Oleh : YUWONO SRI SUWITO
Mung wanine padha bangsa, den rewangi taker pati, jamak wong ngaku prawira, kaya Sultan Mangkubumi, nyata lamun undhagi, awewika gothak - gathuk , micara tan sikara, prasaja nalare mintir, lamun aprang padha bangsa datan karsa.
Tembang di atas adalah salah satu bait tembang Sinom dari Serat Wicara Keras karangan pujangga Yasadipura II yang menggambarkan sosok Pangeran Mangkubumi dengan segala kepribadian dan keahliannya. Sebagai seorang panglima perang yang tidak mau berperang dengan sesama bangsa, pribadi yang halus tetapi tegas namun tidak menyakiti, sebagai seorang arsitek ulung yang dibuktikan dengan dibangunnya kraton Yogyakarta dengan beliau sendiri sebagai arsiteknya. Dr. F. Pigeaud dan Dr. L. Adam di majalah Jawa tahun 1940 mengatakan bahwa B.P.H Mangkubumi adalah "de bouwmeester van zijn broer Sunan PB II" (arsitek dari kakanda Sunan Paku Buwana II).
B.P.H (Bandara Pangeran Harya) Mangkubumi dan di banyak tulisan lebih terkenal dengan sebutan P. Mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) adalah putera Sunan Amangkurat IV (Sunan Amangkurat Jawi) dari garwa ampil B.M.A (Bandara Mas Ayu) Tejawati. B.P.H Mangkubumi lahir pada malam Rabu Pon, 27 Ruwah, tahun Wawu 1641 J. atau tanggal 5 Agustus 1717 M. dengan nama kecil B.R.M Sudjana. Beliau mempunyai dua saudara kandung yang semuanya wanita. Kakak beliau menjadi isteri Patih Pringgalaya (warangka dalem Sunan Paku Buwana II dan Sunan Paku Buwono III), sedang adik beliau diperisteri oleh Demang Urawan.
B.P.H Mangkubumi sangat disayang oleh kakandanya Sunan Paku Buwana II karena keshalehan, kecerdasan, kearifan dan keahliannya baik di bidang kepemimpinan, kaprajan, kaprajuritan maupun di bidang bangunan. Hal inilah yang menjadi irihati kakak iparnya sendiri yakni patih Pringgalaya. Puncak dari irihati dan kelicikan patih Pringgalaya ini terjadi pada waktu B.P.H Mangkubumi dapat meredam pemberontakan R.M Said dan T. Martapura sehingga B.P.H Mangkubumi mendapat hadiah dari Sunan Paku Buwana II tanah 3000 cacah (rumahtangga = household) di daerah Sukawati. Patih Pringgalaya tidak setuju dengan pemberian hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati tersebut, karena menurut patih Pringgalaya pemberian hadiah tersebut akan membuat irihati bangsawan lain dan membahayakan kedudukan Sunan Paku Buwana II, dan lagi pula R.M Said dan T. Martapura belum tertangkap. Dengan tipu muslihatnya patih Pringgalaya menyampaikan bahwa apabila Sunan Paku Buwana II jadi memberikan hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati kepada B.P.H Mangkubumi, maka patih Pringgalaya dan para Bupati Nayaka akan mengundurkan diri bersama-sama, sehingga Sunan Paku Buwana II tinggal pilih seorang B.P.H Mangkubumi atau punggawa yang banyak. Usaha patih Pringgalaya untuk menggagalkan hadiah tanah 3000 cacah ini tidak hanya disampaikan kepada Sunan Paku Buwana II, tetapi juga disampaikan kepada Gubernur Jenderal Baron van Imhoff untuk minta dukungannya.
Kedatangan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff di Karaton Surakarta untuk mengurus pelebaran tanah yang akan dikuasai VOC lebih luas dari perjanjian tahun 1743 (Perjanjian Panaraga), yakni Sunan Paku Buwana harus menyerahkan tanah pesisir kepada VOC. Dengan tekanan yang kuat akhirnya Sunan Paku Buwono II menyerahkan daerah pesisir yang diminta oleh VOC dengan menandatangani perjanjian pada tanggal 18 Mei 1746. Dengan penyerahan daerah pesisir kepada VOC inilah yang menyebabkan B.P.H Mangkubumi kecewa. Puncak kekecewaan dan kemarahan B.P.H Mangkubumi adalah dibatalkannya hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati oleh Sunan Paku Buwana II atas permintaan GG van Imhoff yang telah mendapat hasutan dari patih Pringgalaya, ditambah dengan tersinggungnya perasaan B.P.H Mangkubumi atas ucapan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff agar B.P.H Mangkubumi jangan ambisius minta hadiah tanah Sukawati dan agar jangan jadi orang serakah. Maka pada tanggal 19 Mei 1746 B.P.H Mangkubumi beserta keluarga dan pengikut setianya meninggalkan Keraton Surakarta menuju Sukawati dan mesanggrah di dusun Pandhak Karangnangka. Pada hari itulah sesungguhnya mulainya perjuangan dan perlawanan B.P.H Mangkubumi terhadap Kumpeni yang dibantu oleh Sunan Paku Buwana II dan kemudian dilanjutkan oleh Sunan Paku Buwana III. Keputusan B.P.H Mangkubumi untuk berperang ini disebabkan akumulasi kekecewaan beliau yang disebabkan karena :
a. Dicabutnya hadiah tanah 3000 cacah di Sukawati yang telah diberikan kepada B.P.H Mangkubumi, berarti Sunan Paku Buwana II mengingkari janjinya sebagai raja yang seharusnya memegang teguh "Sabda Pandhita pangandika Ratu, sepisan datan kena wola-wali" yang juga mengingkari watak "berbudi bawa leksana" (satunya kata dengan perbuatan).
