c

Monday, 29 June 2009

RUU BCB-9 Okt-08-Akhir-Senayan[1]

PRESIDEN

REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR…… TAHUN …..

TENTANG

CAGAR BUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

HASIL RAPAT

Tanggal 9 Oktober 2008

Menimbang:

  1. bahwa cagar budaya di Indonesia merupakan kekayaan budaya sebagai perwujudan dari pemikiran dan perilaku kehidupan manusia yang penting artinya bagi acuan atau rujukan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang harus dikelola secara tepat melalui upaya perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya dalam rangka memajukan kebudayaan nasional bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia;
  2. bahwa untuk mengoptimalkan pengelolaan pelestarian cagar budaya secara tepat, diperlukan pengaturan mengenai penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengamanan, penyelamatan, pemeliharaan, perawatan, pemugaran, penemuan, pencarian, peningkatan mutu, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta pembinaan dan pengawasan, baik yang berada di darat maupun di air;
  3. bahwa pengelolaan cagar budaya dalam rangka perlindungan, pengembangan dan pemanfaatannya harus didasarkan pada norma hukum, kondisi sosial budaya, perkembangan global, dan perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan cagar budaya;
  4. bahwa berdasarkan atas pengalaman dalam melaksanakan Undang-Undang Benda Cagar Budaya serta memperhatikan perkembangan yang terjadi, dipandang perlu untuk menetapkan pengaturan mengenai cagar budaya dengan undang-undang, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana terdapat dalam huruf a, b, c, dan huruf d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang Cagar Budaya.

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR…… TAHUN …….

TENTANG

CAGAR BUDAYA

  1. PENJELASAN UMUM

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Pengetahuan dan pemahaman mengenai asal dan perkembangan masyarakat dan kebudayaan merupakan hal yang amat penting dan mendasar bagi upaya kita mengidentifikasi akar masyarakat dan kebudayaannya. Oleh sebab itu, peninggalan budaya merupakan rekaman dasar dari pemikiran dan aktivitas manusia karena perlindungan dan pengelolaan yang tepat sangat penting untuk memungkinkan ahli arkeologi dan ahli ilmu-ilmu lain dapat mempelajari dan menafsirkannya untuk kemanfaatan generasi sekarang dan mendatang.

Berkaitan dengan hal tersebut beberapa perubahan orientasi pada peraturan perundang-undangan cagar budaya dapat dikemukakan antara lain sebagai berikut.

  1. Jika diperhatikan latar belakang sejarahnya perundang-undangan yang mengatur tentang cagar budaya di Indonesia telah berlangsung sejak masa penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan munculnya Monumenten Ordonantie Stbl. 238 tahun 1931 (MO). Dalam MO diatur hal pendaftaran, pemilikan, penemuan, pemindahtanganan, pembelian, penelitian, kehilangan, pidana, yang harus dilaporkan atau diketahui oleh instansi yang berwenang.
  2. Jika dilihat dari substansinya akan tampak bahwa pengaturan tersebut lebih mengutamakan pada kepentingan akademik. Hal ini dapat terjadi karena di dunia Barat masa itu yang tengah berkembang semangat keilmuan. Selain itu semangat akademik juga dilatarbelakangi oleh gerakan pelestarian budaya yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial terhadap daerah jajahannya.
  3. Kecenderungan juga menunjukkan bahwa prioritas yang diatur di dalam MO itu hanya berorientasi pada benda (artefak, arca, prasasti, naskah, bangunan), dan hanya sedikit memberikan perhatian terhadap situs maupun kawasan. Penerapan MO berkembang hingga 61 tahun lamanya ketika bangsa Indonesia secara terpaksa harus menerapkan MO sebagai satu-satunya dasar hukum dalam hal melindungi warisan benda cagar budaya.

Oleh karena pelestarian itu bukan hanya benda cagar budaya, tetapi juga termasuk lingkungannya, maka terjadilah perubahan paradigma pelestarian dari benda ke benda dan situs. Inilah yang mendorong perlunya dilakukan penggantian MO menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya. Selain keterbatasan pengaturan dalam MO, perubahan dilakukan atas dasar dorongan perkembangan ilmu pengetahuan (arkeologi) yang berkembang pada dasawarsa tahun 1970-an. Perkembangan itu tampak pada perubahan bidang garapan dari orientasi pada artefak (artifact oriented) ke orientasi pada situs (site oriented). Perkembangan itu juga terjadi pada nilai cagar budaya yang semula hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata telah berkembang ke arah yang lebih luas yaitu sebagai pembentuk jati diri bangsa, kebanggaan nasional, ketahanan budaya, persatuan dan kesatuan bangsa.

Dalam dunia ilmu pengetahuan telah terjadi juga perkembangan bidang kajian yang semula hanya memprioritaskan pada arkeologi darat ke arah yang lebih luas seperti arkeologi bawah air, arkeologi perkotaan, arkeologi lansekap budaya, dan lain-lain.

Perubahan sistem pemerintahan dari yang sentralistik menjadi desentralistik (Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah) mengakibatkan terjadinya perubahan yang sangat radikal dalam sistem pemerintahan termasuk di dalamnya peraturan perundang-undangan yang mengatur cagar budaya. Perubahan tersebut menempatkan peran pemerintah yang semula merupakan operator tunggal selanjutnya menjadi fasilitator, dinamisator, dan koordinator. Hal ini memberi peluang kepada masyarakat untuk lebih berperan-serta dalam upaya pengelolaan cagar budaya. Tuntutan yang berkembang di masyarakat menghendaki agar cagar budaya sebagai sumber daya budaya harus dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi kesejahteraan masyarakat.

Mengingat cagar budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tak terbaharui, upaya pemanfaatannya pun harus berwawasan pelestarian. Ini berarti bahwa upaya pelestarian dalam arti perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya harus seimbang antara kepentingan akademik, ideologik, dan ekonomik. Oleh karena itu, pengelolaan cagar budaya tidak hanya diarahkan pada kepentingan masa lalu melainkan harus diarahkan pada kepentingan masa kini dan masa mendatang. Pengelolaan cagar budaya dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu upaya pelestarian juga harus mempertimbangkan dan memperhatikan etika profesi agar upaya pelestarian dilakukan secara taat asas serta dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi di bidang pelestarian.

