c

Saturday, 27 February 2010

MUSEUM GUMUK PASIR

Museum ini diberi nama Museum Gumuk Pasir dengan dasar bahwa kawasan Parangtritis memiliki gumuk pasir tipe Barchan berbentuk bulan sabit yang langka di Asia Tenggara dan merupakan bentukan alam yang unik di daerah iklim tropis. Museum yang terletak di sebelah barat Pantai Parangtritis dan Parangkusumo ini berdiri secara resmi pada tabggal 1 September 2000 dan diresmikan oleh Ir. Sarwono Kusumaatmaja bertepatan dengan Ulang Tahun ke 37 Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada Yogyakarta.

Walaupun demikian, hingga akhir Oktober 2004, museum yang terletak di pantai selatan Yogyakarta ini belum selesai dibangun sehingga mayoritas koleksi masih berada di Fakultas Geografi UGM. Sementara cikal bakal museum sudah dimulai tahun 1992 atas prakarsa Dr. Suratman Worosuprojo, M.Sc, dosen pengajar di fakultas tersebut.

Museum yang berada di tengeh-tengah Gumuk Pasir ini termasuk sesuai dengan namanya banyak mengkoleksi banyak jenis batuan-batuan, mineral, herbarium, Pantai Parangtritis, (Laquer Feel), foto, maket, jenis pasir, karang, binatang laut, dan CD tipologi pantai indonesia. Museum yang termasuk paling muda menjadi anggota Barahmus ini belum banyak memiliki fasilitas yang bisa dimanfaatkan oleh pengunjung kecuali : tempat parkir, toilet, dan tempat rekreasi berupa gumuk dan pantai. Telepon yang dapat diakses adalah (0274) 902332, 902336, dan HP. 08122966075.

MUSEUM RUMAH SAKIT DR. YAP

Museum yang terletak di Jalan Cik Ditiro 5 ini diresmikan tahun 1997 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Saat ini koleksi masih berada di ruang gudang dan belum tertata rapi sehingga belum siap melayani pengunjung umum. koleksi museum sebagian besar berupa peninggalan almarhum Dr. Yap Hong Tjoen dan Dr. Yap Kie Tiong, pendiri Rumah Sakit Mata “Dr. Yap” Yogyakarta.

Sebagian besar koleksi berubungan dengan peralatan kedokteran bagian mata, peralatan rumah tangga, foto, lukisan, buku, benda elektronik yang berjumlah lebih dari 900 buah. Lukisan Dr. Yap Hong Tjoen merupakan koleksi unggulan. Museum ini juga mempunyai koleksi berupa piring sebagai penghargaan dari Kedaulatan Rakyat saat merayakan HUT-nya ke 10 yang diberikan kepada Dr. Yap atas jasanya memberikan nama surat kabar harian berjudul “ Kedaulatan Rakyat”.

Fasilitas yang ada di museum ini antara lain : Rs Mata “Dr. Yap”, mushola, tempat parkir, perpustakaan, kantin, wartel dan toilet. Telepon yang dapat diakses adalah : (0274) 547448, 550380, 562054.

MUSEUM GEMBIROLOKO

Ide pertama kali mendirikan Gembiro Loko (tempat bersenang-senang) muncul pada tahun 1993. Namun karena banyak kendala, baru tahun 1953 Yayasan Kebun Raya dan Gembro Loko yang bertugas merealisasikan Gembiroloko dapat didirikan Pada tahun 1955. Dilakukan peletakan batu pertama oleh Sri Paku Alam VIII. Pembangunan terus berlangsung hingga tahun 1959 sampai dengan 1975, dan Gembiro Loko dinyatakan mandiri.

Museum Gembiro Loko termasuk salah satu museum di Yogyakarta yang koleksinya paling lengkap terdiri dari jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan hidup dan mati. Koleksi tumbuhan tidak kurang dari 60 spesies tanaman langka, seperti miri hutan, kepel, randu alas, keben, siperes dan lain-lain. Sementara spesies hewan yang dimiliki Gembiroloko berjumlah tidak kurang dari 311 jenis, seperti : harimau, kuda nil, jerapah, anoa, gajah, buaya, dll.

Gembiro Loko memiliki banyak fasilitas yang dapat dimanfaatkan oleh pengunjung dan masyarakat umum, seperti unta tunggang, gajah tunggang, perahu mesin, kantin, becak air, kereta mini, mushola, tempat parkir, toilet, informasi, tempat istirahat, wartel, kantin, pusat oleh-oleh, dll. Telepon yang dapat diakses adalah (0274) 373861,374792 dan fax. 384666.

MUSEUM KAYU WANAGAMA

Museum ini berdiri atas ide staf dosen Fakultas Universitas Gajah Mada Prof. Dr. Ir. Hj. Oemi Hani’in Soeseno dan Ir. Etty Suliantoro Sulaiman bersama Perum Perhutani setelah mengikuti Pameran Museum Antropologis di Perancis dan pendirian Jati Centre di Cepu dalam rangka lebih mengekspresikan kayu. Selanjutnya ditindaklanjuti dengan pendirian bangunan museum tahun 1995 di kawasan hutan pendidikan Wanagama. Bahan baku bangunan museum berupa dua buah rumah kayu buatan tahun 1880 sumbangan dari Perum Perhutani yang dirombak menjadi satu bangunan dalam bentuk rumah panggung.

Museum ini diresmikan pada tanggal 8 Agustus 1998 oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Menteri Kehutanan RI. Ir. Muslimin Nasution.

Bangunan Museum Kayu Wanagama berbentuk rumah panggung. Bahan material bangunan dari tanah hingga lantai merupakan konstruksi beton, lantai dan dinding dari bahan kayu, sedang atap dari genteng tanah.

Koleksi museum antara lain : meja lurah dari Jepara, Arca Gupolo dari kayu sengon, meja dan kursi mantan Menteri Kehutanan RI Ir. Sudjarwo, gebyok kayu jati berukir khas Jepara, fosil kayu jati yang berumur ratusan tahun, serta aneka macam barang kerajinan kayu dari berbagai daerah di Indonesia.

Fasilitas yang mendukung museum : warung makan khas Wanagama, Pasar Seni, Agroforestry, berbagai jenis pertamanan percobaan (jati monfori, nangka, perupuk, acacia, dan lain-lain), Camping Ground ( areal perkemahan), kelas 4 ruang, asrama, dan gedung serba guna. Telepon yang bisa diakses adalah (0274) 545639.

MUSEUM RUMAH BUDAYA JAWA TEMBI

Museum diresmikan pada bulan Nopember 1999 bersamaan dengan peluncuran buku Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Museum ini berada di bawah Yayasan Rumah Budaya Tembi yang cikal bakalnya diresmikan pada tahun 1995 dengan nama Lembaga Studi Jawa. Inisiatif munculnya museum ini berasal dari ketua yayasan yang merasa prihatin terhadap generasi muda yang sudah mulai lupa dan tidak peduli terhadap kebudayaan Jawa.

Museum ini memiliki koleksi sebanyak 1.200 buah yang terdiri dari siklus hidup dan peralatan tradisional masyarakat Jawa seperti : pertanian, perikanan, dolanan anak, rumah tangga, senjata, foto, peralatan sirkus hidup, gamelan, wayang, vcd pertunjukan tradisional, buku, majalah, dan naskah.

Museum yang terletak di tengah sawah di Dusun Tembi, Timbulharjo, Sewon, Bantul ini dilengkjapi dengan pendopo, seperangkat gamelan slendro pelog, tempat parkir, galeri, mushola, dan perpustakaan. Museum ini juga menerbitkan majalah “Tembi” dua bulan sekali dan setiap minggu diakses di internet dengan web: www.tembi.org. Telepon yang dapat diakses (0274) 368001 368000.

MUSEUM SENI LUKIS KONTEMPORER INDONESIA (SLKI) NYOMAN GUNARSA

Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia (SLKI) Nyoman Gunarsa dibangun atas prakarsa Nyoman Gunarsa. Pembangunan gedung museum dimulai pada tahun 1987 dan diresmikan pada tanggal 31 Maret oleh KGPAA Paku Alam VIII dan Clare Wolfowitz isteri duta besar Amerika untuk Indonesia.

Bangunan yang semula merupakan tempat tinggal Nyoman Gunarsa ini berdiri di atas tanah seluas 1000 m2 dan terdiri dari dua bangunan bercorak tradisional dengan kombinasi modern.

Koleksi museum berupa lukisan pribadi Nyoman Gunarsa yang dikumpulkan dari berbagai pelukis yang mampu untuk mewakili waktu dari karya lukis itu dibuat koleksi yang terkupul kurang lebih 500 karya lukis.

Perlu diketahui bahwa saat ini Nyoman Gunarsa sedang mengembangkan museumnya di Klungkung Bali. Telpon yang bisa di Akses adalah (0274) 564330.

MUSEUM SONOBUDOYO UNIT II DALEM CONDROKIRANAN

Museum Sonobudoyo Unit II Dalem Condrokiranan Yogyakarta diresmikan pada tanggal 28 Oktober 1998 oleh Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X. Museum ini merupakan perluasan ruang pameran Museum Sonobudoyo yang terletak di jalan Trikora Nomor 6 Yogyakarta.

Perluasan ruang pameran ini menempati lokasi di Kompleks Dalem Condrokiranan yang terletak di Jalan Wijilan Yogyakarta. Semula Dalem Condrokiranan merupakan tempat tinggal Adipati Anom Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mataram yang kemudian bergelar Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III. Selanjutnya “dalem“ atau rumah itu menjadi milik Gusti Pangeran Wijil yang mempunyai putra bernama Kanjeng Raden Tumenggung Wijil yang mewarisi rumah tersebut. KRT Wijil merupakan menantu dari Ng.D.S.D.I.S. Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII dari putri yang bernama Kanjeng Ratu Dewi.

Putri itu menjadi terkenal karena beliau adalah pendiri Gerakan Wanita Utama. Dalem Wijilan kemudian diambil alih oleh Ng.D.DS.D.I.S Kanjeng Sultan Hamengku Buwono VII diganti dengan Dalem Yudonegaran (bekas rumah Bendoro Pangeran Haryo Yudonegoro) selanjutnya Dalem Wijilan diberikan kepada putranya yang bernama Bendoro Pangeran Haryo Joyowinoto. Selanjutnya oleh Bendoro Pangeran Haryo Joyowinoto rumah itu dijual kepada Gusti Kanjeng Condrokirono istri K.P.H Danurejo VIII Patih Yogyakarta yang terakhir, sehingga dikenal dengan sebutan Dalem Condrokiranan.

Penduduk sering juga menyebutnya Dalem Harjokusuman, sesuai dengan nama pemiliknya KRT. Harjokusumo atau Patih Danurejo VIII. Kemudian oleh GKR. Condro Kirono rumah itu dijual kepada bapak Suwondo dan diwariskan kepada putra-putrinya.

Akhirnya rumah itu dibeli oleh pemerintah dan dijadikan museum yang diberi nama Museum Sonobudoyo Unit II Dalem Condrokiranan yang pengelolanya berada di bawah naungan Museum Sonobudoyo Unit I.

Wujud koleksi Museum Sonobudoyo Unit II Dalem Condrokiranan merupakan visualisasi etnografi Daerah Istimewa Yogyakarta. Fasilitas lain yang mendukung Museum diantaranya : gedung pertemuan, musola, tempat parkir. Telepon yang dapat diakses adalah (0274) 373617

MUSEUM LUKIS AFANDI

Museum yang terletak di Jalan Laksda Adisucipto 167 ini memiliki 3 gedung ruang pameran. Pada tahun 1962 Affandi membangun gedung ruang pameran pertama untuk memamerkan karya-karyanya. Pada tahun 1974 diresmikan oleh Dirjen Kebudayaan Prof. Ida Bagus Mantra. Ruang pameran kedua dibangun atas bantuan pemerintah tahun 1987 dan diresmikan tanggal 9 juni 1988 oleh Mendikbud Prof Fuad Hasan. Sementara pameran yang ke tiga dibangun oleh Yayasan Affandi tahun 1997 dan diresmikan tanggal 18 Mei 2000 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X. Konsep dan Desain bangunan yang menyerupai lembaran daun pisang dibuat sendiri oleh Affandi yang terinspirasi dari pengalaman masa kecilnya.

