs pemujaan, dan situs penguburan (Sharer and Ashmore, 1979 : 73-74). Untuk dapat mengetahui jenis-jenis situs seperti disebutkan di atas harus terlebih dahulu diketahui struktur situs berdasarkan distribusi temuan artefak, hal ini sangat penting bagi interpretasi arkeologis (Binford, 1988 : 144-145). Mengacu pendapat para ahli tersebut, maka untuk dapat menentukan suatu situs hendaknya terlebih dahulu dilakukan penelitian oleh ahlinya. Dengan demikian pengertian situs tidak hanya terbatas pada suatu lokasi ditemukannya artefak atau BCB, akan tetapi dapat meluas pada suatu kawasan yang mempunyai suatu keterkaitan antara satu dengan lainnya (Gunadi, 1996 : 94).
Penyebutan Situs Candi Sewu, Situs Candi Plaosan Lor, Plaosan Kidul, Situs Watu Kandang Ngasinan Lor, Ngasinan Kidul adalah contoh penyebutan situs yang hanya berdasarkan lokasi ditemukannya BCB. Oleh karena tidak memperhatikan hasil penelitian arkeologis, maka dalam penataan Taman Wisata di Kawasan Candi Prambanan tersebut sebagian kawasan atau situs Candi Sewu saat ini tertutup jalan dan kampung. Sedangkan penyebutan Situs Candi Plaosan Lor dan Candi Plaosan Kidul terkesan ada dua situs candi, padahal kedua situs dtersebut sebenarnya merupakan satu kesatuan. Demikian kasus yang ditemukan pada situs Watu Kandang di Ngasinan Lor dan Ngasinan Kidul, yang kebetulan saat ditemukan situs tersebut terbelah oleh pembuatan jalan yang kemudian memisahkannya.
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian Kawasan Cagar Budaya adalah tidak hanya berupa satu situs, akan tetapi bias merupakan suatu lokasi yang lebih luas yang terdiri dari beberapa situs. KCB dapat diketahui dan ditentukan berdasarkan dari hasil penelitian, kajian dan studi, sehingga secara akademik dapat dipertanggung jawabkan, dan kemudian dapat dijadikan acuan dalam penentuan kebijakan selanjutnya, antara lain dalam pembuatan peraturan daerah maupun keputusan-keputusan lain yang perlu diterbitkan oleh pihak eksekutif atau pemerintah.
II. Siapa Pemilik Benda Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya?
Seperti telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1992 bahwa BCB dibedakan menjadi dua yaitu benda bergerak dan tidak bergerak. Untuk BCB yang bergerak biasanya dimiliki secara perorangan, baik diperoleh secara turun-temurun atau diperoleh secara tidak sengaja (penemuan). Misalnya berbagai jenis senjata seperti keris, tombak, pedang; perkakas rumah tangga seperti benda-benda keramik asing, maupun berbagai perhiasan yang berasal dari masa lampau. Selain itu, adapula BCB bergerak yang “tidak bertuan” seperti benda-benda yang ditemukan tergeletak di pekarangan maupun di persawahan penduduk, akan tetapi pemiliki sawah maupun pekarangan tersebut tidak merasa memiliki benda tersebut. Misalnya arca-arca lepas, lesung batu, yoni maupun lingga yang ditemukan di pekarangan maupun persawahan milik masyarakat. Sedangkan untuk benda-benda tidak bergerak pada umumnya dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Antara lain seperti gua-gua yang mempunyai konteks dengan kehidupan masa prasejarah, bangunan atau monument megalitik, candi, klenteng, serta masjid dan gereja tua.
Untuk kawasan cagar budaya pada umumnya masih dimiliki oleh masyarakat, akan tetapi dalam pengelolaannya dikuasai oleh pemerintah, sehingga para pemilik yang berada dalam suatu KCB tersebut dibatasi oleh berbagai aturan yang menyangkut tentang pengelolaan BCB yang dimilikinya. Salah satu contoh kawasan cagar budaya yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Yogyakarta adalah Kawasan Cagar Budaya Kota Baru. Para pemilik bangunan di kawasan tersebut tidak dapat dengan sesuka hati merubah, merenovasi, ataupun membangun bangunan yang dimilikinya. Untuk dapat menjaga kelestarian dan pelestarian suatu KCB dibutuhkan kesadaran yang tinggi bagi masyarakat. Dengan demikian makin banyak suatu daerah memiliki KCB berarti masyarakatnya telah memiliki kesadaran dalam melestarikan BCB.