Cagar budaya saat ditemukan ada yang sudah tidak lagi berfungsi dan ada yang masih berfungsi dalam masyarakat pendukungnya (living society). Oleh sebab itu, diperlukan pengaturan yang jelas dan tegas mengenai pemanfaatan cagar budaya yang sifatnya dead monument dan yang sifatnya living monument. Dalam rangka perlindungan terhadap kelestarian cagar budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan maupun tinggalan budaya bawah air seperti kapal tenggelam berikut muatannya, diperlukan kebijakan yang jelas dan tegas dari pemerintah agar dapat menjamin kelestariannya. Untuk memberikan kewenangan kepada pemerintah dan mengatur hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya, dibutuhkan sistem manajerial baik dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang terkait dengan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya sebagai aset sumber daya budaya baik untuk kepentingan akademik, ideologik, dan ekonomik.

Tuntutan perubahan yang berkembang dalam masyarakat mengenai pentingnya pengaturan pengelolaan pelestarian cagar budaya itulah yang mendorong diperlukannya penggantian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya dengan Undang-Undang Cagar Budaya. Undang-undang ini mempergunakan nama Undang-Undang tentang Cagar Budaya karena nama tersebut mengandung makna yang luas. Jadi tidak hanya sekadar mengatur mengenai benda cagar budaya, melainkan juga berbagai aspek yang berkaitan dengan perlindungan peninggalan budaya masa lalu, seperti situs atau kawasan budaya. Di samping itu nama Cagar budaya juga mengandung pengertian tempat perlindungan budaya masa lalu.

Undang-Undang ini dimaksudkan untuk dijadikan landasan yang dapat dipakai sebagai justifikasi akademik terhadap perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Berbagai perkembangan dan perubahan yang terjadi setelah hampir 15 tahun berlakunya Undang-Undang tersebut mengharuskan untuk mengubah pengaturan pengelolaan pelestarian cagar budaya, penyesuaian dengan pandangan baru di bidang ilmu arkeologi, perubahan sistem pemerintahan, penerapan sistem demokrasi dan globalisasi.

Tujuan Undang-Undang ini adalah untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan benda cagar budaya, situs dan kawasan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional bagi kemakmuran rakyat, serta memberikan gambaran pengetahuan tentang aset peninggalan budaya nasional dalam bentuk registrasi cagar budaya nasional serta alur pikir pelestarian guna memajukan kebudayaan bangsa sebagai diamanatkan oleh pasal 32 dan Pasal 33 UUD 1945, dalam rangka pembangunan jati diri bangsa, ketahanan budaya, dan kebanggaan nasional di tengah peradaban dunia, serta dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.

Yang dimaksud dengan nilai sangat penting bagi sejarah adalah suatu peristiwa yang berhubungan dengan tokoh, peristiwa penting tertentu yang berkaitan dengan sejarah perjalanan bangsa.

Yang dimaksud dengan nilai sangat penting bagi ilmu pengetahuan adalah yang berhubungan dengan perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang dimaksud dengan nilai sangat penting bagi kebudayaan adalah yang berhubungan dengan perkembangan atau tingkat peradaban suatu bangsa (seperti kearifan lokal).

Mengingat :

  1. Pasal 5 (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 32, dan Pasal 33; Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1958 tentang Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1976 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun....Nomor....dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun....Nomor.....);
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 2043);
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 Tentang Zone Economic Exclusive (ZEE) Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44).
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77.
  7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 78 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3427);
  9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3632);
  10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68);
  11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
  12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206);
  13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 85 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4220);
  14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 84 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4219);
  15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4247);
  16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4389);
  17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4437);

18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG CAGAR BUDAYA

BAB I

KETENTUAN UMUM

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan :

1. Cagar Budaya adalah pelestarian terhadap kawasan, situs, benda buatan manusia dan/atau alam yang bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan/atau berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, baik yang berada di darat maupun yang di air.

  1. Benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, dan/atau benda alam bergerak atau tidak bergerak, situs dan kawasan yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dan/atau berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, baik yang berada di darat maupun yang di air.
  2. Situs adalah lokasi yang mengandung benda cagar budaya atau berkaitan dengan kegiatan dan peristiwa masa lalu, serta mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, baik yang berada di darat maupun di air.
  3. Kawasan adalah satuan ruang geografis yang memiliki sejumlah situs yang berdekatan, dengan fungsi untuk kelestarian benda cagar budaya dan situs guna kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.
  4. Pengelolaan Cagar Budaya adalah upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan

Pasal 1

Cukup jelas.