Affandi yang mendapat julukan “Pelukis Maestro” tingkat dunia mempunyai koleksi sebagian besar berupa lukisan kertas, cat air, pastel, dan cat minyak sejumlah sekitar 300 (tiga ratus) buah. Affandi juga mengkoleksi lukisan karya teman-teman seprofesinya seperti: lukisan Sudjoyono, Hendra Gunawan, Barli, Muchtar Apin, Popo Iskandar, dan lain-lain. Koleksi lain museum Affandi adalah mobil sedan Mitsubisi Gallant tahun 1975, sepeda Reliegh tahun 1975, lukisan keluarga milik Maryati, Kartika, Rukmini, Juki Affandi, dan sebagainya.

Museum Affandi memiliki beberapa fasilitas antara lain : galeri, sanggar, kolam renang, kafe, perpustakaan, toko souvenir, tempat parkir, dan toilet. Telepon yang dapat diakses (0274) 562593.

MUSEUM PURO PAKU ALAMAN

Atas persetujuan Sri Paku Alam ke VIII, museum yang ada di bawah naungan Bebadan Museum Puro Paku Alaman ini, pada tahun 1981 mulai berbenah diri setelah pemerintah melalui Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Daerah istimewa Yogyakarta memberikan bantuan tenaga konsultan dengan maksud agar museum dapat melaksanakan Inventarisasi dan Katalogisasi benda-benda budaya milik istana Puro Paku Alam yang telah terkumpul di museum.

Museum Puro Paku Alam merupakan museum bercorak khusus yang hanya menggambarkan budaya dan sistem pemerintahan Praja Paku Alaman .

Museum Puro Paku Alaman menempati tiga ruangan di dalam kompleks Puro Paku Alaman di bagian sayap muka sebelah timur. Untuk menuju museum melewati pintu gerbang yang disebut Regol Wiwara Kusuma. Pada bagian atasnya berhiaskan lambang mahkota Praja Paku Alaman, lunglungan tanaman dan angka tahun pembuatannya tanggal 7 Agustus 1884 pada pemerintahan Sri Paku Alam ke V. Di bawah tanggal terdapat tulisan huruf jawa : Wiwara Kusuma Winayang Reka, sebuah semboyan yang berarti Pengayom Keadilan dan Kebijaksanaan.

Koleksi museum Puro Paku Alaman terdiri dari benda-benda bersejarah berupa peralatan perang, peralatan upacara, peralatan masak, kereta-kereta yang pernah digunakan oleh penguasa Puro Paku Alaman, dan naskah-naskah kuno yang ditata di dalam 3 (tiga) ruang pameran tetap. Telepon yang dapat diakses adalah (0274) 562161.

MUSEUM MONUMEN P. DIPONEGORO SASANA WIRATAMA

Museum yang mempunyai nama lengkap Museum Monumen Pangeran Diponegoro Sasana Wiratama dan bergabung di BARAHMUS sejak tahun 1971, ini terletak di JL. HOS. Cokroaminoto TR. III/430 Tegalrejo. Ide pembangunan museum diprakarsai oleh Mayjen TNI Surono. Pada tanggal 9 Agustus 1969 museum diresmikan oleh presiden Soeharto, sekaligus sebagai monumen untuk memperinati kepahlawanan Pangeran Diponegoro atas jasanya melawan penjajahan Belanda di tanah Jawa. Lahan tempat museum ini dibangun asli peninggalan Pangeran Diponegoro di abad XIX.

Museum ini memiliki koleksi sejumlah 195 buah termasuk beberapa peninggalan artefak yang berada diluar gedung seperti tempat wudlu, comboran (tempat minum kuda), dinding berlubang (tembok jebol), dan yoni. Sebagian besar koleksi berupa peralatan perang di masa pra kemerdekaan, seperti : keris, tombak, pedang, cincin, subang, timang bedhil, tameng, bandhil, perlengkapan kuda, dan panah.

Koleksi unggulan dari museum ini adalah tembok jebol yang diyakini sebagai jalan meloloskan diri Pangeran Diponegoro dari kepungan Belanda.

Beberapa fasilitas yang dapat dipakai oleh pengunjung dan masyarakat umum, seperti : penginapan, pendopo, tempat parkir, gamelan laras Slendro & Pelog, serta toilet. Telpon yang bisa diakses adalah (0274) 622668.

MUSEUM DEWANTARA KIRTIGRIYA

Museum Dewantara Kirti Griya yang terletak di Jalan Taman Siswa 31 Yogyakarta ini diresmikan tanggal 2 Mei 1970. Pendirian museum ini atas permintaan Ki Hajar Dewantara yang dilontarkan dalam rapat pamong Tamansiswa tahun 1938 yang menginginkan tempat tinggalnya dijadikan museum untuk dikenang oleh generasi muda secara berkesinambungan.

Museum ini banyak mengkoleksi benda peninggalan Ki Hajar Dewantara. Koleksi keseluruhan sekitar 3.000. buah yang meliputi : Perabot rumah tangga, naskah, foto, koran, buku, majalah, dan surat-surat. Koleksi termuda berupa naskah syair tahun 2003 karya Koh Hwat seorang keturunan Tionghoa.

Museum ini dilengkapi dengan fasilitas antara lain pendopo, auditorium, perpustakaan, tempat parkir, toilet, dan musolla. Telepon yang bisa diakses adalah (0274) 377459 dan 377120.

MUSEUM NEGERI SONOBUDOYO

Museum Negeri Sonobudoyo terletak di Jalan Trikora No. 6 Yogyakarta berseberangan dengan Alun-alun Utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Cikal-bakal berdirinya museum ini adalah Java Institut, yaitu sebuah yayasan yang bergerak dalam bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok yang didirikan di Surakarta pada tahun 1919 dengan tugas pokok kegiatannya membantu kegiatan pelestarian dan pengembangan kebudayaan pribumi (de insheemsche cultuur ) yang mencakup wilayah Jawa, Madura, Bali dan Lombok.

Tanah untuk bangunan museum merupakan hadiah dari Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dan dimulai dengan pembangunan pendapa kecil dengan candra sengkala “Buta Ngrasa Esthining Lata” yang bermakna tahun 1865 Jawa atau tahun 1934 Masahi. Peresmian museum ini dilakukan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII pada tanggal 6 Nopember 1935 dengan candra sengkala “ Kayu Winayang ing Brahmana Budha ” yaitu angka tahun 1866 Jawa atau tahun 1935 Masehi.

Bangunan gedung museum direncanakan oleh Ir. Th. Karsten serta pengawas dan penasehat Ir.L.J. Moens di atas tanah seluas 7.867 m2.

Koleksi museum berjumlah kurang lebih 43.263 buah, dan diklasifikasikan dam 10 jenis koleksi, yaitu : Koleksi Geologika, Koleksi Biologika, Koleksi Etnografika, Koleksi Arkeologika, Koleksi Historika, Koleksi Numesmatika / Heraldika, Koleksi Filologika, Koleksi Keramikologika, Koleksi Seni Rupa, dan Koleksi Teknologika.
Fasilitas yang mendukung antara lain : perpustakaan, gedung pertemuan, mushola, pagelaran wayang kulit durasi singkat setiap malam, tempat parkir kendaran, dan toilet. Telpon yang dapat diakses adalah (0274) 3885664 dan Fax : (0274) 385664.

Saturday, 6 February 2010

DARI KABANARAN KE KARATON YOGYAKARTA

Oleh : YUWONO SRI SUWITO

Mung wanine padha bangsa, den rewangi taker pati, jamak wong ngaku prawira, kaya Sultan Mangkubumi, nyata lamun undhagi, awewika gothak - gathuk , micara tan sikara, prasaja nalare mintir, lamun aprang padha bangsa datan karsa.

Tembang di atas adalah salah satu bait tembang Sinom dari Serat Wicara Keras karangan pujangga Yasadipura II yang menggambarkan sosok Pangeran Mangkubumi dengan segala kepribadian dan keahliannya. Sebagai seorang panglima perang yang tidak mau berperang dengan sesama bangsa, pribadi yang halus tetapi tegas namun tidak menyakiti, sebagai seorang arsitek ulung yang dibuktikan dengan dibangunnya kraton Yogyakarta dengan beliau sendiri sebagai arsiteknya. Dr. F. Pigeaud dan Dr. L. Adam di majalah Jawa tahun 1940 mengatakan bahwa B.P.H Mangkubumi adalah "de bouwmeester van zijn broer Sunan PB II" (arsitek dari kakanda Sunan Paku Buwana II).

B.P.H (Bandara Pangeran Harya) Mangkubumi dan di banyak tulisan lebih terkenal dengan sebutan P. Mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) adalah putera Sunan Amangkurat IV (Sunan Amangkurat Jawi) dari garwa ampil B.M.A (Bandara Mas Ayu) Tejawati. B.P.H Mangkubumi lahir pada malam Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M. dengan nama kecil B.R.M Sudjana. Beliau mempunyai dua saudara kandung yang semuanya wanita. Kakak beliau menjadi isteri Patih Pringgalaya (warangka dalem Sunan Paku Buwana II dan Sunan Paku Buwono III), sedang adik beliau diperisteri oleh Demang Urawan.

B.P.H Mangkubumi sangat disayang oleh kakandanya Sunan Paku Buwana II karena keshalehan, kecerdasan, kearifan dan keahliannya baik di bidang kepemimpinan, kaprajan, kaprajuritan maupun di bidang bangunan. Hal inilah yang menjadi irihati kakak iparnya sendiri yakni patih Pringgalaya. Puncak dari irihati dan kelicikan patih Pringgalaya ini terjadi pada waktu B.P.H Mangkubumi dapat meredam pemberontakan R.M Said dan T. Martapura sehingga B.P.H Mangkubumi mendapat hadiah dari Sunan Paku Buwana II tanah 3000 cacah (rumahtangga = household) di daerah Sukawati. Patih Pringgalaya tidak setuju dengan pemberian hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati tersebut, karena menurut patih Pringgalaya pemberian hadiah tersebut akan membuat irihati bangsawan lain dan membahayakan kedudukan Sunan Paku Buwana II, dan lagi pula R.M Said dan T. Martapura belum tertangkap. Dengan tipu muslihatnya patih Pringgalaya menyampaikan bahwa apabila Sunan Paku Buwana II jadi memberikan hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati kepada B.P.H Mangkubumi, maka patih Pringgalaya dan para Bupati Nayaka akan mengundurkan diri bersama-sama, sehingga Sunan Paku Buwana II tinggal pilih seorang B.P.H Mangkubumi atau punggawa yang banyak. Usaha patih Pringgalaya untuk menggagalkan hadiah tanah 3000 cacah ini tidak hanya disampaikan kepada Sunan Paku Buwana II, tetapi juga disampaikan kepada Gubernur Jenderal Baron van Imhoff untuk minta dukungannya.

