c

Wednesday, 11 May 2011

Panggung Wayang Orang Kalah Oleh Ingar-bingar Seni Industri


Wayang orang sebagai salah satu bagian dari kesenian tradisi kini seperti hidup segan mati pun tak mau. Tak hanya di Solo, beberapa grup wayang orang di beberapa kota baik di Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, maupun Jakarta pun terancam gulung kelir karena minim peminat. Padahal di era 1970-an, seorang pemain wayang orang tak ubahnya superstar yang ke mana-mana selalu dikerubuti para penggemarnya.
Menyikapi hal tersebut, Suyati atau tenar disapa Yati Pesek, seniman serba bisa asal Yogyakarta menjelaskan, situasi merana sebenarnya tak hanya dialami seniman wayang orang, tapi seniman tradisi secara keseluruhan. Terlebih ketika muncul anggapan jika pergelaran seni tradisi adalah sebuah pemborosan, sehingga semakin mempersempit napas seni tradisi itu sendiri. “Apa sekarang kita masih bisa dengan mudah menemukan panggung tobong seni tradisi, baik itu ludruk, ketoprak, atau wayang orang? Kalaupun masih ada yang peduli, paling hanya budayawan saja, itu pun tidak semua,” keluhnya.
Padahal menurutnya, dalam pergelaran seni tradisi khususnya wayang orang termuat banyak kearifan lokal dan ragam pengetahuan seperti tata rias dan busana, politik, dan juga ilmu sosial lainnya. Dan semua itu seolah dikalahkan begitu saja oleh ingar-bingar organ tunggal, atau sekadar karaoke di depan televisi. “Kita lihat betapa bagus riasan dan kualitas akting pemain yang ada dalam wayang orang. Tapi kenapa semua itu bisa kalah dengan sebuah alat musik modern? Padahal di Eropa, Jepang, dan negara-negara maju lainnya, seni tradisi masih sangat dijunjung tinggi. Ini kan aneh,” ungkapnya.
Tak ingin pertunjukan wayang orang berubah menjadi kisah yang tersimpan dalam arsip museum, Yati Pesek bersama grup wayang orang Trisno Budoyo yang dipimpinnya, mencoba bangkit dari keterpurukan. Tujuan mereka hanya satu yaitu kembali membumikan wayang orang itu sendiri. “Seni itu selalu berkembang dan pasti mengalami pasang surut masing-masing. Untuk itu kami sejenak lepas dari kemasan klasik dan mencoba melakukan kreasi dalam pertunjukan wayang orang,” ujarnya.
Kreasi itu meliputi sanggit atau tema lakon, tata rias, penyederhanaan dialog dan bahasa, durasi waktu, bahkan hingga pengubahan judul lakon. Semua itu dilakukan Yati dengan tujuan utama menarik perhatian para generasi muda, sehingga tidak putus informasi mengenai pertunjukan wayang orang. “Misal, lakon Alap-alapan Sembadra kami ganti dengan judul Burisrawa Stres. Atau dari sisi bahasa kami alih bahasakan dari bahasa Jawa menjadi bahasa Indonesia. Pokoknya kami tidak antiperubahan,” tegasnya.
Di sisi lain, Teguh Prihadi, pemerhati seni tradisi dari Wisma Seni TBJT Solo menyarankan, sebaiknya para seniman tradisi khususnya wayang orang agar sepakat dulu akan arah pertunjukan wayang orang. Karena tanpa kesepakatan, akan rentan konflik sesama seniman tradisi, dan hal ini akan semakin memperparah kondisi panggung seni tradisi itu sendiri. “Disepakati dulu seni tradisi sebagai klangenan atau murni hiburan. Pilihannya hanya pertahankan yang lama atau bongkar total, baru bicara konsep. Sehingga pertunjukan akan benar-benar berkualitas,” sarannya.
Karena ibarat motor, jika dilihat dari aspek fungsional, maka tentunya lebih memilih motor baru yang lebih irit dan tidak mudah rusak. Tetapi ketika pilihannya adalah klangenan, maka motor butut pun akan dianggap klasik dan bernilai jual tinggi. “Dan jangan sampai gembar-gembor pelestarian seni tradisi, tapi ujung-ujungnya adalah pendangkalan tradisi itu sendiri,” kritiknya.
Deniawan Tommy Chandra Wijaya

No comments:

Post a Comment