  1. Setiap orang adalah orang perseorangan, masyarakat, kelompok orang atau badan hukum.
  2. Pemilikan adalah penguasaan benda cagar budaya, situs, atau kawasan melalui proses sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menjadi hak milik.
  3. Penguasaan adalah kewenangan untuk menentukan atau mengurus benda cagar budaya, situs, atau kawasan melalui proses sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
  4. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
  5. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah (sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004).
  6. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang kebudayaan;
  7. Instansi Terkait adalah beberapa instansi yang mempunyai keterkaitan kewenangan mengenai upaya pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya, situs, dan kawasan.
  8. Pelestarian adalah segala upaya untuk memperpanjang usia benda cagar budaya, situs, atau kawasan dengan cara melindungi untuk dikembangkan dan dimanfaatkan.
  9. Perlindungan adalah segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi segala gejala atau akibat yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau proses alam, yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan benda cagar budaya, situs dan kawasan dengan cara pendaftaran, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, pemugaran, dan pemintakatan.
  10. Pengembangan adalah upaya pelestarian dinamis yang memungkinkan terjadinya penyempurnaan, perubahan, penambahan, penggantian, yang didahului penelitian sesuai dengan prinsip pelestarian.
  11. Pemanfaatan adalah segala upaya untuk memberdayakan benda cagar budaya, situs, dan/atau kawasan sebagai aset budaya untuk berbagai kepentingan yang tidak bertentangan dengan pelestariannya.
  12. Pendaftaraan adalah upaya pencatatan kepemilikan benda cagar budaya dan/atau situs dan/atau kawasan, untuk ditetapkan dan dimasukkan kedalam registrasi nasional untuk kepentingan penanganan pelestarian.
  13. Inventarisasi adalah upaya pencatatan benda cagar budaya dan/atau situs dan/atau kawasan, sebagai suatu kekayaan budaya nasional untuk kepentingan pelestarian.
  14. Penghapusan adalah proses hapusnya benda cagar budaya, situs, atau kawasan dari registrasi nasional karena hilang atau musnah;
  15. Registrasi Nasional adalah daftar benda cagar budaya, situs, dan/atau kawasan yang wajib dikelola dan dilestarikan untuk kepentingan nasional.
  16. Penetapan adalah suatu kebijakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan suatu keputusan mengenai status hukum benda cagar budaya, situs, atau kawasan.
  17. Penyelamatan adalah suatu upaya perlindungan terhadap benda cagar budaya, situs, atau kawasan yang dilakukan secara teknis untuk menanggulangi dari ancaman kerusakan dan/atau kemusnahan yang ditimbulkan baik oleh alam maupun manusia.
  18. Pengamanan adalah upaya perlindungan benda cagar budaya, situs, dan kawasan dengan cara menjaga, mencegah, dan menanggulangi hal-hal yang ditimbulkan oleh perbuatan manusia dan/atau kondisi alam.
  19. Pemeliharaan adalah upaya perlindungan benda cagar budaya, situs, dan kawasan dari kerusakan yang diakibatkan oleh faktor hayati dan non-hayati dengan cara perawatan dan pemugaran.
  20. Pemugaran adalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk benda, situs, dan kawasan cagar budaya dan memperkuat struktur bila diperlukan, yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis. dalam pelestarian benda cagar budaya.
  21. Pemintakatan adalah suatu upaya perlindungan benda cagar budaya dan/atau situs dan/atau kawasan melalui penentuan batas suatu situs sesuai peruntukannya dengan cara membaginya kedalam mintakat inti, mintakat penyangga, dan mintakat pengembangan.
  22. Penelitian adalah kegiatan penyelidikan dalam bentuk penjajakan dan/atau survei dan/atau eskavasi yang dilaksanakan secara sistematis terhadap benda cagar budaya, situs, dan kawasan untuk memahami kebudayaan masyarakat masa lampau.
  23. Pengalihan adalah proses berpindahnya hak kepemilikan dan/atau penguasaan benda cagar budaya, situs, atau kawasan dari seseorang kepada orang lain atau kepada Negara, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  24. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu benda cagar budaya, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk penggandaan secara permanen atau temporer.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP

Pasal 2

Asas

Asas-asas yang dianut dalam undang-undang ini adalah :

  1. Asas Kelestarian
  2. Asas Keberlanjutan
  3. Asas Bhinneka Tunggal Ika

Pasal 2

    1. Yang dimaksud dengan Asas Kelestarian adalah upaya untuk memperpanjang usia benda cagar budaya, situs, atau kawasan dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan.
    2. Yang dimaksud dengan Asas Keberlanjutan adalah upaya pelestarian yang dilakukan secara terus menerus.
    3. Yang dimaksud dengan Asas Bhineka Tunggal Ika adalah materi muatan yang terkandung di dalam Undang-Undang ini senantiasa memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pasal 3

Undang-undang ini bertujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan benda cagar budaya, situs dan kawasan dalam rangka memajukan kebudayaan nasional bagi kemakmuran rakyat.

Pasal 3

Cukup Jelas

Pasal 4

Lingkup Undang-undang ini meliputi pengaturan tentang penguasaan, kepemilikan, pengelolaan, perlindungan, pengembangan, pemanfaatan, larangan, penemuan dan pencarian, pengawasan dan penyidikan, ketentuan pidana, dan peran serta masyarakat terhadap benda cagar budaya, situs dan kawasan baik yang berada di darat maupun di air.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan di air adalah laut, sungai, danau, waduk, sumur, dan rawa.

BAB III

PENGUASAAN DAN KEPEMILIKAN

Pasal 5

        1. Dalam rangka kepentingan nasional cagar budaya di wilayah hukum Republik Indonesia dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
        2. Penguasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk melakukan pengaturan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatannya.
        3. Dalam rangka penguasaan oleh negara terhadap benda cagar budaya Indonesia, yang berada di luar wilayah Republik Indonesia, upaya pengembaliannya dilakukan Pemerintah sesuai dengan perjanjian internasional tentang cagar budaya yang sudah diratifikasi.

Pasal 5

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan dikuasai oleh negara adalah kewenangan negara untuk melakukan pengaturan dan peruntukkan cagar budaya demi kemakmuran rakyat. Penguasaan oleh negara tidak berarti hanya negara yang mempunyai hak milik atas cagar budaya seperti benda cagar budaya, situs, dan kawasan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Arti pentingnya ratifikasi terhadap perjanjian internasional yang berkaitan dengan cagar budaya adalah karena negara tidak mempunyai kewajiban terhadap perjanjian internasional tentang cagar budaya yang belum diratifikasi karena tidak terikat oleh perjanjian itu serta tidak mempunyai sanksi yuridis maupun moral.

Pasal 6 (pindah ke bagian kepemilikan)

  1. Benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang sifatnya memberikan corak khas dan/atau unik; dan/atau jumlah dan jenisnya sangat terbatas serta langka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikuasai negara.
  2. Benda cagar budaya, situs, atau kawasan yang tidak diketahui pemiliknya dikuasai negara.
  3. Ketentuan mengenai pelaksanaan penguasaan cagar budaya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 6

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan nilai sangat penting bagi sejarah adalah suatu peristiwa yang berhubungan dengan tokoh, peristiwa penting tertentu yang berkaitan dengan sejarah perjalanan bangsa.