Kedatangan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff di Karaton Surakarta untuk mengurus pelebaran tanah yang akan dikuasai VOC lebih luas dari perjanjian tahun 1743 (Perjanjian Panaraga), yakni Sunan Paku Buwana harus menyerahkan tanah pesisir kepada VOC. Dengan tekanan yang kuat akhirnya Sunan Paku Buwono II menyerahkan daerah pesisir yang diminta oleh VOC dengan menandatangani perjanjian pada tanggal 18 Mei 1746. Dengan penyerahan daerah pesisir kepada VOC inilah yang menyebabkan B.P.H Mangkubumi kecewa. Puncak kekecewaan dan kemarahan B.P.H Mangkubumi adalah dibatalkannya hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati oleh Sunan Paku Buwana II atas permintaan GG van Imhoff yang telah mendapat hasutan dari patih Pringgalaya, ditambah dengan tersinggungnya perasaan B.P.H Mangkubumi atas ucapan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff agar B.P.H Mangkubumi jangan ambisius minta hadiah tanah Sukawati dan agar jangan jadi orang serakah. Maka pada tanggal 19 Mei 1746 B.P.H Mangkubumi beserta keluarga dan pengikut setianya meninggalkan Keraton Surakarta menuju Sukawati dan mesanggrah di dusun Pandhak Karangnangka. Pada hari itulah sesungguhnya mulainya perjuangan dan perlawanan B.P.H Mangkubumi terhadap Kumpeni yang dibantu oleh Sunan Paku Buwana II dan kemudian dilanjutkan oleh Sunan Paku Buwana III. Keputusan B.P.H Mangkubumi untuk berperang ini disebabkan akumulasi kekecewaan beliau yang disebabkan karena :

a. Dicabutnya hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati yang telah diberikan kepada B.P.H Mangkubumi, berarti Sunan Paku Buwana II mengingkari janjinya sebagai raja yang seharusnya memegang teguh "Sabda Pandhita pangandika Ratu, sepisan datan kena wola-wali" yang juga mengingkari watak "berbudi bawa leksana" (satunya kata dengan perbuatan).

b. Sunan Paku Buwana II lebih percaya pada patih Pringgalaya dan T. Sindureja daripada dirinya, sehingga melepaskan pesisir Jawa kepada VOC hanya dengan kompensasi dua leksa. Padahal B.P.H Mangkubumi menyarankan minta ganti sakethi karena tanah pesisir sebagai kekuatan Karaton Surakarta. Apabila VOC tidak mau mengganti sakethi, maka tanah pesisir tersebut harus dipertahankan.

c. B.P.H Mangkubumi sangat tersinggung dengan ucapan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang menuduh B.P.H Mangkubumi sebagai orang yang ambisius dan serakah.
Dari sumber lain (Babad Giyanti) menyatakan bahwa Komandan Belanda von Hohendorff mengusulkan kepada Sunan Paku Buwana II untuk mengurangi hadiah kepada B.P.H Mangkubumi dari 3000 cacah menjadi 1000 cacah saja. Disamping itu dalam babad Giyanti juga disebutkan bahwa kepergian B.P.H Mangkubumi dari Surakarta mendapat restu Sunan Paku Buwana II , bahkan B.P.H Mangkubumi diberi tombak pusaka Kanjeng Kyai Ageng Plered sebagai sipat kandel. Hampir sama dengan Babad Giyanti di dalam buku Ngayogyakarta Pagelaran, karya Raden Ngabehi Kartahasmara, abdi Dalem Mantri Miji Kepatihan juga menyebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata bukan atas perintah Sunan Paku Buwana II, dan bukan pula untuk memberontak melawan raja sesembahannya sekaligus saudara tua yang sangat dihormati dan dicintainya, tetapi lebih sebagai mempertahankan hak dan kewajibannya serta dengan tujuan suci untuk membatalkan Kontrak Panaraga (1743) demi lestarinya kerajaan di Jawa. Disamping Sunan Paku Buwana II memberi restu kepada Pangeran Mangkubumi dengan memberi pusaka tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered, Sunan Paku Buwono II juga berpesan, berhubung beliau terikat perjanjian dengan VOC bahwa apabila ada pemberontakan, Sunan Paku Buwono II harus membantu Belanda, maka secara lahiriah prajurit Kasunanan Surakarta akan ikut memerangi Pangeran Mangkubumi. Tetapi tindakan tersebut hanya pura-pura, karena secara diam-diam Sunan PB II tetap akan membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi.Hal ini terbukti pada saat Panglima Besar Prajurit Kasunanan Surakarta Tumenggung Arung Binang berpura-pura menyerang pesanggrahan P. Mangkubumi, tetapi setelah berhadapan Tumenggung Arung Binang lantas melemparkan kendhang yang ternyata berisi mas picis raja brana bantunan Sunan PB II untuk biaya perang. Setelah itu prajurit masing-masing pihak segera memisahkan diri kembali ke tempat masing-masing. Perang ini terkenal dengan sebutan Perang Kendhang . Sebaliknya untuk mengimbangi kasih sayang Sunan PB II tersebut, Pangeran Mangkubumi meskipun mendapat desakan dari rakyat dan pendukungnya untuk diangkat menjadi raja, beliau selalu menolak karena masih menghormati eksistensi Sunan Paku Buwonpo II sebagai raja di Surakarta. Di dalam perkembangan selanjutnya Sunan Paku Buwana II menderita sakit keras, di sisi lain Pangeran Harya Mangkunegara (kemenakan P. Mangkubumi) mendesak pamannya agar bersedia diangkat sebagai raja. Menghadapi situasi seperti itu akhirnya P. Mangkubumi menyanggupi penobatan dirinya sebagai raja. Maka pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura, tahun Alip 1675 dengan candra sangkala Marganing Swara Retuning Bumi atau tanggal 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja oleh rakyat pendukungnya dengan gelar Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.. Dari sumber lain menyebutkan bahwa gelar P. Mangkubumi setelah menjadi raja adalah Susuhunan ing Mataram Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah ing Nuswa Jawa, dan Pangeran Harya Mangkunagara diangkat sebagai patihnya. Penobatan P. Mangkubumi sebagai raja ini bukan karena beliau mengangkat dirinya sendiri sebagai raja, dan bukan pula beliau menggantikan raja pendahulunya yang meninggal dunia, akan tetapi diangkat oleh rakyat pendukungnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pangeran Mangkubumi seorang Demokrat sejati. Adapun tempat penobatan P. Mangkubumi sebagai raja tersebut ada beberapa versi. Versi pertama P. Mangkubumi diangkat sebagai raja di desa Kabanaran sehingga beliau terkenanl dengan sebutan Sunan Kabanaran. Versi yang kedua menyebutkan bahwa P. Mangkubumi diangkat sebagai raja di Mataram , karena setelah bupati Mataram T. Jayawinata menyerah dan diganti namanya menjadi T. Jayaningrat, P. Mangkubumi kemudian mendirikan pesanggrahan di Mataram. Versi yang lain menurut M.C. Ricklefs dalam bukunya "Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749 - 1792" yang juga merujuk pada sumber - sumber Jawa, sebutan Sunan Kabanaran karena menurut tempat kediamannya P. Mangkubumi.
Pada hari yang sama 11 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II yang sudah sakit parah menandatangani dan menyegel akta penyerahan yang didalamnya berisi penyerahan seluruh Kerajaan Mataram kepada Belanda yang diwakili oleh Gubernur pantai Timur Laut , bekas Komandan Garnisun Surakarta J.A. Baron von Hohendorff.

Pada tanggal 15 Desember 1749 , Putra Mahkota Kasunanan Surakarta dinobatkan sebagai raja baru Kasunanan Surakarta oleh von Hohendorff dengan sebutan Susuhunan Paku Buwana III. Di dalam Babad Giyanti disebutkan secara ringkas bahwa Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia menobatkan Susuhunan yang baru di Surakarta. Putra Mahkota mengakui bahwa dia menjadi raja bukan akibat hak keturunan, melainkan karena Kompeni Hindia Timur Belanda memilih dia untuk jabatan itu. Menuruti anjuran Gubernur, Susuhunan baru itu dan para pejabat keraton kemudian memberi penghormatan terakhir kepada Paku Buwana II yang sudah sangat payah, yang akhirnya wafat pada tanggal 20 Desember 1749 dan dimakamkan di Laweyan, Surakarta.

Apabila di Surakarta berlangsung penobatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwana III, di lain pihak peperangan prajurit Kabanaran atau prajurit Mangkubumen berlangsung sengit. melawan tentara Belanda. Prajurit Mangkubumen semakin bertambah dengan banyaknya bupati mancanagara yang bergabung , tercatat tokoh-tokoh seperti Raden Rangga Prawirasentika, Tumenggung Yudanagara, Tumenggung Alap-alap dan lain sebagainya yang menjadi momok bagi prajurit Belanda. Sampai timbul semacam pemeo bahwa siapa yang unggul dalam peperangan Ungaran yang terkenal dengan ontran-ontran beteng Ungaran, maka merekalah yang unggul dalam perang Mangkubumen ini. Dan kenyataan terjadi, benteng Ungaran dapat dibedah Pangeran Mangkubumi beserta prajuritnya, bahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luika parah dan dilain waktu akhirnya meninggal.

Peperangan lain yang tiak kalah serunya terjadi di desa Jenar (menurut sumber Belanda di Bagawanta). Tentara Belanda di bawah komando Mayor Clereq berhadapan dengan prajurit Mangkubumen. Dalam peperangan sengit ini sampai menjelang malam sehingga harus terthenti, Banyak korban dikua belah pihak. Pihak Belanda yang tewas Mayor Repot, Katen Hoetje dan prajurit Mangkubumen yang gugur T. Mangunnagara. Kedua belah pihak juga banyak menawan musuh termasuk para wanita. Hal inilah yang mnyebabkan prihatinnya P. Mangkubumi, sehingga pada keesokan harinya sebelum melanjutkan peperangan beliau mengumpulkan para saudara dan punggawa dan prajurit untuk membicarakan strategi perang dan membebaskan prajurit yang tertawan termasuk para wanita. Setelah semua lengkap, kemudian P. Mangkubumi berkata : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta para Pangeran, saya mendengar berita bahwa perang kemarin para parepot banyak yang tertawan musuh. Jika demikian bagaimana usaha kita agar dapat merebut mereka kembali ?".

B.P.H Hadiwijaya menjawab : Adinda, kakanda dan para pangeran hanya menurut apa yang menjadi kehendak adinda".
P. Mangkubumi kemudian menanyakan kepada para abdi dalem semua : "Abdiku semua, bagaimana saran kalian semua tentang para parepot yang tertawan musuh tadi ? Apabila tidak bisa direbut pada perang hari ini juga, saya merasa sangat nistha, sebab wanita itu titah yang harus diluhurkan !:.
Semua yang hadir setelah mendengar sabda P. Mangkubumi tersebut sangat takut. Akan membantah tidak berani , kalau menyanggupi merasa tidak mampu. Akhirnya mereka berkata bersama : "Gusti junjungan kami, apabila ada perintah dari Gusti, hamba semua tinggal melaksanakan"
Setelah P. Mangkubumi mendapat jawaban semua yang hadir seperti itu kemudian bicara dalam hati : "Apa jadinya nanti apabila semua hanya menurut apa yang menjadi kehendak saya. Jika demikian apabila saya belum bisa menyatukan (njumbuhake) Kawula dan Gusti, serta tetap mantap apa yang menjadi kehendak saya, pasti tidak akan terlaksana".
Akhirnya P. Mangkubumi bersabda : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semua saja yang hadir, hantarkan saya untuk merebut para parepot, yaitu saudara saya dan juga saudara dari semua yang hadir disini. Jika nanti saya belum gugur di medan perang, semua jangan sampai ikut-ikut!".
Setelah semua yang hadir mendengar sabda Kanjeng Susuhunan (P. Mangkubumi) seperti itu lantas tergugah semangatnya, kemudian semua berkata : " Sebelum kami semua gugur, jangan sampai paduka Kanjeng Susuhunan bertindak sendiri untuk merebut parepot !".
Berkata demikian bersamaan mereka menarik semua keris mereka dari warangkanya seraya berkata : :O, junjungan kami, apakah kami sudah diijinkan berangkat sekarang , sebab apabila kelamaan tidak akan baik akibatnya:.
P. Mangkubumi menjawab : " Sabar dulu Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semuanya, sarungkan dulu kerisnya!".
Setelah semua menyarungkan kerisnya, P. Mangkubumi bersabda : "Kanda B.P.H Hadiwijaya, apabila nanti ada salah satu pangeran atau para punggawa yang kembali karena takut terhadap musuh, jangan sampai tanya dosanya, pasti akan saya bunuh sendiri!".
Semua yang hadir menjawah serentak : "Silahkan Gusti".
P. Mangkubumi kemudian memerintahkan membuat gelar perang Garudha Nglayang (Dalam sumber lain menyebut gelar perang yang dipakai adalah Supit Urang).
Pasukan Mangkubumen bertemu dengan pasukan pimpinan Mayor Clereq. Peperangan serupun terjadi. Lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan pasukan, sebab banyak yang tewas maupun terluka, atau lari meninggalkan senapatinya. Setelah Mayor Clereq hanya tinggal sendiri, abdi dalem Mantrijero bernama Wiradigda menombak, tetapi sayang hanya kena pundak yang dilapis baju besi. Mayor Clereq setelah pedangnya jatuh, segera menarik pistol, namun bersamaan dengan prajurit Mantrijero bernama Prawirarana menusuk leher Mayor Clereq. Mayor Clereq jatuh terlentang, diinjak oleh Prawirarana kemudian disembelih. Dengan gugurnya Mayor Clereq semua pasukannya lari tunggang langgang.

