c

Wednesday 15 April 2009

Beksan Trunajaya

Disebut juga Beksan Lawung Ageng atau Beksan Lawung Gagah. Dinamakan Beksan Trunajaya karena pada zaman dahulu para penari diambilkan dari regu Trunajaya yang merupakan bagian dari pasukan ( prajurit) Nyutra. Pasukan ini merupakan gudang penari waktu itu hingga sebelum perang dunia masih tampak sangat erat hubungannya dengan seni tari. Nama-nama anggota pasukan diberi nama wayang semua dan mereka masih ditugaskan melayani para penari wayang wong dalam hal membenahi para penari, melayani properties seperti senjata, dampar dan lain-lain yang digunakan dalam pagelaran. ( lihat Beksan Lawung).

Beksan Trunajaya diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I. Beksan ini didasarkan menurut nama golongan abdi dalem Tarunajaya( Taruna berarti muda, dan jaya berarti menang), sesuai dengan sifat tarinya yang mempergunakan senjata lawung ( semacam tombak), yang mengesankan latihan perang-perangan. Tarian ini dilakukan oleh 42 orang pelaku ( menurut J. Groneman ) bertempat di Kepatihan Danurejan . Pada waktu sesudah upacara perkawinan Kraton apabila Sri Sultan menantu.

Beksan Trunajaya menurut B.P.H Surybrongto diciptakan karena adanya inspirasi dari perlombaan watangani. Watangan adalah perlombaan ketrampilan antar prajurit dengan mempergunakan watang atau lawung ( tongkat dengan panjang kurang lebih 3 m berujung tumpul). Sultan Hamengku Buwana I mengambil nama Beksan Trunajaya dengan maksud untuk menanamkan semangat dan jiwa dari Madura yang mempunyai cita-cita untuk melanjutkan perjuangan Sultan Agung dalam membela tanah airnya melawan Belanda ).

Semangat perjuangan yang mengesankan Sultan Hamengku Buwana I, sehingga salahsatu pasukannya dengan nama Trunajaya, dan sekaligus untuk menyebut Beksan ciptaannya dengan sebutan Beksan Trunajaya.
Pementasan Beksan Trunajaya biasanya di pendapa dan membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam. Beksan Trunajaya ( Lawung Ageng ) ditarikan oleh 16 orang penari dengan ragam gerak gagah yang dikelompokkan sebagai berikut :
(1) Empat penari jajar dengan gerak tari ragam bapang.
(2) Empat penari lurah dengan gerak tari ragam kalang kinantang.
(3) Empat penari ploncon ( pembawa lawung) dengan ragam gerak tari kalang kinantang.
(4) Dua penari botoh dengan ragam gerak kalang kinantang.
(5) Dua orang sebagai penari salaotho (pelayan/abdi/pembantu) memakai ragam gerak bebas atau tidak kaku, sebab gerakannya mengikuti gerakan penari botoh. Selama menari, botoh membawa tongkat pendek (teken) dan salaotho membawa ampilan yaitu kotak berisi uang taruhan.

Rias dan busana yang dipergunakan adalah rias dan tradisi Yogyakarta. Busana tersebut dapat dipakai untuk membedakan karakter dan tokoh-tokoh tarinya. Adapun busana yang dinekanan dalam Beksan Lawung ageng adalah sebagai berikut :
(1) Botoh mengenakan : songkok narendra memakai hiasan bludiran, sumping roni, kalung, sungsuh tiga, kelat bahu, celana cindhe, kain parang rusak barong, bara, sampur teken, dhuwung branggah, buntal, ditambah tongkat atau teken untuk memberi aba-aba kepada jajar atau lurah, ikat kepala songkok.
(2) Lurah mengenakan : tepen kodhok bineset pareanom, kalung tanggalan kelat bahu ngangrangan, kaweng cindhe, celana cindhe, kain parang gurdha, bara, kamus timang, dhuwung gayaman, sampur cindhe.
(3) Jajar memakai : tepen kodhok bineset warna biru tua, kawng, kalung tanggalan, kelat bahu, celana cindhe, kain kawung gurdha, bara, kamus timang, buntal, dhuwung gayaman, ditambah klinthing.
(4) Ploncon memakai : tepen kodhok, bineset warna coklat, celana panji-panji bermotif cindhe, kain parang rusak alit atau klithik dengan cara pakai supit urang, kaweng polos, bara, buntal, kalung tanggalan sondher.
(5) Salaotho memakai celana panjang polos warna putih dan baju dengan panjang polos, kain bermotif bangpangan, membawa sapu tangan disampirkan di pundak peti atau kotak kecil berisi uang.
Karakter yang menjiwai Beksan lawung ageng untuk jajar gerakannya ekspresif, dinamis dan penuh semangat, sedangkan karakter gerak untuk lurah tenang, yakin dan pasti. Botoh sebagai pimpinan harus dapat bersikap tegas dan berwibawa. Dalam Beksan Lawung ageng digunakan bahasa campuran Madura, Melayu, Bugis dan Makasar dan Jawa. Penggunaan bermacam-macam bahasa yang berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara kerajaan Mataram dengan kerajaan-kerajaan bawahan atau taklukan.

Beksan lawung ageng terdiri dari dua bagian yaitu bagian lawung jajar dengan menggunakan gendhing gangsangan dhawuh(masuk) gedhing ronong tawang dengan menggunakan rog-rog asem dan untuk perangan menggunakan gendhing gangsangan. Untuk maju mundurnya para penari dari pendapa sebagai arena pentas diiringi dengan lagon untuk menambah greged pertunjukan. Sedang keprak digunakan untuk aba-aba atau sebagai penanda tertentu bagi penari.

No comments:

Post a Comment