Pada hakekatnya baik BCB maupun KCB keduanya dikuasai oleh pemerintah dan terikat dalam suatu peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. BCB dan KCB dapat dimiliki oleh masyarakat akan tetapi tidak dapat diposisikan sebagai asset pribadi yang dapat dengan mudah diperjual-belikan ataupun diperlakukan seperti asset pribadi lain yang tidak termasuk dalam kualifikasi BCB. Oleh karena itu baik BCB maupun KCB oleh Badan Pelestari Pusaka Indonesia (BPPI) tidak disebut sebagai warisan budaya akan tetapi diistilahkan sebagai pusaka budaya. Dengan menggunakan istilah pusaka budaya dimaksudkan agar BCB dan KCB oleh pemilik dan pemangkunya lebih dipahami tidak hanya sekedar warisan yang diterimanya dari nenek moyang, akan tetapi ada pemahaman sebagai benda yang harus dijaga, dan dirawat, karena telah menyatu dengan jiwa pemiliknya.
III. Mengapa BCB dan KCB perlu dilestarikan?
Pertanyaan di atas biasa terlontar dari masyarakat secara spontanitas, karena secara fisik BCB dan KCB merupakan obyek-obyek yang sudah ketinggalan jaman, mengapa tidak diganti dengan yang baru yang lebih kokoh dan modern?
Perlu diketahui dan dipahami bahwa BCB dan KCB memiliki atau mengandung nilai-nilai yang bobotnya antara satu dan yang lain tidak sama. Berbagai nilai yang dimiliki dalam BCB dan KCB tersebut antara lain:
- Langka dan tidak terbarukan (unrenewable), artinya bahwa BCB dan KCB tidak dapat ditukar dengan benda lain, sekalipun yang sejenis.
- Unik, dengan nilai-nilai historis, arsitektur, maupun ekologi yang khas sehingga menjadi daya tarik untuk dikunjungi para wisatawan. Nilai histories yang sarat akan makna, perlu dan harus dipahami oleh bangsa ini dari generasi ke generasi. Sebab, dalam nilai histories tersebut terkandung pula nilai-nilai lain yang dapat mengajak kepada generasi muda untuk bisa bersikap dan bertindak secara positif, seperti misalnya sikap kepahlawanan, cinta tanah air, rasa kesatuan dan persatuan, serta berbudi pekerti yang luhur. Selain nilai-nilai yang bersifat immaterial, BCB dan KCB dapat pula dimanfaatkan dalam berbagai sector seperti akan dijelaskan pada tahap pemanfaatan di bawah.
IV. Cara-Cara Pelestarian BCB dan KCB
Dalam upaya pelestarian BCB maupun KCB sebaiknya dilakukan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
- Perlindungan hukum dan penetapan sebagai BCB ataupun KCB, di era otonomi daerah, undang-undang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat kadang-kadang gaungnya tidak seperti peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah kabupaten dan kota maupun pemerintah propinsi, misalnya Peraturan Daerah, Surat Keputusan Bupati, Walikota, ataupun Gubernur yang gaungnya akan langsung dapat diterima oleh masyarakat luas. Demikian pula dengan penetapan yang menyatakan suatu obyek adalah BCB atau KCB agar mempunyai kekuatan hokum. Untuk itu, diusulkan penetapan dapat dilakukan oleh pemerintah kabupaten kota yang dibantu oleh tenaga ahli yang berkompenten dalam bidangnya (arkeolog, sejarawan, antropolog, filolog, dsb).
- Perlindungan secara fisik, perlu dilakukan untuk menghindari campur tangan pihak-pihak lain yang tidak berwenang dalam system pengelolaan BCB dan KCB. Langkah awal dalam perlindungan secara fisik adalah melakukan pemintakatan atau zoning. Langkah pemintakatan ini selain bertujuan melestarikan obyek, juga dapat mengakomodasi kepentingan-kepentingan lain terutama yang terkait dengan pemanfaatan BCB dan KCB tersebut. Penentuan batas-batas antara mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan dapat dilakukan secara arbiter dengan mempertimbangkan batas situs, kondisi geotopografi, dan kelayakan pandang.
Pelestarian secara fisik lainnya adalah upaya menghambat proses penurunan kualitas BCB dan KCB dengan cara preservasi dan konservasi. Preservasi dilakukan untuk BCB yang belum mengalami pelapukan dengan melakukan pemeliharaan baik secara manual atau mekanis maupun secara kimiawi. Sedangkan kegiatan konservasi diperlakukan pada BCB yang telah mengalami proses pelapukan (terkena penyakit) dengan tujuan agar dapat menghambat dan menghentikan proses pelapukannya. Dalam perlakuan konservasi diperlukan langkah-langkah seperti observasi, pengumpulan masalah, identifikasi, diagnosis, perlakuan atau tindakan konservasi, dan supervisi. Siklus kegiatan seperti di atas harus dilakukan secara berkesinambungan. Untuk BCB yang tidak bergerak dapat dilakukan kegiatan pemugaran, apabila komponen-komponen bangunan atau monument tersebut secara teknis memungkinkan untuk dilakukan restorasi.