Yang dimaksud dengan nilai sangat penting bagi ilmu pengetahuan adalah yang berhubungan dengan perkembangan atau kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Yang dimaksud dengan nilai sangat penting bagi kebudayaan adalah yang berhubungan dengan perkembangan atau tingkat peradaban suatu bangsa (seperti kearifan lokal).

Yang dimaksud corak khas adalah sesuatu yang membedakan antara satu dengan yang lain.

Yang dimaksud dengan suatu gaya tertentu adalah ciri yang mewakili masa gaya tertentu mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah dan sebagainya misalnya gedung Bank Indonesia yang mewakili gaya arsitektur tropis modern Indonesia pertama.

Yang dimaksud dengan unik adalah sesuatu yang mempunyai nilai kekhususan lain daripada yang lain dalam bentuk atau jenisnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pemilik adalah setiap orang yang mempunyai hak terhadap cagar budaya baik itu berupa benda, situs maupun kawasan. Adapun untuk situs dan kawasan dapat dengan hak milik, hak guna bangunan maupun hak pakai dengan menunjukkan tanda bukti kepemilikan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 6

  1. Benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang sifatnya memberikan corak khas dan/atau unik; dan/atau jumlah dan jenisnya sangat terbatas serta langka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dimiliki negara.
  2. Benda cagar budaya, situs, atau kawasan yang tidak diketahui pemiliknya dikuasai dimiliki negara.
  3. Ketentuan mengenai pelaksanaan pemilikan cagar budaya oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 7

  1. Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai benda cagar budaya, situs dan/atau kawasan dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-undang ini.
  2. Benda cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimiliki dan/atau dikuasai :
    1. secara turun-temurun atau merupakan warisan;
    2. apabila jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara.
  3. Situs dan/atau kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai secara turun temurun.
  4. Warga negara asing, hanya dapat memiliki dan/atau menguasai benda cagar budaya bergerak yang jumlah dan jenisnya banyak, serta sebagian telah dikuasai oleh negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

Ayat (1)

Yang dimaksud corak khas adalah sesuatu yang membedakan antara satu dengan yang lain.

Yang dimaksud dengan suatu gaya tertentu adalah ciri yang mewakili masa gaya tertentu mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah dan sebagainya misalnya gedung Bank Indonesia yang mewakili gaya arsitektur tropis modern Indonesia pertama.

Yang dimaksud dengan unik adalah sesuatu yang mempunyai nilai kekhususan lain daripada yang lain dalam bentuk atau jenisnya.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan pemilik adalah setiap orang yang mempunyai hak terhadap cagar budaya baik itu berupa benda, situs maupun kawasan. Adapun untuk situs dan kawasan dapat dengan hak milik, hak guna bangunan maupun hak pakai dengan menunjukkan tanda bukti kepemilikan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 7

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan menguasai oleh perseorangan adalah penguasaan dengan hak-hak pengelolaan dan pemanfaatan atas benda cagar budaya, situs, dan kawasan.

Yang dimaksud dengan fungsi sosial adalah manfaat bagi masyarakat secara umum, namun tetap berpedoman pada perlindungan dan pelestarian.

Ayat (2)

  1. Pemilikan dan penguasaan secara turun temurun atau warisan sesuai dengan hukumnya masing-masing seperti hukum adat, hukum Islam, B.W. (Burgelijk Wet Boek)/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Adapun bentuknya dapat dikarenakan hibah, wasiat, penunjukan ataupun menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Cukup Jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 8

  1. Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib melaporkan kepada instansi terkait apabila benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang dimiliki dan/atau dikuasainya rusak atau hilang atau musnah dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diketahui rusak atau hilang atau musnahnya cagar budaya tersebut.
  2. Instansi terkait atau berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku .
  3. Benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang hilang atau musnah dapat dihapuskan sebagai cagar budaya dari register nasional.
    1. Tata cara kepemilikan dan/atau penguasaan dan/atau penghapusan benda cagar budaya, situs, dan kawasan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan cagar budaya yang rusak adalah kondisi cagar budaya yang masih dapat diperbaiki melalui perawatan dan/atau pemugaran.

Jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari merupakan waktu yang cukup untuk melaporkan kepada instansi terkait apabila cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai rusak atau hilang atau musnah.

Yang dimaksud dengan cagar budaya yang hilang adalah benda cagar budaya yang hilang karena dicuri.

Yang dimaksud dengan cagar budaya yang musnah adalah tidak dapat diselamatkan lagi melalui upaya rekonstruksi akibat bencana alam atau sebab lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Masa penghapusan dari daftar register nasional untuk benda cagar budaya yang hlang adalah 6 (enam) tahun. Hal ini berdasarkan pada sistem pengaturan kadaluarsa tindak kejahatan pencurian sebagaimana diatur dalam pasal 78 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Apabila diketemukan setelah jangka waktu tersebut, maka cagar budaya tersebut harus didaftar kembali.

Ayat (4)

Cukup jelas

Pasal 9

  1. Benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang dimiliki perorangan dapat dialihkan kepemilikannya kepada orang lain atau kepada Negara.
  2. Negara mempunyai hak didahulukan atas pengalihan pemilikan benda cagar budaya, situs, dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Pengalihan pemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui hibah, tukar-menukar, pewarisan, penetapan atau putusan hakim.

Pasal 9

Cukup jelas.

BAB IV

PENGELOLAAN

Pasal 10

  1. Pengelolaan cagar budaya adalah tanggung jawab pemerintah.
  2. Setiap orang dapat berperan serta dalam pengelolaan cagar budaya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
    1. Pengelolaan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan benda cagar budaya, situs atau kawasan.