Peristiwa gugurnya Mayor Clereq ini terjadi pada hari Minggu Legi, 22 Sura tahun Jimawal 1677 J atau tanggal 12 Desember 1751 M. Adapun abdidalem Prawirarana yang berhasil membunuh Mayor Clereq oleh P. Mangkubumi dinaikkan pangkatnya menjadi bupati dengan nama T. Kartanadi (nantinya menjadi Bupati Grobogan dengan nama T. Sasranagara). Sedangkan tombak yang digunakan untuk membunuh Mayor Clereq nantinya dijadikan tombak pusaka kraton dengan nama Kanjeng Kyai Clereq.
Selanjutnya pasukan Mangkubumen menyerang Pekalongan pada hari Sabtu Pon tanggal 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J atau 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan P. Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Terate dan Ujung Pandang. Para prajurit inilah yang nanti menjadi Korps Prajurit Kraton Yogyakarta.

Demikianlah peperangan demi peperangan terus berlangsung yang membawa banyak korban di kedua belah pihak. Di pihak Belanda tercatat nama Letnan Koen yang tewas dalam perang di Gawong, Dalam pertempuran di Juwana Residen Van Goens tewas, Letnan Van Gier tewas dalam perang di Grobogan, Letnan Foster tewas di pertempuran Gunung Tidar, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luka parah pada ontran-ontran beteng Ungaran yang akhirnya juga tewas, Mayor Clereq dan Kapten Winter tewas dalam peperangan di Jenar (Bagawanta), dan prajurit Belanda yang tewas 3801 prajurit.
Melihat kenyataan ini, kemudian Belanda menggunakan politik de vide et impera (politik memecah belah). Melalui T. Sujanapura, Baron von Hohendorff berhasil menghasut R.M Said (P.H. Mangkunagara), dengan kemungkinan R.M. Said akan disingkirkan setelah P. Mangkubumi menang, sehingga menimbulkan rasa curiga R.M kepada P. Mangkubumi, paman sekaligus ayah mertua R.M. Said sendiri. R.M. Said terkena hasutan dan memisahkan diri dari pasukan Mangkubumen dan bergabung dengan pasukan Baron von Hohendorff memusuhi P. Mangkubumi. Dengan pisahnya R.M. Said dengan pengikutnya, maka kekuatan pasukan P. Mangkubumi tinggal 60 %. P. Mangkubumi yang sudah hampir mencapai kemenangan atas VOC, kini harus menghadapi VOC yang didukung pasukan dari Kasunanan Surakarta dan R. M Said (P.H. Mangkunagara)
Melihat peperangan yang tidak menguntungkan Belanda, maka Gubernur Jenderal Yacob Moesel meminta diadakan perdamaian dengan P. Mangkubumi melalui Sarib Besar Syekh Ibrahim dari Turki sebagai juru bahasa dan juru runding dari pihak Belanda bersama Nicolaas Hartingh.

Maka ketika VOC menyatakan ingin damai, dengan terpaksa Pangeran Mangkubumi harus menatap kenyataan bahwa belum saatnya VOC hengkang dari tanah Jawa dan beliau menerima tawaran perdamaian tersebut.

Sebelum perjanjian perdamaian dilaksanakan, diadakan pertemuan pendahuluan antara Nicolaas Hartingh dengan P. Mangkubumi bertempat di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi di desa Padhagangan, Grobogan. Dalam pertemuan tersebut terjadi pembicaraan dan perdebatan yang sangat alot antara P. Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh , sehingga sampai memakan waktu dua hari yaitu hari Minggu s/d Senin tanggal 22 s/d 23 September 1754. Perdebatan sengit tersebut meliputi tiga hal yaitu tentang pembagian wilayah, gelar raja dan lokasi bagian Pangeran Mangkubumi.
Tentang pembagian wilayah semula Belanda mengajukan separuh Jawa sebelah timur sebagai bagian Pangeran Mangkubumi karena toh basis pertahanan Pangeran Mangkubumi di bagian Timur, dan lokasi ibukota kerajaan bagian Pangeran Mangkubumi dikehendaki Belanda di Surabaya. Saran yang diajukan Belanda tersebut adalah saran yang dicari-cari, karena penyebab yang sebenarnya, orang-orang Jawa Timur sangat sulit diperintah oleh Belanda

Tentang pembagian wilayah dan lokasi ibukota kerajaan ini Pangeran Mangkubumi bersikukuh di wilayah Barat dengan ibukotanya Mataram Ngayogyakarta. Agaknya Pangeran Mangkubumi telah mengetahui gelagat Belanda dengan politik devide et empera nya. Jika letak keraton sebagai ibukota kerajaan pilihan P. Mangkubumi terlalu dekat dengan kraton Surakarta, Belanda sangat khawatir apabila dua raja tersebut bersatu untuk melawan Belanda, maka pihak Belanda akan sangat kerepotan.. Kegigihan Pangeran Mangkubumi dalam memilih lokasi kraton di Ngayogyakarta ini didasari pertimbangan yang sangat khusus yang tidak lepas dari nilai filosofis – magis berkaitan dengan lokasi dan topografi calon ibukota kerajaan Pangeran Mangkubumi tersebut. Dalam hal penentuan lokasi kraton sebagai puat pemerintahan ini Belanda terpaksa mengalah, namun untuk sebutan raja, Pangeran Mangkubumi juga mau mengalah dengan sebutan Sultan bukan Sunan karena jangan sampai sama dengan sebutan raja di Surakarta sehingga seolah – olah ada matahari kembar.

. Kemudian Perjanjian Perdamaian (Traktat reconciliatie) disetujui dan ditandatangani di desa Giyanti pada hari Kamis Kliwon, tanggal 29 Rabiulakhir, Be 1680 tahun Jawa, wuku Langkir atau tanggal 13 Februari 1755 yang lebih terkenal dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari. Sebulan kemudian pada hari Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan bahwa separo dari Negara Mataram yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini (khususnya tanggal , bulan dan tahun Jawa) dinyatakan sebagai Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram - Ngayogyakarta.

Pada hari Kamis Pon tanggal 3 Sura,Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 M Sri Sultan Hamengku Buwono I mesanggrah di Ambar Ketawang dan memerintahkan untuk membangun Karaton Ngayogyakarta di desa Pacethokan dalam hutan Beringan.

Setahun kemudian, tepatnya pada hari Kamis Pahing tanggal 13 Sura, Jimakir 1682 tahun Jawa, wuku Julungwangi atau tanggal 7 Oktober 1756 M, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarganya memasuki Karaton Ngayogyakarta yang baru dan untuk sementara menempati gedhong Sedhahan.

Perpindahan Sultan Hamengku Buwono I dan keluarganya dari Ambar Ketawang ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat inilah yang saat ini diyakini sebagai hari jadi Kota Yogyakarta yakni tanggal 7 Oktober 1756 M. atau 13 Sura 1682 J. yang ditandai dengan candrasangkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal ( 1682 J ) yang diukirkan di atas banon renteng kelir baturana kagungan dalem regol Kemagangan dan regol Gadhung Mlathi.


Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

Mengapa Pangeran Mangkubumi memilih Yogyakarta sebagai ibukota negara, karena Pangeran Mangkubumi disamping sebagai seorang yang ahli dibidang strategi perang, tetapi juga seorang arsitek yang sangat memegang teguh nilai historis maupun filosofis yang sangat dipercaya akan berpengaruh terhadap sikap perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya. Pada saat Kanjeng Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi ) memerintah di Mataram – Kartasura beliau mendapat wisik bahwa wahyu karaton jatuh di hutan Beringan. Maka Sunan Amangkurat Jawi yang juga ayahanda Pangeran Mangkubumi bermaksud untuk memindahkan kraton ke lokasi tersebut dan mulai membangun benteng dan calon kraton yang telah diberi nama Garjitawati.. Namun niat beliau belum terlaksana Sunan Amangkurat Jawi keburu wafat. Sebagai penggantinya adalah putra mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II yang juga kakak Pangeran Mangkubumi lain ibu. Pada saat pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II nama Garjitawati diubah menjadi Ngayogyakarta yang di dalam bahasa Sanskerta berati telah selesai dikerjakan/dibangun dengan baik. Arti yang lain dari Ngayogyakarta berasal dari kata Yogya yang berarti baik dan karta berarti rahayu, tulus dan indah. Maka Ngayogyakarta berarti baik dan rahayu atau baik dan indah. Makna yang lebih dalam lagi adalah orang yang berdiam di Ngayogyakarta adalah orang yang berakhlak baik dan berhati tulus. Pada saat itu pesanggrahan di Ngayogyakarta dianggap suci karena difungsikan untuk pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri. Pertimbangan lain yang mendasar bagi Pangeran Mangkubumi memilih lokasi tersebut sebagai ibu kota negara adalah berkaitan dengan nilai filosofis magis. Dari sisi topografi letak Ngayogyakarta terletak diantara enam sungai yang mengapit secara simetris yaitu sungai Code dan Winanga di ring pertama, sungai Gajahwong dan kali Bedog di ring kedua , serta sungai Opak dan sungai Progo di ring ketiga.

Sebelah utara ada gunung Merapi yang masih aktif dan sebelah selatan ada laut Selatan. Penentuan lokasi oleh Pangeran Mangkubumi ini dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh orang – orang Hindu. Menurut kitab-kitab suci agama Hindu untuk lokasi bangunan suci yang berupa candi dipilih tempat yang berbeda dengan alam sekitarnya karena menampakkan kekuasaan dewa atau keajaiban lainnya. Puncak gunung dan lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik, dataran tinggi yang menjulang di atas tepi lembah, tepian sungai atau danau, tempat bertemunya dua sungai, adalah diantaranya daerah yang baik untuk lokasi bangunan suci (Soekmono,1991). Apabila kita telusuri aliran sungai Progo dan Elo merupakan padanannya sungai Gangga dan Jamuna di India dan tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan suci kota Bodh Gaya dan stupa Bharhut kalau di indonesia candi Borobudur, begitu pula Ngayogyakarta yang diapit oleh dua sunagi besar di ring paling luar, sungai Opak dan sungai Progo serta sungai Code dan Winongo di ring yang paling dalam. Puncak gunung menurut mitologi Hindu merupakan tempat bersemayamnya para dewa yang di Yogyakarta diwakili Gunung Merapi. Dengan setting lokasi seperti inilah Pangeran Mangkubumi menciptakan poros (sumbu) imajiner Gunung Merapi – Tugu Pal Putih -- Kraton – Pranggung Krapyak -- Laut Selatan.