V. Pemanfaatan Benda dan Kawasan Cagar Budaya
Setelah BCB dan KCB berhasil dilestarikan, maka tahap akhir dari system pengelolaannya adalah pemanfaatannya. Akan sia-sia suatu obyek BCB ataupun KCB dilestarikan apabila tidak dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Dengan demikian suatu program kerja harus dapat mewujudkan out put, out come, benefit, dan impactnya, sehingga kinerja suatu lembaga dapat diukur keberhasilannya. Berdasarkan teori, BCB dan KCB tidak hanya untuk kepentingan lembaga tertentu (arkeologi), akan tetapi dapat dimanfaatkan pula oleh berbagai kepentingan, antara lain:
- Scientific research, artinya bahwa BCB dan KCB tidak hanya untuk memenuhi kepentingan ilmu arkeologi ataupun lembaga arkeologi dan purbakala, tetapi berbagai disiplin lain dapat pula memanfaatkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh: BCB tidak bergerak seperti candi, masjid, dan gereja kuno dapat pula dijadikan kajian dan obyek penelitian para arsitek maupun ahli teknik lainnya.
- Creative arts, bahwa BCB dan KCB dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi bagi para seniman, sastrawan, penulis, dan fotografer dengan memanfaatkan obyek tersebut sebagai obyek kreativitasnya.
- Education, BCB mempunyai peranan penting dalam pendidikan bagi pelajar dan generasi muda, terutama dalam upaya menanamkan rasa bangga terhadap kebesaran bangsa dan tanah air.
- Recreation and tourism, pemanfaatan BCB dan KCB yang paling umum dan nyata ialah sebagai obyek wisata yang dikenal dengan wisata budaya. Lebih-lebih untuk obyek BCB ataupun KCB yang berada pada lingkungan alam yang menarik akan memiliki nilai tambah dan daya tarik yang tidak ditemukan di tempat lain.
- Symbolic representation, dimaksudkan bahwa BCB ataupun KCB kadang-kadang dimanfaatkan sebagai gambaran secara simbolis bagi kehidupan manusia. Misalnya Masjid Syuhada dan Kawasan Kota Baru dapat dipahami sebagai symbol kepahlawanan dan pertempuran antara bangsa Indonesia dalam mengusir penjajah Belanda.
- Legitimation of action, banyak para pejabat dan orang-orang yang berduit, setelah mendapatkan kedudukan atau kekayaan, mereka kadang-kadang berusaha untuk dapat memiliki atau menguasai BCB tertentu agar dapat meyakinkan kepada masyarakat umum tentang kesuksesan dirinya dan untuk meraih kesuksesan yang lebih tinggi.
- Social solidarity and integration, BCB yang berupa punden atau makam cikal-bakal suatu desa dapat mewujudkan suatu motivasi solidaritas social dan integrasi yang kuat dalam suatu masyarakat. Pada saat-saat tertentu para ahli waris yang merasa keturunan cikal bakal tersebut mereka menziarahinya, maka pada sat itulah akan muncul kesadaran diantara mereka.
- Monetary and economic gain, BCB dan KCB yang telah dimanfaatkan sebagai obyek wisata budaya, akan mendatangkan keuntungan terutama bagi masyarakat disekitar obyek. Pemerintahpun akan mendapatkan pemasukan sebagai pendapatan asli daerah yang berasal dari pungutan retribusi.
PENUTUP
Pemanfaatan BCB dan KCB seperti di atas dapat terwujud apabila suatu potensi BCB ataupun KCB tersebut dapat dikelola dengan baik dengan mengacu pada kaidah-kaidah akademis dan praktis. Dalam buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, saya telah mengusulkan satu model “Three in One” dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi yang dalam hal ini dapat dianalogikan dan diterapkan pada pengelolaan BCB dan KCB. Model three in one tersebut yaitu : penelitian yang berwawasan pelestarian dan pemanfaatan, pelestarian yang berwawasan pemanfaatan dan penelitian, serta pemanfaatan yang berwawasan penelitian dan pelestarian. Model tersebut kami usulkan karena kondisi pengelolaan BCB di Indonesia yang terkotak-kotak antara kegiatan penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan. Hal ini sangat jauh berbeda dengan system pengelolaan yang dilakukan oleh Negara-negara lain. Kalau di Indonesia Museum yang berfungsi sebagai sector pemanfaatan berada pada muara dan menunggu hasil-hasil kegiatan dari sector penelitian dan pelestarian. Sedangkan di Negara lain museum merupakan pusat pengelolaan sumberdaya budaya yang memiliki sumberdaya manusia bidang penelitian, pelestarian, dan pemanfaatan. Dengan demikian segala aspek pengelolaan dapat dipantau dan alur kegiatannyapun dapat mengalir dengan lancar dalam satu manajemen. Seperti yang dapat kita lihat di lingkungan Negara Asia Tenggara seperti Thailand, Philippine, dan Malaysia, juga di Jepang, dan Negara-negara maju lainnya.