b. Sunan Paku Buwana II lebih percaya pada patih Pringgalaya dan T. Sindureja daripada dirinya, sehingga melepaskan pesisir Jawa kepada VOC hanya dengan kompensasi dua leksa. Padahal B.P.H Mangkubumi menyarankan minta ganti sakethi karena tanah pesisir sebagai kekuatan Karaton Surakarta. Apabila VOC tidak mau mengganti sakethi, maka tanah pesisir tersebut harus dipertahankan.
c. B.P.H Mangkubumi sangat tersinggung dengan ucapan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff yang menuduh B.P.H Mangkubumi sebagai orang yang ambisius dan serakah.
Dari sumber lain (Babad Giyanti) menyatakan bahwa Komandan Belanda von Hohendorff mengusulkan kepada Sunan Paku Buwana II untuk mengurangi hadiah kepada B.P.H Mangkubumi dari 3000 cacah menjadi 1000 cacah saja. Disamping itu dalam babad Giyanti juga disebutkan bahwa kepergian B.P.H Mangkubumi dari Surakarta mendapat restu Sunan Paku Buwana II , bahkan B.P.H Mangkubumi diberi tombak pusaka Kanjeng Kyai Ageng Plered sebagai sipat kandel. Hampir sama dengan Babad Giyanti di dalam buku Ngayogyakarta Pagelaran, karya Raden Ngabehi Kartahasmara, abdi Dalem Mantri Miji Kepatihan juga menyebutkan bahwa Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata bukan atas perintah Sunan Paku Buwana II, dan bukan pula untuk memberontak melawan raja sesembahannya sekaligus saudara tua yang sangat dihormati dan dicintainya, tetapi lebih sebagai mempertahankan hak dan kewajibannya serta dengan tujuan suci untuk membatalkan Kontrak Panaraga (1743) demi lestarinya kerajaan di Jawa. Disamping Sunan Paku Buwana II memberi restu kepada Pangeran Mangkubumi dengan memberi pusaka tombak Kanjeng Kyai Ageng Plered, Sunan Paku Buwono II juga berpesan, berhubung beliau terikat perjanjian dengan VOC bahwa apabila ada pemberontakan, Sunan Paku Buwono II harus membantu Belanda, maka secara lahiriah prajurit Kasunanan Surakarta akan ikut memerangi Pangeran Mangkubumi. Tetapi tindakan tersebut hanya pura-pura, karena secara diam-diam Sunan PB II tetap akan membantu perjuangan Pangeran Mangkubumi.Hal ini terbukti pada saat Panglima Besar Prajurit Kasunanan Surakarta Tumenggung Arung Binang berpura-pura menyerang pesanggrahan P. Mangkubumi, tetapi setelah berhadapan Tumenggung Arung Binang lantas melemparkan kendhang yang ternyata berisi mas picis raja brana bantunan Sunan PB II untuk biaya perang. Setelah itu prajurit masing-masing pihak segera memisahkan diri kembali ke tempat masing-masing. Perang ini terkenal dengan sebutan Perang Kendhang . Sebaliknya untuk mengimbangi kasih sayang Sunan PB II tersebut, Pangeran Mangkubumi meskipun mendapat desakan dari rakyat dan pendukungnya untuk diangkat menjadi raja, beliau selalu menolak karena masih menghormati eksistensi Sunan Paku Buwonpo II sebagai raja di Surakarta. Di dalam perkembangan selanjutnya Sunan Paku Buwana II menderita sakit keras, di sisi lain Pangeran Harya Mangkunegara (kemenakan P. Mangkubumi) mendesak pamannya agar bersedia diangkat sebagai raja. Menghadapi situasi seperti itu akhirnya P. Mangkubumi menyanggupi penobatan dirinya sebagai raja. Maka pada hari Jum'at Legi tanggal 1 Sura, tahun Alip 1675 dengan candra sangkala Marganing Swara Retuning Bumi atau tanggal 11 Desember 1749, Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai raja oleh rakyat pendukungnya dengan gelar Sampeyan Dalem Sinuwun Kanjeng Susuhunan Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah.. Dari sumber lain menyebutkan bahwa gelar P. Mangkubumi setelah menjadi raja adalah Susuhunan ing Mataram Senapati ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Ingkang Tuhu Narendra Mandireng Amengku Tlatah ing Nuswa Jawa, dan Pangeran Harya Mangkunagara diangkat sebagai patihnya. Penobatan