Gunung sebagai ketenangan tempat suci, dataran pemukiman sebagai tempat aktifitas kehidupan manusia dan laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke laut. Penciptaan poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu – Tengah – Hilir serta nilai Utama – Madya – Nistha ). Secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) , manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (either). Demikian juga konsep Tri Hita Karana , tiga unsur yang menjadikan kehidupan (phisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu imaginer tersebut. Tugu Golong Gilig / Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu golong gilig bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) dan berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih. Tugu Golong Gilig ini melambangkan keberadaan Sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya yang dilandasi menyembah secara tulus kepada Tuhan Yang maha Esa dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong – gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih). Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama Sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara.
Filosofi dari Panggung Krapyak ke utara merupakan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (Brontodiningrat 1978). Visualisasi dari filosofi ini diujudkan dengan keberadaan kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak yang melambangkan benih manusia, pohon asem (Tamarindus indica) dengan daun yang masih muda bernama sinom melambangkan gadis yang masih anom (muda) selalu nengsemaken (menarik hati) maka selalu disanjung yang divisualisasikan dengan pohon tanjung (Mimusops elengi). Di alun – alun selatan menggambarkan manusia telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akhil baligh, yang dilambangkan dengan pohon kweni (Mangifera odoranta) dan pohon pakel. Masa muda yang mempunyai jangkauan jauh ke depan divisualisasikan dengan dengan pagar ringin kurung alun-alun selatan yang seperti busur panah. Masa depan dan jangkauan para kaum muda dilambangkan seperti panah yang dilepas dari busurnya. Sampai di Sitihinggil selatan pohon yang ditanam adalah pelem cempora (Mangifera indica) yang berbunga putih dan pohon Soka (Ixora coccinea) yang berbunga merah yang menggambarkan bercampurnya benih laki-laki (dilambangkan warna putih) dan benih perempuan (dilambangkan warna merah). Di halaman Kamandhungan menggambarkan benih dalam kandungan dengan vegetasi pohon pelem (Mangifera indica) yang bermakna gelem (kemauan bersama), pohon Jambu Dersono (Eugenia malaccensis) yang bermakna kaderesan sihing sasama dan pohon Kepel (Stelechocarpus burahol) yang bermakna kempel, bersatunya benih karena kemauan bersama didasari saling mengasihi. Melalui Regol Gadhung Mlathi sampailah di Kemagangan yang bermakna bayi telah lahir dan magang menjadi manusia dewasa.
Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq . Golong-gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margotomo (jalan menuju keutamaan) ke selatan melalui Malioboro ( memakai obor/ pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melaui Margomulyo (jalan menuju kemuliaan), kemudian melalui Pangurakan ( mengusir nafsu yang negatip). Sepanjang jalan Margotomo,Malioboro dan Margomulyo ditanam pohon Asem (Tamarindus indica) yang bermakna sengsem/menarik dan pohon gayam (Inocarpus edulis) yang bermakna ayom/teduh. Di ujung jalan Pangurakan sebelah Selatan terdapat dua pohon beringin (Ficus benyamina) yang bernama Wok dan Jenggot yang melambangkan ilmu sejati yang halus, lembut dan rumit seperti halusnya rambut Wok dan Jenggot. Ilmu tersebut sebagai bekal orang akan menghadap Tuhannya. Jumlah pohon beringin di alun-alun Utara 64 (enam puluh empat) termasuk dua ringin kurung di tengah-tengah alun-alun. Jumlah tersebut sesuai dengan usia Nabi Muhammad menurut perhitungan tahun Jawa. Dua ringin kurung mempunyai nama yang berbeda. Ringin kurung sebelah timur bernama Janadaru, dan yang sebelah barat bernama Dewadaru. Kedua ringin kurung tersebut melambangkan Manunggaling Kawula - Gusti. Posisi ringin Dewodaru di sebelah barat dan Janadaru di sebelah Timur melambangkan konsep Hablum min Allah wa Hablum min Annas. Dasar alun-alun yang berpasir , jika siang panas dan jika malam dingin melambangkan di dunia ini hanya ada dua yang selalu berlawanan. Ada siang ada malam, ada susah ada gembira, ada jujur ada yang jahat dan sebagainya. Hendaknya mausia memilih jalan yang baik untuk menghadap Tuhannya di hari Kiamat nanti. Dari ujung jalan Pangurakan sebelah Utara sampai masuk ke Kedhaton akan melalui tujuh pintu (gapura / kori) yang melambangkan tujuh tangga menuju surga (the seven step's to heaven) atau tujuh surga bagi orang yang beriman. Tujuh pintu dimaksud adalah Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan njawi, Gapura Pangurakan nglebet, Kori Sitihinggil, Kori Brojonolo, Kori Kamandhungan Lor dan Kori Danapratapa.. Adapun tujuh halamannya meliputi : Pangurakan njawi, Pangurakan nglebet, Alun-alun Utara, Siti Hinggil, Kamandhungan Utara, Sri Manganti dan Plataran Kadhaton. Tujuh pintu dan tujuh halaman tersebut melambangkan juga tujuh surga bagi orang yang beriman yakni : Jannatul Firdaus, Jannatul 'Adnin, Jannatul Khuluud, Jannatul Na'iem, Jannatul Salaam, Jannatul Jalaal dan Jannatul Ma'waa.
Keabadian hidup di alam akherat dilambangkan dengan adanya lampu yang tidak pernah padam sejak Sultan Hamengku Buwana I yang bernama Kyai Wiji di ndalem Prabayaksa.

KEPUSTAKAAN


Barmawi Umari, Drs.
1968 Analisa Tauhid, Ramadhani, Semarang - Sala.
Brongtodiningrat, K.P.H
1978 Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta
Buminata, G.P.H.
1958 Kuntharatama, Mahadewa Yogyakarta
Hertog Djojonegoro, K.R.T
1987 Ngayogyakarta Hadiningrat, Lembaga Javanologi Yogyakarta
Poespodiningrat, K.R.T
1987 Filsafat Bangunan Kraton Yogyakarta "Ngayogyakarta Sinandi"
Lembaga Javanologi Yogyakarta.
Ricklefs, M.C.
2002 Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi 1749 - 1792, Sejarah
Pembagian Jawa (terjemahan), Matabangsa Yogyakarta.
Soedarisman Poerwokoesoemo, MR.
1986 Sejarah lahirnya Kota Yogyakarta, Lembaga Javanologi Yogyakarta.
Soekanto, Dr.
1952 Sekitar Yogyakarta, 1755-1825 (Perjanjian Gianti-Perang Dipanagara, Jakarta
Soekmono, Drs.
1991 Candi sebagai obyek Arkeolog (makalah seminar), Jakarta
Wibatsu Harianto, Ir. H.
1995 Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, Soemodidjojo Maha Dewa , Yogyakarta.






BIODATA


Nama : Ir. H. Yuwono Sri Suwito, MM.
Lahir di desa Kwasa, Klaten tanggal 14 Oktober 1951 dari keluarga Dalang. Ayah bernama Ki Pudjosumarto yang pernah menjadi dalang pribadi Presiden pertama R.I Bung Karno disamping Ki Gitosewoko. Ki Pudjosumarto juga sebagai guru dalang terkenal seperti Ki Nartosabdo, Ki Gondodarman dan Ki Gitosewoko.
Isteri bernama Rien W. Yuwono, 2 (dua) anak Himawan Andi Kuntadi, S.T, S.E dan dr. Yuanita Mardastuti.
Pendidikan S1 dari Teknik Sipil UGM, program Studi Teknik Sipil Transportasi, S2 dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta. Pernah menjadi dosen luar biasa pada beberapa Fakultas Teknik Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta seperti Universitas Janabadra (1982 - 1986), Univeritas Muhammadiyah (1983 - 1992), Universitas Cokroaminoto (1983 - 1988), dan pernah menjadi dosen tetap di program studi Teknik Arsitektur , Fakultas Terknik Universitas Islam Indonesia (1987 - 1989). Dosen tetap tersebut ditinggalkan setelah Menteri Keuangan R.I mengangkatnya sebagai Direktur Operasi dan Teknik di PT. Taman Wisata Candi BOROBUDUR dan PRAMBANAN (Desember 1989 s/d April 2001). Saat ini aktif di organisasi yang berkaitan dengan budaya, antara lain sebagai Ketua Lembaga Javanologi Yogyakarta , Ketua Dewan Kebudayaan Propinsi D.I.Y (tahun 2005), dan Penasehat Jogja Heritage Society, dan mengajar di program Diloma III Pariwisata UGM. Sering menjadi pembicara seminar yang kebanyakan berkaitan dengan kebudayaan. Pernah melakukan penelitian tentang Konstruksi Bangunan Karaton Surakarta (1989). Karya yang dipublakisan berupa buku (karya tim penulis) : Upacara Ruwatan, Sebuah Pedoman (1991), Ramayana, Transformasi, Pengembangan dan Masa Depannya (1998), Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Indonesia (1998), Bharatayudha (2004), Wawasan Budaya untuk Pembangunan (2004).
Tahun 2005 sebagai Ketua Tim Penulis Buku Pedoman Pelaksanaan Upacara Adat dan buku tentang Daur Hidup.
Penghargaan yang pernah diterima : Satya Lencana Wirakarya (1995), Tokoh Pariwisata D.I.Y (1995), Adi Karya Award (1996), Satya Lencana Pembangunan (1998), Dosen Teladan PPKP - UNY (1998) dan Penghargaan Gubernur D.I.Y sebagai Budayawan Yogyakarta (2007).

Lahirnya Yogyakarta

Mangkubumi Sang Inspirasi

Tak banyak kota yang mendapatkan inspirasi besar dari pendirinya. Semangat juang, kecakapan politis, kemampuan teknis dan yang paling mendasar adalah keluhuran jiwa Pangéran Mangkubumi selalu menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya yang menghuni dan mengembangkan Yogyakarta. Mangkubumi lahir dan tumbuh di saat Jawa sedang mengalami masa sulit karena pengaruh VOC yang kian mendesak dan kemelut antar pemuka Jawa yang makin rumit membelit. Kecakapan dan kepribadiannya menjadikan Sang Pangeran mampu untuk mengambil peran strategis yang menentukan masa depan negrinya dan mendirikan kota yang penting di Indonesia.

Kerajaan Mataram yang beribukota Kartasura di bawah Sunan Amangkurat IV, ayahanda Bandara Pangeran Harya Mangkubumi dengan ibu Mas Ayu Tejawati, mengalami masa yang penuh konflik. Pemberontakan silih berganti di berbagai penjuru negri. Kerumitan ini berlanjut dan bahkan kian membesar karena melibatkan pihak-pihak yang lebih luas pada masa pemerintahan kakandanya, Sunan Pakubuwana II, yang berpuncak pada peristiwa yang dikenal sebagai Huru-hara Cina atau Gègèr Pacina. Dalam kerusuhan ini Sunan tersingkir dan istana diduduki oleh Mas Garendi, salah satu tokoh kerusuhan tersebut. Dengan dukungan Kompeni, Sunan berhasil menghalau para perusuh. Dukungan Kompeni ini didapat dengan harga yang sangat mahal. Sunan harus merelakan wilayah kekuasaannya di sepanjang pesisir utara Jawa disewa oleh Kompeni.

Karena ibu negri sudah telanjur ternoda, maka kota pusat pemerintahan dan istana baru pun didirikan di Surakarta. Mangkubumi berperan penting sebagai arsitek dalam pembangunan istana baru ini. Dengan kearifan, kecerdasan, kesalehan dan kecakapan teknisnya, Mangkubumi memang sangat dekat dengan Pakubuwana II.

Serat Cabolek menggambarkan sisi intelektual dan spiritual Mangkubumi. Sang Pangeran

Pentingnya mesu budi . . . . .


Memilih Keluar dan Berjuang


Ketidakpuasan yang berujung pada pertikaian bersenjata antar ningrat Jawa masih merebak di masa pemerintahan Sunan Pakubuwana II. Yang terbesar di antaranya adalah yang dipimpin Radèn Mas Said dan Tumenggung Martapura. Karena berhasil meredam pemberontakan ini, Mangkubumi dianugerahi kekuasaan atas tanah seluas 3.000 cacah di daerah Sukawati.

Hadiah besar ini menjadikan kedengkian Adipati Pringgalaya, saudara ipar Mangkubumi dan Patih Surakarta, kian membara. Dengan dalih agar tidak menimbulkan iri hati para pangeran lainnya, Pringgalaya mengusulkan kepada Sunan dan Gubernur Jendral Baron van Imhoff yang sedang berkunjung ke Surakarta agar anugerah tersebut dicabut.