Untuk mengakhiri presentasi ini ijinkanlah saya mengucapkan terima kasih kepada Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta beserta seluruh jajarannya yang telah memfasilitasi kami untuk tampil sebagai narasumber dalam forum sosialisasi pengelolaan BCB dan KCB di daerah Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Sleman.
DAFTAR BACAAN
Gunadi, 1996. “Pemikiran Kembali Tentang Pengertian Situs Arkeologi”, Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII, Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta, Cipanas, 12 – 16 Maret, 1996.
Gunadi dan Tri Hatmaji, 1997. “Bangunan-Bangunan Indis di Jawa tengah: Tinjauan Kelestarian dan Pelestariannya”, Diskusi Ilmiah Arkeologi VIII, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat D.I. Yogyakarta – Jawa Tengah.
Gunadi, 1998. “Archaeological Resource Management in Indonesia, Indo Pacific Prehistory Association Conference, Melaka, Malaysia, 1 – 7 July 1998.
Gunadi, 1999a.”Pola Pertamanan Situs-Situs Prasejarah di Indonesia”, makalah disampaikan pada Loka Karya Pembuatan Pedoman Pertamanan Benda Cagar Budaya dan Situs, Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Kaliurang 13 – 15 September 1999.
Gunadi, 1999. “Wall Painting Conservation in South Sulawesi: A Case Studies on Wooden Panels of Torajann’s Traditional House”, Ninth Seminar on the Conservation of Asian Cultural Heritage (proceeding), page 86 – 91, Tokyo National Research Institute of Cultural Properties, Tokyo – Japan.
Gunadi, 2000. “Religious Influences on Indonesian Court Architecture : A Case Studies on Torajan’s Traditional Buildings”, Seminar on South East Asian Traditional Architecture, SEAMEO Regional Centre For Archaeology and Fine Arts, Bangkok, Thailand.
Gunadi, 2001. “Retrospeksi Pengelolaan Sumberdaya Budaya: Satu Studi Kasus Tentang Upaya Pelestarian Sumberdaya Budaya di Makassar”, Majalah Dunia Pendidikan, No. 15, 16, dan 17, Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Sulawesi Selatan.
Kasnowihardjo, H. Gunadi, 2001. Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin LEPHAS, Makassar.
Kasnowihardjo, H. Gunadi, 2004. Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, diterbitkan oleh: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Komisariat Daerah Kalimantan.
Biodata Penulis :
Nama : Drs. H. Gunadi Kasnowihardjo, MHum.
Tempat/Tgl.lahir : Klaten, 16 Juni 1955
Pendidikan : S1 Arkeologi, UGM th. 1982
: S2 Arkeologi, UI th. 1994
Pekerjaan : th. 1980 – 1996 pemb.pim. pada SPSP Jawa Tengah
: th.1997 – 2002 Ka. SPSP Sul-Sel & Tenggara
: th.2002 – 2006 Ka. Balai Arkeologi Banjarmasin
: th. 2007 – sekarang peneliti pada Balar Yogyakarta jabatan fungsional Peneliti Madya, Gol. IV/b.
Karya Ilmiah berupa buku ada 5 judul yaitu:
- Manajemen Sumberdaya Arkeologi, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makassar, tahun 2001.
- Manajemen Sumberdaya Arkeologi-2, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, Kalimantan, tahun 2004.
- Ensiklopedi Wayang Kulit Banjar, Balai Arkeologi Banjarmasin, tahun 2006.
- Kajian Reka Ulang Replika Keraton Banjar, Pem. Prop. Kalimantan Selatan, th. 2006 ditulis bersama Bani Noor dan Naimatul Aufa dari Jurusan Teknik Arsitektur UNLAM.
- Kajian Arkeologi-Sejarah Kerajaan Kutai Martapura, Balitbangda, Kutai kartanegara, tahun 2007 ditulis bersama M. Dwi Cahyono dari jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang. Saat ini baru menyelesaikan buku Manajemen Sumberdaya Arkeologi-3, dan bersama Prof. Sumijati Atmosudiro tengah mengedit buku berjudul Prasejarah Indonesia dalam Asia Tenggara – Pasifik. Kegiatan ilmiah lain aktif dalam berbagai seminar dan symposium tentang arkeologi, sejarah, dan pelestarian kebudayaan pada umumnya.
Permisi pak, numpang tanya, kalau mau dapatkan buku tentang pelestarian bcb ini dimana ya pak? Terimakasih
ReplyDelete