Pasal 10

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 11

        1. Pemerintah menyusun kebijakan nasional dengan membuat rencana induk pengelolaan cagar budaya sebagai acuan bagi dokumen perencanaan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya
        2. Pengelolaan cagar budaya dilaksanakan secara terpadu oleh instansi terkait dan setiap orang dengan mengacu pada kebijakan nasional pengelolaan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
        3. Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat kebijakan pemerintah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan cagar budaya.
        4. Rencana Induk pengelolaan cagar budaya disusun berdasarkan kajian aspek-aspek arkeologik, historik, teknik, ekonomik, lingkungan, sosial budaya, dan ilmu-ilmu lain yang terkait.
        5. Rencana Induk Pengelolaan Cagar Budaya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
        6. Pedoman Penyusunan Rencana Induk Pengelolaan Cagar Budaya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Kajian aspek arkeologik adalah kajian yang menjelaskan tentang nilai kepurbakalaan bagunan yang ditinjau dari keaslian bentuk, bahan, pengerjaan, dan tata letak secara kontekstual.

Kajian aspek historik adalah kajian yang menjelaskan tentang latar belakang sejarah bangunan dan arti penting atau peranannya dalam suatu peristiwa sejarah.

Kajian aspek teknik adalah kajian yang menjelaskan tentang kondisi bangunan dengan segala permasalahan kerusakan yang dapat menimbulkan kerugian atau kemusnahan bagi nilai manfaat dan keutuhan bangunan.

Kajian aspek ekonomik adalah kajian yang menjelaskan tentang aspek untung dan rugi bagi cagar budaya dan masyarakat di sekitarnya.

Kajian aspek lingkungan adalah kajian yang menjelaskan tentang kondisi lahan di sekitar cagar budaya, meliputi aspek geotopografis, flora, fauna, klimatologis, dan tata guna lahan, serta status kepemilikan dan rencana umum pembangunan tata ruang daerah.

Kajian aspek sosial budaya adalah kajian yang menjelaskan tentang kondisi masyarakat, seperti adat istiadat, tradisi, agama, kepercayaan, mata pencaharian, dll.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

Pasal 12

  1. Dalam rangka pengelolaan cagar budaya pemerintah berkewajiban:
  1. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, meningkatkan kesadaran, dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya;
  2. mengembangkan dan menerapkan kebijakan nasional yang menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya benda cagar budaya, situs, dan kawasan;
  3. menyelenggarakan penelitian dan pengembangan cagar budaya;
  4. menyediakan informasi cagar budaya kepada masyarakat;
  5. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang berjasa di bidang pengelolaan cagar budaya.
  1. Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai benda cagar budaya tidak bergerak, situs, dan kawasan dan telah melakukan kewajiban melindungi, memelihara, serta telah diatur berdasarkan Undang-Undang ini, dapat memperoleh hak kemudahan, pengurangan, atau tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 12

Ayat (1)

  1. Cukup jelas

  1. Cukup jelas.

  1. Cukup jelas.

  1. Informasi dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik
  2. Penghargaan dapat berupa kompensasi secara ekonomis, maupun pemberian penghargaan berupa piagam atau bentuk lainnya.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 13

Peran serta setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) dapat dilakukan dengan :

          1. berpartisipasi dalam penyusunan rencana induk pengelolaan cagar budaya dengan cara memberikan masukan atau pendapat.
          2. hak untuk ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pengelolaan cagar budaya;
          3. hak untuk ikut berpartisipasi melakukan pengawasan dengan menyampaikan informasi dan/atau laporan, termasuk laporan yang berkaitan dengan adanya pelanggaran dan/atau kejahatan kepada pejabat yang berwenang;

Pasal 13

            1. Saran pendapat dapat berupa lisan atau tertulis dan disampaikan kepada instansi Pemerintah yang memiliki kewenangan dalam bidang kebudayaan.
            2. Cukup jelas.
            3. Pejabat yang berwenang adalah penyidik POLRI dan atau PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil)

BAB V

PERLINDUNGAN

Pasal 14

  1. Negara dan setiap orang wajib melindungi cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.
  2. Perlindungan cagar budaya dilakukan dengan cara pendaftaran, penyelamatan, pengamanan, pemeliharaan, perawatan, dan pemugaran.
    1. Pemerintah dapat memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur pada ayat (1).

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya Pemerintah dalam melakukan pembinaan berupa pembuatan pedoman, asistensi, insentif, dan advokasi.

Bagian Pertama

Pendaftaran dan Tingkatan Cagar Budaya

Pasal 15

    1. Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan wajib melakukan pendaftaran.
    2. Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendaftaran menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan, yang dikuasai negara atau yang tidak diketahui pemiliknya yang berada di wilayah kewenangannya.
    3. Pemerintah menyusun registrasi menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan secara nasional melalui penyelenggaraan pendaftaran dan inventarisasi
    4. menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang telah didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mendapatkan sertifikat kepemilikan dan/atau penguasaan.
    5. Tata cara inventarisasi, pendaftaran, dan registrasi menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

Ayat (1)

Kewajiban untuk melakukan pendaftaran bagi setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai cagar budaya adalah untuk keperluan inventarisasi dan registrasi nasional terhadap peninggalan budaya yang tidak ternilai harganya. Oleh sebab itu, dari hasil pendaftaran tersebut setiap cagar budaya baik itu yang berwujud benda cagar budaya, situs atau kawasan maupun fosil akan memperoleh sertifikat.

Ayat (2)

Kewenangan pemerintah daerah melakukan pendaftaran cagar budaya merupakan wujud pelaksanaan asas medebewend (asas tugas pembantuan) yang pada prinsipnya merupakan desentralisasi tidak penuh.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Arti penting sertifikat pendaftaran adalah sebagai bukti kepemilikan yang syah.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 16

  1. Pendaftaran menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan berdasarkan pada tiga tingkatan nasional, regional, dan lokal.
  2. Tingkatan menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tingkat Nasional ditetapkan oleh Menteri, tingkat regional oleh Gubernur, dan tingkat lokal oleh Bupati atau Walikota.
  3. Penilaian tingkatan menguasai benda cagar budaya, situs, dan kawasan nasional dilakukan oleh Tim Ahli yang keanggotaannya telah memiliki sertifikasi sesuai dengan keahlian yang ditentukan oleh Menteri.
  4. Benda cagar budaya, situs, dan kawasan tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Pemerintah menjadi Warisan Budaya Dunia
  5. Pedoman dan/atau tata cara pendaftaran, penetapan, dan penentuan peringkat diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan warisan budaya dunia adalah benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang memiliki nilai-nilai universal yang diakui oleh internasional melalui UNESCO yang masuk dalam word heritage list (daftar warisan budaya dunia).