Kunjungan Baron van Imhoff pada tahun 1745 itu pada pokoknya merumuskan lebih lanjut penyerahan Pesisir Utara yang telah disepakati Sunan dalam pelariannya di Panaraga guna mendapatkan dukungan VOC dalam menghalau lawan-lawan politiknya.



Dari Kabanaran ke Giyanti

Perlawanan Mangkubumi bukan hanya bersifat pribadi tapi juga memberi kesempatan bagi elit ningrat Jawa untuk menentukan pemihakan. Dengan demikian gerakan ini dapat dipahami juga sebagai penggalangan kerjasama dengan para pemuka masyarakat. Ketika kedudukannya kian menguat, bagi Mangkubumi terdapat pilihan apakah akan mempermaklumkan diri secara mandiri sebagai raja Mataram dengan dukungan tokoh-tokoh sekitarnya ataukan akan menjalin kesepakatan dengan Kompeni. Masa antara tahun 1749-1755 menunjukkan kesigapan Mangkubumi dalam menanggapi situasi dan menentukan pilihan hingga menuju ke terbentuknya negri Yogyakarta.

Dalam perlawanannya, Pangeran Mangkubumi menjalin persekutuan dengan banyak pihak yang juga yakin bahwa perjuangannya akan membawa pada kebaikan. Yang paling menonjol adalah persekutuannya dengan Mas Said, bekas musuh besarnya yang dulu ditumpas pemberontakannya. Segera setelah Mangkubumi meloloskan diri dari kalangan istana, Mas Said bergabung menjadi sekutu utamanya. Pertalian ini makin kokoh setelah Mangkubumi menikahkan Mas Said dengan putrinya, Ratu Bendara. Hubungan Mangkubumi menggalang kesetiaan berbagai pihak ini dengan cepat berkembang. Pada tahun 1746 pengikutnya berjumlah 3.000 orang dan pada akhir 1747 sudah mencapai 13.000 orang.

Kondisi fisik Sunan Pakubuwana II kian memburuk dan kedudukannya kian terjepit. Sebaliknya, perlawanan Mangkubumi mendapat dukungan yang kian meluas. Dalam situasi yang berkembang seperti ini beberapa pemuka di sekitar Mangkubumi mendesaknya supaya mempermaklumkan diri sebagai raja atas negri Mataram yang berdaulat. Namun demikian, tampaknya Sang Pangeran masih menghormati kakandanya sehingga tak ingin melampaui kewenangannya.

Ketika tersiar kabar di akhir tahun 1749 bahwa kondisi kesehatan Sunan kian memburuk dan sudah memasuki masa kritis, Mas Said mendesak Pangeran Mangkubumi untuk segera menobatkan diri sebagai pewaris tahta Mataram. Setelah mempertimbangkan berbagai hal dengan seksama, akhirnya di Desa Kabanaran pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura, tahun Alip 1675 dengan candra sangkala Marganing Swara Retuning Bumi atau tanggal 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi bersedia dipermaklumkan sebagai raja Mataram oleh rakyat pendukungnya dengan gelar Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah. Dari sumber lain menyebutkan bahwa gelar P. Mangkubumi setelah menjadi raja adalah Susuhunan ing Mataram Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah ing Nuswa Jawa. Mas Said pun kemudian diangkat sebagai patihnya.

Tepat pada hari yang sama dengan penobatan Mangkubumi, Pakubuwana II yang merasa akhir hayatnya kian dekat dan tak ada pihak yang dipandangnya mampu untuk menjaga keutuhan Mataram selain VOC. Baginda pun kemudian menyerahkan Kompeni Belanda—yang diwakili oleh Baron van Hogendorff, Gubernur VOC untuk Pantai Timur Laut Jawa yang juga bekas komandan garnisun Kompeni di Kartasura—keselamatan anak keturunannya, segala harta warisan yang mestinya mereka terima, serta kedaulatan negri sepenuhnya. Empat hari berikutnya, van Hogendorff melantik Putra Mahkota sebagai Sunan Pakubuwana III. Pada tanggal 20 Desember 1749 Sunan Pakubuwana II pun wafat dan dimakamkan di Laweyan karena situasi tak memungkinkan untuk mengebumikan jenazah baginda di pemakaman raja Mataram di Imogiri.

Dua penobatan terjadi untuk menjadi pewaris tahta Mataram. Mangkubumi dirajakan karena dukungan penuh pengikut dan para pangeran yang mendukungnya. Sedangkan Putra Mahkota Surakarta menduduki tahta karena perlindungan Kompeni belaka.

Setelah kedua penobatan ini perlawanan Mangkubumi makin menghebat. Makin banyak pihak, terutama para bupati mancanegara, yakni penguasa semi-otonom yang berkedudukan jauh dari Surakarta, seperti Tumenggung Prawirasentika dari Madiun, Tumenggung Yudanegara dari Banyumas dan Tumenggung Alap-alap dari . . . Persekutuan ini meluas bahkan sampai menjangkau pasukan-pasukan yang berasal dari luar Jawa. Hal ini tampak pada serangan pasukan Mangkubumi terhadap Pekalongan pada tanggal 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Makassar dan Ternate. Pasukan inilah yang nanti menjadi cikal bakal Korps Prajurit Kraton Yogyakarta.

Dengan banyaknya pihak yang bergabung, Sunan Mangkubumi merasa perlu untuk menguji kesetiaan dan semangat juang mereka. Mangkubumi memimpin pasukannya untuk menggempur benteng Kompeni di Ungaran sebagai ujicoba konsolidasi pasukan. Tersiar kabar bahwa jika mereka berhasil menduduki benteng ini maka akan mendapat kejayaan yang sempurna. Setelah pertempuran sengit, memang akhirnya Benteng Ungaran jatuh ke tangan Mangkubumi yang bahkan berakibat Gubernur Jendral Baron van Imhoff terluka parah.

Perang juga merupakan kesempatan untuk membangun dan menguji solidaritas sosial sehingga di masa damai nanti dapat menjadi landasan yang kokoh untuk membina masyarakat. Pertempuran di Jenar (sumber Belanda menyebut di Bagawanta) menelan banyak korban di kedua belah pihak. Belanda bahkan menawan banyak pengikut Mangkubumi termasuk di dalamnya para wanita. Di mata Mangkubumi para wanita adalah anggota keluarga yang perlu dijaga dan dimuliakan, maka sangat nista jika pasukannya tak mampu merebut kembali tawanan tersebut di pertempuran keesokan harinya, sementara pemuka-pemuka pasukannya yang mulai ciut hati mereka menyaksikan keperkasaan musuh. Ketika Mangkubumi menanyakan pendapat mereka tentang apakah harus segera menyerbu untuk membebaskan tawanan tersebut, mereka hanya menjawab: “Jika ada titah Paduka, maka kami akan laksanakan juga”.

Merasakan kegentaran dan tekad yang kurang bulat Mangkubumi menanggapi, “Apa jadinya jika semua hanya menjadi penurut belaka. Jika aku belum berhasil menyatukan tekad antara kawula dan gustinya, sungguh, apapun yang dicita-citakan tak akan terlaksana.” Dengan tegas di akhir sabdanya, “Kalau begitu, kakanda Pangeran Hadiwijaya serta semua yang hadir, aku sendiri yang akan memimpin merebut para tawanan, mereka saudaraku dan saudara semua yang ada di sini. Jika aku belum gugur di sana, yang lain jangan ada yang menyusul ke medan laga.” Mendengar ketegasan dan kegusaran baginda, semua tergugah semangatnya, “Biar kami yang bertempur, jangan Paduka bertindak sebelum kami semua tewas.” Kemudian, Mangkubumi mengatur pasukan sambil menegaskan “Jika ada pangeran atau punggawa yang lari dari pertempuran karena takut, aku sendiri yang akan membunuhnya”.

Pertempuran sangatlah sengit, dengan penuh semangat pasukan Mangkubumi menyerang. Banyak korban di pihak Kompeni. Bahkan komandan pasukan ini, Mayor Clerq terbunuh di tangan Prawirarana salah satu anggota korps Mantrijero. Tombak yang digunakan untuk menghabisi sang komandan ini kemudian dijadikan pusaka Kraton dengan nama Kangjeng Kyai Clerq.

Di Surakarta makin banyak ningrat yang keluar dan bergabung dengan Mangkubumi. Belanda juga makin terdesak dan tak sepenuhnya paham dengan kerumitan konflik antar elit di Jawa. Van Hogendorff diganti dengan Nicholas Hartingh yang lebih menghayati budaya Jawa dan fasih berbahasa Jawa. Segera Hartingh mengganti pendekatan kepada Mangkubumi menjadi lebih kompromistis.

Berbeda dengan pendekatan yang sebelumnya diterapkan pada pertikaian antar ningrat Jawa. Biasanya Kompeni mendukung salah satu pihak untuk menghabisi pihak yang lain. Tapi kini pihak yang akan ditumpas tampaknya terlalu kuat, sehingga Kompeni pun menawarkan perdamaian dengan membagi wilayah Mataram yang telah diserahkan padanya oleh Pakubuwana II berdasar perjanjian 1749. Mangkubumi juga mengisyaratkan kecenderungan pada kesepakatan damai. Kompeni mengirim seorang keturunan Turki bernama Syarif Besar Syeh Ibrahim yang disebut sebagai utusan Sultan Rum di Istanbul sebagai kurir karena dipandang memiliki wibawa tersendiri di mata Mangkubumi yang taat beragama.

Menjelang akhir tahun 1754 Hartingh bertemu langsung dengan Sunan Mangkubumi di Pedagangan Grobogan. Beberapa hal terpenting dapat disepakati seperti pembagian wilayah Mataram menjadi dua dengan merujuk pada masa Demak-Pajang, satu penguasa akan memakai gelar Sunan sedangkan yang lain Sultan, begitu pula uang sewa pesisir utara sebesar 20.000 real per tahun yang selama ini diterima Pakubuwana.

Meskipun telah disepakati bahwa Mangkubumi akan memegang kuasa atas separuh wilayah Mataram, namun tentang letak wilayah tersebut keduanya tidak bersepakat. Berdasar fakta bahwa basis pengaruh perlawanannya berada di sebelah timur, maka Hartingh mengusulkan agar Mangkubumi menguasai belahan timur negri Mataram sedangkan Pakubuwana di belahan barat. Dengan bersikukuh bahwa ibu negri yang baru haruslah tetap berada di sekitar tanah pusaka Mataram di Jawa Tengah, Mangkubumi menolak usulan ini dengan tegas. Akhirnya Kompeni pun menyetujui asalkan Mangkubumi sama sekali tidak boleh menuntut hak atas pesisir utara.

Akhirnya, Perjanjian Perdamaian (Traktat reconciliatie) antara Mangkubumi dan Kompeni disetujui dan ditandatangani di desa Giyanti pada tanggal 13 Februari 1755 yang lebih terkenal dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari.





