Arthur Schopenhauer, filosof Jerman pernah mengatakan, seni menjadi penting karena berpotensi membebaskan hasrat kemanusiaan sekaligus menumbuhkan kembali nilai-nilai kearifan yang tenggelam.
Maka adegan ribut-ribut Satpol PP dengan tukang pijat payung yang bisa dilerai Walikota Yogyakarta Herry Zudianto dengan menasehati kedua belah pihak untuk saling menghormati dan menghargai, yang muncul dalam pementasan wayang orang “Petruk Jadi Ratu” di gedung societiet Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (19/6) adalah upaya menghadirkan ungkapan Arthur Schopenhauer itu.
“Wis…wis ojo dak sio karo sing lemah.Petugas kudu menghargai wong cilik. Dadi wong cilik kudu menghormati petugas,” begitu kata Herry Zudianto yang menyebut dirinya hanya pelengkap pertunjukan karena ia memang tak memainkan tokoh siapa-siapa.
Jalan cerita “Petruk Jadi Ratu” pada akhirnya bisa disepakati begitu dekat dengan ungkapan filosofis seorang Arthur Schopenhauer ini, hasrat kemanusiaan dalam bentuknya pencarian kekuasaan dengan jalan yang menyalahi aturan dan kodrat sesungguhnya tidak akan berakhir dengan kebahagiaan.
“Petruk Jadi Ratu” menceritakan Petruk yang membawa lari pusaka Jamus Kalimasada milik Puntodewo karena ingin nempil kamukten (ingin merasakan menjadi raja sebentar saja). Dengan menggunakan Jamus Kalimasada itu, Petruk kemudian mengalahkan Prabu Joyo Sentiko untuk menguasai kerajaan Trangkencono.
Petruk yang telah menjadi raja mengubah namanya menjadi Prabu Bel Geduwel Beh. Petruk menjadi arogan dengan meminta istri-istri dari Prabu Joyosentiko. Belum cukup, Petruk menantang raja-raja tiga negara yaitu Ngamarto, Manduro dan Dwarawati (yang notabene dipimpin para Pendowo, tuan dari Petruk sendiri)
Dalam perang tanding dengan para Pandowo, Petruk berhasil menang karena menggunakan Jamus Kalimasada. Kedigdayaan seorang Janaka, Puntadewa dan Werkudara hilang ketika dikenai Jamus Kalimasada. Namun petualangan Petruk harus berakhir ketika kalah perang dengan Gareng yang sudah diberi senjata rahasia oleh Kresna. Petruk menjadi punakawan kembali untuk mengabdi pada keluarga Pandawa.
Pesan-pesan moral tentang kekuasaan, penghargaan terhadap wong cilik, penegakan aturan tersampaikan secara gamblang dan kuat dalam pementasan “Petruk Jadi Ratu” yang dimainkan Paguyuban Wayang Orang Trisno Budoyo bekerjasama dengan Paguyuban Yati Pesek ini (lihat Sabtu, Wayang Orang “Petruk Jadi Ratu” di Societied TBY, 17 Juni 2010)
Hal itu diakui oleh mantan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto yang turut menyaksikan pementasan “Petruk Jadi Ratu” yang berdurasi lebih dari dua jam ini. Pesan-pesan moral pesan-pesan pembangunan melalui pementasan ini bisa tersampaikan lebih humanis. Budaya menjadi media untuk menyentuh rakyat secara lebih humanis.
“Pesan-pesan bisa diberikan lewat budaya sehingga masyarakat juga tahu. Jadi dengan budaya itu sentuhan kepada masyarakat lebih humanis. Menyampaikan pesan dengan budaya itu lebih humanis daripada dengan aturan-aturan,” jelas mantan Gubernur Jawa Tengah ini seusai pementasan.
Menurut Mardiyanto, budaya Jawa adalah budaya luar biasa karena ditengah kondisi bangsa yang sedang banyak persoalan saat ini, budaya tampil menjadi media penyampai pesan yang ideal. Maka sudah seharusnya semua pihak memperhatikan budaya.
“Saya mengapresiasi pertunjukan ini. Budaya jawa luar biasa. Ditengah kondisi bangsa seperti ini. Budaya memang harus diperhatikan semua pihak,” kata Mardiyanto seraya memuji Walikota Yogyakarta Herry Zudianto yang terlibat dalam pertunjukan ini dengan menyampaikan pesan-pesan pembangunan.
“Saya sangat bangga dengan Pak Herry. Saya kita contoh nyata bagaimana beliau mengemban tugas pemerintah namun tetap ikut memperhatikan budaya,” ujar Mantan Pangdam IV Diponegoro yang sekarang tinggal di Sleman Yogyakarta ini.
Hal senada juga diungkapkan Walikota Yogyakarta Herry Zudianto yang dalam pementasan tadi malam, hadir di panggung sebagai tokoh masyarakat. Walikota mengatakan penghargaan sebesar-besarnya kepada seniman-seniman yang mempunyai perhatian luar biasa untuk melestarikan tradisi wayang orang.
“Tanpa harus meninggalkan pakem tradisinya, tapi tetep juga ada penyesuaian waktu, humor, sehingga wayang orang ini masih menjadi satu alternatif tontonan yang saya kira layak ditonton,” kata Herry Zudianto usai pementasan.
Political will Herry Zudianto tak berhenti di retorika. Keberpihakan orang nomor satu di Kota Yogyakarta ini segera dilanjutkan dengan dibuatnya peraturan daerah tentang pajak hiburan nol persen untuk pertunjukan seni budaya.
“Kemarin saya usulkan pajak hiburan diPperda 0 persen agar hidup.selama ini kita hanya prihatin, seni tradisi ditinggalkan. Sponsor juga susah lha kok masih dikasih pajek hahaha. Kalau bisa diberi subsidi,” demikian Herry Zudianto. (The Real Jogja/joe)
No comments:
Post a Comment