Ayat (5)

Cukup jelas

Bagian Kedua

Penyelamatan dan Pengamanan

Pasal 17

      1. Penyelamatan dan pengamanan benda cagar budaya, situs, dan kawasan dilakukan untuk :
  1. mencegah kerusakan benda cagar budaya, situs atau kawasan karena faktor alam dan/atau manusia yang berakibat berubahnya keaslian dan nilai sejarah cagar budaya;
  2. mencegah beralihnya pemilikan dan/atau penguasaan benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

(2) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam :

          1. keadaan darurat yaitu kondisi yang dapat mengancam keselamatan dan kelestarian benda cagar budaya, situs, dan kawasan seperti kebakaran, bencana alam, dan peristiwa lainnya di luar kehendak dan kemampuan manusia.
  1. keadaan biasa yaitu kondisi yang memungkinkan pemilik dan/atau yang menguasai merencanakan penyelamatan benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang berada di bawah kepemilikan dan/atau penguasaannya.

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 18

  1. Tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dapat dilakukan melalui upaya :
        1. pelaporan apabila benda cagar budaya, situs, dan kawasan yang berada di bawah pemilikan dan/atau penguasaan hilang atau rusak.
        2. pemindahan benda cagar budaya yang terancam keselamatannya baik karena faktor alam maupun manusia atau karena rencana pembangunan sekitar situs dan/atau kawasan.

(2) Ketentuan tentang penyelamatan benda cagar budaya, situs, dan kawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 18

Ayat (1)

Penyelamatan cagar budaya berupa pemindahan merupakan upaya terakhir dan hanya dilakukan dalam kondisi darurat, demi kepentingan umum apabila penyelamatan dalam bentuk lainnya tidak dimungkinkan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 19

  1. Pengamanan benda cagar budaya, situs, dan kawasan dilakukan untuk menjaga benda cagar budaya, situs atau kawasan agar tidak hilang, rusak, dan musnah.
  2. Pengamanan terhadap benda cagar budaya dilakukan dengan cara memelihara, melindungi, menyimpan dan/atau menempatkan pada tempat yang telah ditentukan.
  3. Pengamanan terhadap situs dan kawasan dilakukan dengan menentukan batas-batas situs dan kawasan melalui pemintakatan.
    1. Tata cara pengamanan benda cagar budaya, situs, dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), dan (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan tempat yang telah ditentukan adalah museum atau unit pelaksana teknis di bidang kebudayaan atau instansi pemerintah yang terkait.

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Bagian Ketiga

Pemeliharaan

Pasal 20

  1. Pemeliharaan dengan perawatan terhadap benda cagar budaya, situs dan kawasan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pelapukan akibat pengaruh alam, hayati, dan perbuatan manusia.
  2. Upaya perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara menjaga kebersihan, pengawetan benda, melakukan perbaikan atas kerusakan kecil dengan memperhatikan faktor bahan, kondisi keterawatan, dan nilai yang dikandungnya.

(3) Ketentuan mengenai tata cara perawatan benda cagar budaya, situs, dan kawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 20

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Bagian Keempat

Pemugaran

Pasal 21

  1. Pemugaran benda cagar budaya, situs, dan kawasan dilakukan dengan cara memperbaiki, memperkuat struktur, mengawetkan melalui restorasi, rekonstruksi, konsolidasi/stabilisasi, rehabilitasi, adaptasi, dan revitalisasi sesuai dengan tingkat kerusakannya.
  2. Tata cara pemugaran benda cagar budaya, situs, dan kawasan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 21

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan pemugaran ádalah serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian bentuk benda cagar budaya dan memperkuat struktur bila diperlukan yang dapat dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, historis, dan teknis dalam pelestarian benda cagar budaya.

Yang dimaksud dengan restorasi (restoration) adalah upaya yang dilakukan untuk mengembalikan bentuk asli bangunan dan lingkungan cagar budaya dari kerusakan dengan cara memasang kembali bagian-bagian bangunan yang lepas setelah diperbaiki dengan bahan dan metode yang sama, serupa, sesuai aslinya.

Yang dimaksud dengan restorasi (restoration) adalah upaya mengembalikan keberadaan struktur peninggalan pada kondisi awal yang diketahui, dengan cara membongkar tambahan yang dipasang belakangan atau memasang kembali komponen yang ada tanpa penggunaan bahan baru.

Yang dimaksud dengan rekonstruksi adalah upaya mengembalikan peninggalan sebatas kondisi yang diketahui dan memperhatikan aspek autentisitas (keaslian bahan, teknik pengerjaan, dan keletakan/setting), dalam hal ini penggunaan material baru dibedakan dengan material lama.

Yang dimaksud dengan stabilisasi adalah upaya perbaikan bangunan yang kegiatannya menitikberatkan pada upaya memperkuat sruktur atau konstruksi bangunan.

Yang dimaksud dengan rehabilitasi (rehabilitation) adalah upaya perbaikan dan pemulihan bangunan yang kegiatannya menitikberatkan pada penanganan yang sifatnya parsial.

Yang dimaksud dengan adaptasi (adaptation) adalah upaya yang dilakukan untuk mengubah bangunan dan lingkungan cagar budaya untuk dapat digunakan, dimanfaatkan sesuai dengan fungsi aslinya atau fungsi baru yang diusulkan tanpa mengganggu nilai-nilai dan karakter aslinya.

Yang dimaksud dengan revitalisasi adalah upaya memberdayakan kembali situasi dan kondisi lingkungan dan bangunan cagar budaya untuk berbagai fungsi yang mendukung pelestariannya.

Ayat (2)

Cukup jelas.