Membangun Yogyakarta




PERISTIWA TARIKH JAWA TARIKH MASEHI
BRM Sujana lahir Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M
BRM Sujana dilantik menjadi BPH Mangkubumi
Mangkubumi meloloskan diri dari Surakarta 19 Mei 1746
Penobatan Mangkubumi di Kabanaran Jum'at Legi, 1 Sura tahun Alip 1675 Jumat Legi, 11 Desember 1749
Pakubuwana II menyerahakan tahta dan negri Mataram kepada Kompeni Jum'at Legi, 1 Sura tahun Alip 1675 Jumat Legi, 11 Desember 1749
Putra Mahkota Surakarta dinobatkan sebagai Pakubuwana III Selasa Kliwon, 5 Sura tahun Alip 1675 Ahad Kliwon, 15 Desember 1749
Sunan Pakubuwana II mangkat di Surakarta Ahad Kliwon, 10 Sura tahun Alip 1675 Ahad Kliwon, 20 Desember 1749
Prawirarana membunuh Mayor Clercq di Jenar/Bagawanta Minggu Legi, 22 Sura tahun Jimawal 1677 J Minggu Legi, 12 Desember 1751 M
Serbuan Mangkubumi ke Pekalongan Sabtu Pon, 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J Sabtu Pon, 20 Maret 1752
Pertemuan Pedagangan Grobogan (Mangkubumi-Hartingh) 22 - 23 September 1754.
Perjanjian Palihan Nagari di Giyanti Kamis Kliwon, 29 Rabiulakhir, Be 1680 tahun Jawa, wuku Langkir Kamis Kliwon, 13 Februari 1755
Pertemuan Jatisari (Mangkubumi-Pakubuwana III-Hartingh)
Hamengkubuwana mengumumkan nama negrinya Ngayogyakarta Hadiningrat
(Hadeging negari dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta) Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut Kamis Pon, 13 Maret 1755
Sultan tinggal di Ambarketawang dan memerintahkan pembangunan Yogyakarta Kamis Pon 3 Sura,Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut Kamis Pon, 9 Oktober 1755 M
Kepindahan Sultan dari Ambarketawang
(Berdirinya Kota Yogyakarta) Kamis Pahing, 13 Sura, Jimakir 1682 tahun Jawa, wuku Julungwangi Kamis Pahing, 7 Oktober 1756 M

Friday, 5 February 2010

Kota, Kraton dan Kampung Yogyakarta

Bukan hanya pemimpin yang handal dan panglima perang yang tangguh, Sultan Hamengkubuwana I juga perencana kota yang cermat dan cakap. Dengan pandangan yang jauh dan menyeluruh, beliau meletakkan dasar-dasar bagi tata ruang dan kegiatan ibu kotanya yang dalam banyak hal masih penting hingga saat ini. Secara fisik, sosial, fungsional dan simbolis kota, keraton dan kampung Yogyakarta menyimpan banyak hikmah untuk dikaji. Mari kita pahami bersama kota yang merupakan warisan terbesar buah cipta Hamengkubuwana pertama.

Toponim . . .

Kota Yogyakarta dirancang dengan seksama, karena dicita-citakan menjadi kota yang “terluhur di dunia”. Sultan Hamengkubuwana bersemayam cukup lama di pesanggrahan Ambarketawang, istana sementara di sisi barat Yogyakarta agar cukup waktu untuk menata susunan kota dan segala isinya sehingga kota dapat menjadi tempat kediaman bagi semua dengan sejahtera dan merata.

Jalan panjang dan lurus direntangkan membujur utara-selatan di tengah kota. Monumen tugu tegak di persimpangan jalan ujung utara dan di pangkal selatannya terdapat Panggung Krapyak, bangunan persegi yang juga menjadi pusat padang perburuan rusa. Dalam lingkungan yang lebih besar, jalur ini bisa dibentangkan ke utara menerus ke Gunung Merapi dan ke selatan menjangkau Laut Selatan, dua unsur penting di bentang alam yang membentuk ruang dan jiwa negri Yogyakarta.

Di dalam kota, lajur panjang ini menjadi pengikat utama susunan jaringan jalan, kampung-kampung tempat kediaman serta berbagai sarana yang menghidupkan kota. Saat ini kita dapat berjalan menyusurinya dan masih bisa mendapati elemen-elemen penting kota yang telah ada di masa pemerintahan Sultan pertama. Istana yang menjadi tempat kediaman Sultan dan jantung kehidupan kota terletak tepat di tengah poros ini menghadap ke utara. Di depan terdapat alun-alun tempat warga kota berkumpul di keramaian atau bersila mengajukan permohonan pada Raja. Masjid raya ada di sisi baratnya tempat umat Islam bersama punggawa negara dan junjungan mereka menghadap Allah bersama-sama di dalam shalat jamaah sebagai hamba Yang Mahakuasa. Dua beringin rimbun melambangkan kesetimbangan jagad raya tertanam kokoh di pusat alun-alun utara dengan enam puluh empat beringin lain mengelilinginya menghamparkan kesejukan di tengah kesibukan kota.

Di seputar istana terdapat kampung-kampung permukiman abdi dalem yang melayani keseharian raja dan istana dengan rumah-rumah besar atau dalem tempat kediaman kerabat terdekat Sultan. Keseluruhan kompleks ini di masa menjelang akhir pemerintahan Hamengkubuwana I dilingkupi oleh benteng tebal berparit sekelilingnya. Terdapat lima gerbang (plengkung) yang menghubungkan bagian kota yang ada di dalam benteng (jeron bètèng) dan kawasan di sekitarnya, Plengkung Nirbaya di selatan, Madyasura di timur, Tarunasura dan Jagasura di utara, serta Jagabaya di barat. Saat pasukan Inggris dan sekutunya mengepung dan menyerbu benteng Yogyakarta yang dikenal sebagai Gègèr Sepèhi pada tahun 1812, plengkung Madyasura runtuh sehingga warga Yogyakarta menggambarkan susunan kota yang baru dalam tembang Mijil sebagi berikut:

Ing Mataram bètèngira inggil/ ngubengi kedhaton/ plengkung lima mung papat mengané/ jagang jero toyanira wening/ apager pinacak suji/ gayam turut lurung.
Di Mataram tinggilah bentengnya/ melingkupi istana dan sekitarnya/ gerbang lima hanya empat yang terbuka/ parit keliling yang dalam sungguh jernih airnya/ pagarnya rapi terjalin/ pohon gayam berjajar sepanjang jalan.

Berjalan ke utara kita jumpai perempatan yang menuju ke kawasan di seputar kota dan fasilitas lain ada di sisi utaranya. Tak dapat dipungkiri, Yogyakarta didirikan di bawah pengaruh besar kekuasaan kolonial Kompeni Belanda. Hal ini tampak dengan keberadaan kediaman resmi Residen Belanda dan benteng markas pasukan tepat di utara perempatan ini. Selangkah berikutnya kita jumpai Pasar Gedhé yang kemudian bernama Beringharjo menjadi pusat kesibukan perniagaan kota. Tak jauh di utaranya, terdapat kompleks Kepatihan, tempat kediaman Patih Danureja, punggawa utama sederajat perdana mentri di masa kini, yang sekaligus juga menjadi pusat kegiatan administratif negara.

Di ujung utara jalan raya, yang kemudian disebut sebagai Malioboro atau Margatama yang berarti jalan keutamaan, didirikan tugu yang kokoh di persimpangan jalan. Tugu ini berpuncak pada sebentuk bola (dalam bahasa Jawa disebut golong) yang disangga tiang silinder (gilig) sehingga monumen ini dinamai Tugu Golong Gilig yang melambangkan kebulatan tekad segenap warga kota Yogyakarta untuk menyatu dengan raja mereka dalam mencapai cita-cita mulia. Monumen yang tegak tunggal ini juga mengisyaratkan ketauhidan agar manusia selalu mengesakan Tuhan sesembahan mereka. Saat baginda bertahta di persidangan di Siti Hinggil utara yang ditinggikan, pandangan matanya terfokus pada sosok tunggal yang tegak ini agar selalu ingat tugas yang diembannya, menyatukan rakyat agar mendapat anugrah dari Yang Mahaesa. Karena roboh saat gempa besar tahun 185… , yang kita dapati sekarang berupa tugu lancip adalah bangunan pengganti yang didirikan pada tahun 187 …

Pada awalnya, Malioboro menyandang peran utama sebagai jalur seremonial untuk menyelenggarakan berbagai perarakan agung dan poros simbolis untuk mengisyaratkan nilai-nilai luhur yang melandasi perkembangan kota Yogyakarta. Saat kegiatan ekonomi dan perniagaan kota mulai berkembang lebih pesat, jalan utama ini mendapatkan peran barunya sebagai kawasan komersial, khususnya yang dilakukan oleh warga Tionghoa yang semula terbatas berkegiatan di Ketandan dan Kranggan. Maka Malioboro pun jamak disebut dengan nama Pecinan.

Dari masa ke masa, kota Yogyakarta berkembang. Selalu ada bagian yang bertambah dan berubah, tanpa harus kehilangan akar budayanya. Yogyakarta menjadi kota yang tetap kehidupan yang baik karena beberapa hal yang diwariskan dari masa awal pembentukannya, yakni: kesetimbangan antara yang duniawi dengan yang spiritual, pemilihan lokasi yang baik,

Sumbu Filosofi Utara Selatan

 Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota yang unik dalam hal bentuk pola tata ruangnya. Keunikan ini disebabkan karena dalam tata ruang kota terdapat suatu poros sumbu imajiner.

Poros ini membentang dari arah Utara – Selatan (Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak – Laut Selatan) membentuk suatu jalur linear dan menghubungkan beberapa simbol-simbol fisik yang mempunyai makna nilai filosofis.








 Konsep filosofis kota ini (sumbu imajiner) telah dipikirkan, direncanakan dan ditanamkan jauh sebelum terbentuknya Ngayogyakarta Hadiningrat oleh seorang Raja I (pertama) Kraton Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono I. Sungguh merupakan suatu karya agung dalam bidang arsitektural di tahun 1756.

Sangkan paraning dumadi / hablun minallah / Unity man and God
Panggung Krapyak – Kraton Yogyakarta - Tugu

Manunggaling kawula lan Gusti / hablun minannas / Unity of king and people
Pantai Parangtritis – Kraton Yogyakarta – Gunung Merapi

 Gambaran singkat mengenai konsep filosofis tersebut adalah:
Bahwa dari ujung Utara – Selatan, dari Gunung Merapi sampai ke Laut Selatan adalah pengejawantahan proses perjalanan hidup manusia mulai dari kelahiran sampai kematian.

 Bagian penggal Tugu – Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak; dimaknai sebagai lambang pusat pengendalian. Di tempat inilah diselenggarakan berbagai macam ritual yang memberikan petunjuk hidup dan kehidupan sebelum menuju alam fana, dilambangkan dengan alun-alun Kidul yang sepi, jauh dari hiruk pikuk duniawi (Sangkan paraning dumadi / hablun minallah / Unity man and God).

 Bagian penggal Tugu – Pasar Beringharjo – Alun-alun Utara; dimaknai sebagai lambang kegiatan duniawi, atau ketika manusia menjalin hubungan sosial dengan sesama manusia dan alam dalam melakukan kegiatan sosial untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan hidup.

 Bagian penggal Tugu – Malioboro – Kraton Yogyakarta; dimaknai sebagai penghubung fase kehidupan manusia yang telah mencapai posisi puncak duniawi. Fase ini disimbolkan sebagai jalan lurus menuju ke Utara yang berujung pada Tugu Pal Putih (golong gilig) sebagai perwujudan rakyat dan raja (manunggaling kawula lan Gusti / hablun minannas / Unity of king and people).


Siapapun yang berada di puncak kekuasaan hendaknya masih memandang prinsip bahwa semua yang ada di dunia adalah aliran rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
[Kraton Jogja. The History and Cultural Heritage. Tahun 2002]
[Malioboro. Sunyoto Usman dan BAPPEDA Kota Yogyakarta. Tahun 2006]
[Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Fredy Haryanto. Tahun 2003]





 Kraton Yogyakarta
 Tugu Pal Putih (Golong Gilig)
 Kota Gede
 Benteng Vredeburg
 Pasar Beringharjo,
 Pasar Ngasem, Taman Sari, PulauCemeti, dll…

Wayang kulit

 Bila ditilik dari aspek kesejarahan, dengan memperhatikan fakta sejarah seperti artefak tentang wayang kulit akan menemukan banyak kesulitan. Hal ini disebabkan karena wayang berasal dari bahan kulit, yang jelas berbeda dengan bahan batu atau logam dimana bahan kulit tersebut tidak akan tahan lama dan akan hancur ditelan masa.
Untuk melacak tentang tatahan dari wayang kulit dapat dicermati melalui karya-karya sastra. Diantaranya adalah karya sastra Empu Kanwa yaitu serat Harjuna Wiwaha. Dalam salah satu baris dari bait dalam serat tersebut menyebutkan kata walulang inukir, dalam bahasa jawa menjadi lulang inukir. Lulang adalah kulit dari binatang, sedang inukir adalah sebuah kata yang artinya diukir atau ditatah.