BAB VI

PENGEMBANGAN

Pasal 22

  1. Pengembangan pengeloaan benda cagar budaya, situs, dan kawasan harus berdasarkan pada prinsip-prinsip pelestarian cagar budaya.
  2. Pelaksanaan pengembangan pengelolaan benda cagar budaya, situs, dan kawasan dilakukan melalui penelitian, pelatihan serta penyuluhan cagar budaya yang berkesinambungan dengan memperhatikan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan dan kemampuan teknologi di bidangnya.
  3. Pengembangan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah.
  4. Pengembangan pengelolaan benda cagar budaya, situs, dan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mengajukan permohonan rencana pengembangan yang disampaikan secara tertulis dan dilengkapi dengan hasil studi yang memenuhi standar teknis pengembangan pengelolaan benda cagar budaya, situs, dan kawasan sesuai dengan pedoman yang ditentukan oleh pemerintah.

(5) Pelaksanaan pengembangan cagar budaya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

  1. Setiap rencana kegiatan yang diduga dapat mengakibatkan tercemar, pindah, rusak, musnah atau hilangnya benda cagar budaya, situs, dan kawasan wajib dilakukan penelitian secara arkeologis dan AMDAL.
  2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

BAB VII

PEMANFAATAN

Pasal 24

  1. Pemanfaatan benda cagar budaya, situs, dan kawasan dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pariwisata.
  2. Tata cara pemanfaatan benda cagar budaya, situs, dan kawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 24

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan untuk kepentingan sosial dapat berupa, antara lain, pameran, diplomasi kebudayaan, dan pertukaran informasi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 25

(1) Benda cagar budaya, situs atau kawasan yang pada saat ditemukan sudah tidak dimanfaatkan lagi seperti fungsi semula dilarang dimanfaatkan kembali.

(2) Pemanfaatan benda cagar budaya, situs dan kawasan seperti fungsi semula untuk kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai dengan tingkatan cagar budaya.

Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas;

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan kepentingan tertentu, antara lain :

a. peringatan hari besar keagamaan;

b. pemanfaatan untuk publik;

Pasal 26

  1. Pemanfaatan benda cagar budaya yang dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang atau yang dikuasai negara dapat dilakukan perbanyakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    1. Ketentuan tentang pemanfaatan benda cagar budaya dengan cara melakukan perbanyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 26

Cukup jelas

Pasal 27

  1. Benda cagar budaya bergerak baik yang dikuasai maupun dimiliki negara wajib disimpan dan/atau dirawat sebagai koleksi di museum.
  2. Benda cagar budaya bergerak baik yang dimiliki dan/atau dikuasai setiap orang dapat disimpan dan/atau dirawat sebagai koleksi di museum.

  1. Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi di bidang perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan koleksi
  2. Ketentuan mengenai museum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup Jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan museum adalah lembaga penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan koleksi guna menunjang upaya pelestarian kekayaan budaya bangsa bagi kepentingan pendidikan, penelitian, ilmu pengetahuan, dan rekreasi.

Ayat (4)

Cukup jelas.

BAB VIII

LARANGAN

Pasal 28

(1) Setiap orang dilarang merusak dan/atau memisahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya dari kesatuan, atau kelompok, atau dari letak asal.

(2) Setiap orang dilarang mengambil benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya dari kesatuan, atau kelompok, atau dari letak asal.

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Yang dimaksud mengambil dalam ayat ini adalah tindak pidana pencurian.

Pasal 29

(1) Tanpa izin Menteri atau Pemerintah Daerah, setiap orang dilarang:

a. membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia;

b. membawa benda cagar budaya dari satu daerah ke daerah lainnya;

c. mengubah fungsi benda cagar budaya tidak bergerak yang masih digunakan, situs atau kawasan;

d. memperjualbelikan benda cagar budaya.

e. melakukan pencarian benda cagar budaya dan/atau situs dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, baik di darat maupun di air.

  1. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,b, c, dan e, hanya diberikan untuk kepentingan pendidikan, kebudayaan, dan kepariwisataan
  2. Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diberikan berdasarkan rekomendasi Tim Ahli yang bersertifikat di bidang benda cagar budaya.
  3. Tim ahli dalam memberikan rekomendasi harus memperhatikan jumlah, jenis dan bentuk yakni jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara.
  4. Negara dilarang mengalihkan benda cagar budaya dan situs yang dimiliki negara.
  5. Pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2), (3) dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 29

Ayat (1)

    1. Izin kegiatan membawa benda cagar budaya keluar wilayah Republik Indonesia diberikan oleh Menteri.
    2. Izin kegiatan membawa benda cagar budaya dari satu daerah ke daerah lainnya diberikan oleh Pemerintah Provinsi; Izin kegiatan membawa benda cagar budaya dalam wilayah kabupaten/kota diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.
    3. Izin kegiatan mengubah fungsi benda cagar budaya tidak bergerak, situs atau kawasan diberikan oleh Pemerintah.
    4. Izin kegiatan memperdagangkan atau memperjualbelikan benda cagar budaya diberikan oleh Pemerintah dengan memperhatikan jumlah jenis, dan bentuk apabila jumlah untuk setiap jenisnya cukup banyak dan sebagian telah dimiliki oleh negara.
    5. Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

Ayat (4)

Cukup jelas

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas

BAB IX

PENEMUAN DAN PENCARIAN

Bagian Pertama

Penemuan

Pasal 30

    1. Setiap orang yang menemukan benda cagar budaya atau yang diduga sebagai benda cagar budaya dan/atau lokasi yang diduga situs yang tidak diketahui pemiliknya wajib melaporkan kepada instansi yang berwenang di bidang pelestarian cagar budaya, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau aparat Pemerintahan Daerah terdekat, paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diketemukannya.
    2. Berdasarkan laporan penemuan benda cagar budaya atau yang diduga sebagai benda cagar budaya dan/atau lokasi yang diduga situs sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan penelitian oleh instansi yang berwenang.
  1. Sejak diterimanya laporan dan selama dilakukannya proses penelitian terhadap benda temuan dan lokasi penemuan diberikan perlakuan sebagai benda cagar budaya dan situs.
  2. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah menetapkan benda tersebut sebagai benda cagar budaya atau bukan benda cagar budaya dengan:
    1. pemilikan oleh Negara dengan pemberian imbalan yang wajar kepada penemu;
    2. pemilikan sebagian dari benda cagar budaya oleh penemu;
    3. penyerahan kembali kepada penemu, apabila terbukti benda tersebut bukan sebagai benda cagar budaya atau bukan sebagai benda cagar budaya yang tidak diketahui pemiliknya;

(5) Terhadap lokasi temuan yang ditetapkan sebagai situs Pemerintah atau Pemerintah Daerah memberikan ganti rugi kepada pemilik lahan.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penemuan, penetapan dan ganti rugi benda cagar budaya dan/atau situs diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 30

Cukup jelas

Bagian Kedua

Pencarian

Pasal 31

  1. Setiap upaya pencarian benda cagar budaya dan/atau situs dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan, baik di darat maupun di air hanya dapat dilakukan dengan izin Pemerintah.
  2. Hasil pencarian benda cagar budaya dan/atau situs dimanfaatkan untuk kepentingan pelestarian.
  3. Hasil pencarian Benda Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dipergunakan untuk kepentingan ekonomi dengan tetap mengutamakan kepentingan pelestarian
  4. Ketentuan mengenai pencarian benda cagar budaya di air dengan cara penjajagan, survei atau pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

yang dimaksud dengan mengutamakan kepentingan pelestarian adalah dengan mendahulukan cara atau metode yang sesuai dengan kaidah Ilmu arkeologi, kaidah konservasi, serta mengutamakan untuk koleksi negara.

Ayat (4)

Cukup jelas

BAB X

PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN

Bagian Pertama

Pengawasan

Pasal 32

  1. Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab terhadap pengawasan pelestarian cagar budaya sesuai dengan peringkat benda cagar budaya, situs, dan kawasan.
  2. Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan pelestarian cagar budaya.
  3. Tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 32

Cukup jelas

Bagian Kedua

Penyidikan

Pasal 33

  1. Penyidikan tindak pidana dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai wewenang :
    1. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
    2. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
    3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
    4. mengambil sidik jari dan memotret seseorang
    5. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    6. atas izin Ketua Pengadilan Negeri setempat dapat melakukan penyitaan barang bukti dan/atau penggeladahan badan, pakaian atau rumah atau pekerangan atau tempat tertutup lainnya
    7. mendatangkan saksi ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
    8. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari Penyidik bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Penyidik memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;
    9. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
  3. Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan koordinasi dan/atau bekerja sama dengan Penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

Pasal 33

Cukup jelas

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 34

(1) Setiap orang yang merusak dan/atau memisahkan benda cagar budaya baik sebagian maupun seluruhnya dari kesatuan, atau kelompok, atau dari letak asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan Pidana Penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

  • Setiap orang yang mengambil sebagian maupun seluruhnya dari kesatuan, atau kelompok, atau dari letak asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah), dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan (2) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas

Ayat (2)

Cukup jelas

Pasal 35

  1. Setiap orang yang membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia, membawa benda cagar budaya dari satu daerah ke daerah lainnya, dan/atau memperjualbelikan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud Pasal 29 ayat (1) huruf a, huruf b dan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah).
  2. Setiap orang yang dengan sengaja mengubah fungsi pemanfaatan benda cagar budaya tidak bergerak, situs, atau kawasan tanpa izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
  3. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 35

Cukup jelas

Pasal 36

      1. Setiap orang yang menemukan benda cagar budaya atau yang diduga sebagai benda cagar budaya dan/atau lokasi yang diduga situs yang tidak diketahui pemiliknya tidak melaporkan kepada instansi yang berwenang di bidang pelestarian cagar budaya, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau aparat Pemerintahan Daerah terdekat paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak diketemukannya sebagaimana dimaksud Pasal 30 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

      1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 36

Cukup jelas

Pasal 37

  1. Setiap orang yang melakukan pencarian benda cagar budaya dan/atau situs dan/atau kawasan dengan cara penggalian, penyelaman, pengangkatan baik di darat maupun di dalam air tanpa izin sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Pasal 37

Cukup jelas

Pasal 38

(1) Setiap orang yang tidak melaporkan benda cagar budaya dan/atau situs dan atau kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), diancam dengan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 38

Cukup jelas

Pasal 39

  1. Setiap orang yang memanfaatkan benda cagar budaya yang dikuasai negara dengan cara perbanyakan tanpa izin menteri sebagaimana dimaksud Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

  1. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.

Pasal 39

Cukup jelas

Pasal 40

    1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39 yang dilakukan secara korporasi pengenaan pidana dijatuhkan kepada korporasi dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.
    2. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan dicabut izin usahanya.
    3. Pengurus korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan dicabut izin usahanya.

Pasal 40

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan koorporasi adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama melakukan tindak pidana.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 41

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undang yang ada sebagai pelaksanaan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini atau belum diganti dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru sebagai pelaksanaan dari undang-undang ini.

Pasal 41

Cukup jelas

Pasal 42

Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya undang-undang ini setiap kegiatan berkenaan dengan pengelolaan benda cagar budaya, situs, atau kawasan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan berdasarkan undang-undang ini.

Pasal 42

Cukup jelas

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 43

Peraturan pelaksanaan undang-undang ini harus telah ditetapkan paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 43

Cukup jelas

Pasal 44

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 44

Cukup jelas

Pasal 45

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, pemerintah memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Pasal 45

Cukup jelas

Disahkah di : Jakarta

pada tanggal : ........................

Presiden Republik Indonesia

Ttd.

Susilo Bambang Yudhoyono

6

2 comments:

  1. Penjelasannya kok susah dibaca ya, ada yang kepotong.

    ReplyDelete
  2. Penjelasannya kok susah dibaca ya, ada yang kepotong.

    ReplyDelete