 Ciri wayang kulit tidak dapat dilihat dengan mudah sehingga dalam mengklasifikasi jenisnya perlu dilakukan identifikasi secara mendalam. Berdasarkan pengamatan dan pencermatan serta perbandingan yang dilakukan terhadap wujud atau bentuk wayang kulit, Wayang Kulit Yogyakarta mempunyai ciri khas sebagai berikut:
1. Pada dasarnya wayang kulit Yogyakarta menggambarkan wayang ringgit; bergerak; berjalan, hal ini ditandai dengan tampilan posisi kaki yang melangkah lebar, tertutama pada tokoh wayang jangkahan (gagahan). Pada kaki kiri atau kaki belakang digambarkan posisi telapak kakinya miring atau jinjit. Tampilan yang demikian dianggap lebih gagah, ekspresif dan dinamis.

2. Tampilan bentuk yang tambun, yaitu penggambaran tubuh yang pendek dan kekar (gemuk) yang dinamakan dengan depah. Bagian kepala tampak agak besar. Kaki digambarkan lebih pendek, hal ini berkaitan dengan fungsi wayang dalam pagelaran wayang jika terkena sinar / lampu blencong, kaki tersebut akan tampak memanjang terlihat dari belakang kelir, sehingga akan terlihat lebih proporsional.

3. Tampilan tangan sangat panjang sampai menyentuh kaki. Hal ini berkaitan dengan fungsi wayang dalam pagelaran, saat kegiatan menyembah membutuhkan tangan yang mampu menyentuh hidung tokoh, sehingga dibutuhkan ukuran tangan yang panjang.

4. Jika dicermati tatahannya, dapat diketahui bahwa hampir semua wayang menggunakan unsur tatahan yang dinamakan inten-intenan.

5. Jika dicermati dari sunggingannya, menggunakan sungging tlacapan yang pada masa lampau disebut dengan sorotan, yaitu unsur sungging yang berbentuk segitiga terbalikyang lancip-lancip seperti bentuk tumpal pada kain batik.

6. Pada bagian siten-siten atau lemahan, yaitu bagian diantara kaki depan dan belakang, umumnya diwarnai dengan warna merah.

 Pemilihan warna dalam sungging wayang kulit tidak hanya sekedar memperindah penampilan, tetapi memiliki nilai yang lebih mendalam yang berkaitan dengan masalah simbol atau perlambang. Perlambangan ini berkaitan dengan sifat atau karakter tokoh wayang. Pemberian warna biasanya pada wajah/muka tokoh.
1. Warna muka:merah,merah muda
Menggambarkan sifat perwatakan yang keras, kurang sabar, mudah emosi (panas-baran), pemberani, angkara.
2. Warna muka: hitam
Menggambarkan sifat perwatakan yang sentausa, bijaksana, langgeng, luhur dan bertanggung jawab.
3. Warna muka: putih
Menggambarkan sifat perwatakan yang bersih dan suci.
4. Warna muka: perana/kuning emas
Menggambarkan sifat perwatakan yang sedang (sepadho-padho, tepo seliro)
5. Warna muka: biru, hijau
Menggambarkan sifat perwatakan yang picik, berpikiran sempit, penakut dan tidak bertanggung jawab.

 Dalam cerita wayang banyak pelajaran yang dapat kita petik karena dalam cerita pewayangan mengandung nilai-nilai luhur. Nilai-nilai inilah yang sebenarnya ingin disampaikan agar kita mempunyaikematangan berpikir, kearifan bertindak dan kedewasaan berperilaku, sehingga sebagai manusia kita mampu menjadi khalifah di muka bumi ini, sekaligus sebagai mahluk yang berakal sempurna.
Cerita pewayangan ini juga menggambarkan kebaikan dan keburukan, agar kita bisa memetik pelajaran mengenai hal-hal yang bersifat baik atau buruk.
[Wayang Kulit Gaya Yogyakarta, Bentuk dan Ceritanya. Subarto dan Subagio. Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kantor Perwakilan Daerah, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tahun 2004.]

Batik

 Yogyakarta sebagai salah satu pusat batik klasik dengan ciri pola warna yang menonjol dimana warna biru nila dipadu dengan soga coklat yang hangat berlatarkan warna putih bersih. Berbagai teknik celup menghias kain adat telah dikenal sejak dahulu kala memungkinkan seni batik berkembang dari teknik tritik yang diterapkan pada kain kembangan seperti ikat kepala, kemben, sabuk dan dodot dengan hiasan pola tengahan serta seret yang berombak.

 Perkembangan teknik yang menghasilkan kain batik bermutu tinggi ditunjang dengan munculnya canting tulis, sauatu alat membatik yang terdiri atas wadah kuningan bercorong dan dipasang pada sebuah gagang buluh bambu kecil.

 Hasil karya seni batik mencapai titik puncak keindahan didalam lingkungan kraton. Golongan tersebut mempunyai cita rasa keindahan yang tinggi untuk menggambarkan pola-pola yang rumit dan indah serta penuh mistik.

 Pada awalnya, penggunaan pola kain batik mempunyai aturan atau etika. Terdapat pola jenis tertentu yang merupakan jenis pola “larangan” dan pemakaiannya hanya diperbolehkan untuk kerabat raja, tidak boleh digunakan oleh masyarakat kebanyakan. Aturan pemakaian pola ini disesuaikan menurut tingkat kedudukan seseorang maupun menurut peristiwa pada saat apa pola kain batik tersebut boleh dipakai.

Mulai akhir abad ke-18 Sultan Yogyakarta menentukan pola batik sebagai pola “larangan”.
Pola tersebut diantaranya: Parang Rusak Barong Turun, Parang Rusak Barong Seling Nitik, Parang Rusak Seling Manggaran, Semen Ageng Sawat Gurdha, Kawung, Rujak Senthe, Udan Liris.
Misanya: dalam pemakaiannya, ragam hias lar (sayap burung garuda) hanya boleh dipakai oleh putera raja yang bergelar pangeran.
Akan tetapi seiring dengan pekembangan jaman, banyak para pengusaha batik di Yogyakarta yang telah memproduksi pola-pola tersebut dengan teknik cetakan cap dan diperjual belikan secara bebas. Akibatnya makin banyak pola batik yang dahulu merupakan pola “larangan” kini dipakai oleh orang kebanyakan.
[Sekaring Jagad Ngayogyakarta Hadiningrat. Wastraprema. Tahun 1990.]




 Batik yang telah dianggap sebagai Mega Karya ini diciptakan oleh para seniman N.N. (no name) / tanpa nama yang larut dalam kemegahannya arti karyanya di masyarakat; adalah puncak keindahan yang menakjubkan, menampilkan garis kuat dalam kesederhanaan yang sempurna dengan latar yang putih bersih.

 Dengan ketrampilan yang halus dan teliti, mereka dapat menggariskan lilin panas dengan teratur,dengan garis lurus, lengkung, bahkan bergelombang atau patah, dan mampu menyelesaikan pewarnaan alami tanpa cacat.
[Batik, Ragam Hias Parang dan Lereng. Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad. Tahun 2002.]

Sekaten

 Menurut sejarahnya, perayaan Sekaten bermula sejak jaman kerajaan Majapahit jaman pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Namun ketika kerajaan Majapahit runtuh, perayaan ini tetap ada pada jaman kerajaan Islam Demak.
Upacara ini oleh Raden Patah (Raja Demak Pertama) dengan disertai dukungan para wali, diselenggarakan dengan lebih bersifat Islami serta menjadi sarana pengembangan (syiar) Islam. Dalam upacara ini dibunyikan gamelan bernama Kyai Sekati. Berawal dari kata sekati inilah kemudian berubah menjadi kata sekaten.
Saat gamelan dibunyikan, akan memiliki daya panggil yang besar kepada masyarakat sekitar untuk datang dan menyaksikannya. Kepada mereka kemudian diberikan penyuluhan dan penerangan tentang agama Islam.

 Perayaan Sekaten diselenggarakan di Kraton Yogyakarta pada setiap tanggal 5 hingga 11 Mulud (Jawa) dalam rangka perayaan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Pada perayaan ini 2 (dua) perangkat gamelan yang bernama Kyai Guntur Madu (dari Demak) dan Kyai Nagawilaga (ciptaan Sri Sultan HB I) dikeluarkan dari Bangsal Ponconiti menuju halaman Masjid Agung.
Kyai Guntur Madu ditempatkan di Pagongan Selatan, Kyai Nagawilaga ditempatkan di Pagongan Utara. (pagongan adalah bangunan berbentuk panggung untuk menempatkan sekaligus membunyikan gamelan; terletak di halaman depan Masjid Agung)
Dengan gending-gending tertentu ciptaan para wali, dibunyikanlah gamelan tersebut secara bergantian selama 7 (tujuh) hari pada jam 08.00-12.00 wib, 14.00-17-00 wib, 20.00-24.00 wib, kecuali hari Kamis Malam sampai Jumat siang sehabis Sholat Jumat.

 Inti dari perayaan ini berupa peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 11 Mulud Malam di Serambi Masjid Agung. Perayaan ini bersifat resmi dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh Abdidalem Penghulu Kraton di hadapan Sultan. Setelah upacara selesai kemudian 2 (dua) perangkat gamelan sekaten tersebut diusung kembali menuju Kraton.
[Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. Fredy Haryanto. Tahun 2003]

Upacara Adat

 Masyarakat Yogyakarta sangat akrab dengan apa yang dinamakan upacara tradisi, dalam upacara tradisi ini banyak muatan simbolik yang mencerminkan norma-norma budaya yang berlaku di masyarakat. Sampai saat ini masyarakat yogyakarta masih melaksanakan upacara tradisi yang mengandung nilai-nilai dan makna yang begitu signifikan bagi pengembangan budaya tradisi, karena upacara tersebut diyakini oleh orang jawa sebagai simbol keselarasan, keserasian, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam semesta.
[Upacara Daur Hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jilid I. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tahun 2005.]

 Upacara adat sebagai perangkat simbol warisan nenek moyang merupakan sumber informasi kultural yang tidak tertulis, tetapi mengandung nilai-nilai dan makna yang begitu signifikan bagi pemangku budaya lokal maupun khayalak luas yang berminat memahaminya.

 Adapun tujuan pokok dari penyelenggaraan upacara adat adalah sebagailangkah alternatif mencari keselamatan, ketentraman, dan menjaga kelestarian alam (harmonisasi kosmos). Keyakinan atau pemikiran yang muncul dibalik aktifitas tersebut adalah usaha untuk membangun relasi /hubungan antara dunia bawah (manusia-mikrokosmos) dengan dunia atas (Tuhan-makrokosmos).
Dalam pelaksanaan upacara adat, beberapa hal yang perlu diperhatikan:
 Pemberian nama
 Latar belakang
 Tempat penyelenggaraan
 Waktu pelaksanaan
 Tujuan upacara
 Tahapan pelaksanaan (ubarampe, tirakat)
 Prosesi upacara
Selain itu hal lain yang perlu dipahami adalah makna-makna simbolik yang terdapat dalam upacara adat serta berbagai pantangan yang harus dipatuhi, baik oleh pelaksana maupun pengunjung yang hadir.

 Upacara adat merupakan budaya tradisional yang bersifat spiritual, sebab dalam upacara adat senantiasa mengungkapkan, menanamkan dan memasyarakatkan nilai-nilai luhur budaya bangsa dalamrangka memperkokoh jatidiri dan kebpribadian bangsa. Dengan demikian upacara adat tidak seharusnya dipertentangkan dengan nilai-nilai agama sehingga ajaran dalam agama dan nilai luhur budaya dapat berjalan secara bersama.
[Buku Pedoman Pelaksanaan Upacara Adat. Dinas Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tahun 2005.]