P. Mangkubumi sebagai raja ini bukan karena beliau mengangkat dirinya sendiri sebagai raja, dan bukan pula beliau menggantikan raja pendahulunya yang meninggal dunia, akan tetapi diangkat oleh rakyat pendukungnya. Hal ini menunjukkan bahwa Pangeran Mangkubumi seorang Demokrat sejati. Adapun tempat penobatan P. Mangkubumi sebagai raja tersebut ada beberapa versi. Versi pertama P. Mangkubumi diangkat sebagai raja di desa Kabanaran sehingga beliau terkenanl dengan sebutan Sunan Kabanaran. Versi yang kedua menyebutkan bahwa P. Mangkubumi diangkat sebagai raja di Mataram , karena setelah bupati Mataram T. Jayawinata menyerah dan diganti namanya menjadi T. Jayaningrat, P. Mangkubumi kemudian mendirikan pesanggrahan di Mataram. Versi yang lain menurut M.C. Ricklefs dalam bukunya "Yogyakarta under Sultan Mangkubumi 1749 - 1792" yang juga merujuk pada sumber - sumber Jawa, sebutan Sunan Kabanaran karena menurut tempat kediamannya P. Mangkubumi.
Pada hari yang sama 11 Desember 1749 Sunan Paku Buwana II yang sudah sakit parah menandatangani dan menyegel akta penyerahan yang didalamnya berisi penyerahan seluruh Kerajaan Mataram kepada Belanda yang diwakili oleh Gubernur pantai Timur Laut , bekas Komandan Garnisun Surakarta J.A. Baron von Hohendorff.
Pada tanggal 15 Desember 1749 , Putra Mahkota Kasunanan Surakarta dinobatkan sebagai raja baru Kasunanan Surakarta oleh von Hohendorff dengan sebutan Susuhunan Paku Buwana III. Di dalam Babad Giyanti disebutkan secara ringkas bahwa Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia di Batavia menobatkan Susuhunan yang baru di Surakarta. Putra Mahkota mengakui bahwa dia menjadi raja bukan akibat hak keturunan, melainkan karena Kompeni Hindia Timur Belanda memilih dia untuk jabatan itu. Menuruti anjuran Gubernur, Susuhunan baru itu dan para pejabat keraton kemudian memberi penghormatan terakhir kepada Paku Buwana II yang sudah sangat payah, yang akhirnya wafat pada tanggal 20 Desember 1749 dan dimakamkan di Laweyan, Surakarta.
Apabila di Surakarta berlangsung penobatan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwana III, di lain pihak peperangan prajurit Kabanaran atau prajurit Mangkubumen berlangsung sengit. melawan tentara Belanda. Prajurit Mangkubumen semakin bertambah dengan banyaknya bupati mancanagara yang bergabung , tercatat tokoh-tokoh seperti Raden Rangga Prawirasentika, Tumenggung Yudanagara, Tumenggung Alap-alap dan lain sebagainya yang menjadi momok bagi prajurit Belanda. Sampai timbul semacam pemeo bahwa siapa yang unggul dalam peperangan Ungaran yang terkenal dengan ontran-ontran beteng Ungaran, maka merekalah yang unggul dalam perang Mangkubumen ini. Dan kenyataan terjadi, benteng Ungaran dapat dibedah Pangeran Mangkubumi beserta prajuritnya, bahkan Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luika parah dan dilain waktu akhirnya meninggal.
Peperangan lain yang tiak kalah serunya terjadi di desa Jenar (menurut sumber Belanda di Bagawanta). Tentara Belanda di bawah komando Mayor Clereq berhadapan dengan prajurit Mangkubumen. Dalam peperangan sengit ini sampai menjelang malam sehingga harus terthenti, Banyak korban dikua belah pihak. Pihak Belanda yang tewas Mayor Repot, Katen Hoetje dan prajurit Mangkubumen yang gugur T. Mangunnagara. Kedua belah pihak juga banyak menawan musuh termasuk para wanita. Hal inilah yang mnyebabkan prihatinnya P. Mangkubumi, sehingga pada keesokan harinya sebelum melanjutkan peperangan beliau mengumpulkan para saudara dan punggawa dan prajurit untuk membicarakan strategi perang dan membebaskan prajurit yang tertawan termasuk para wanita. Setelah semua lengkap, kemudian P. Mangkubumi berkata : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta para Pangeran, saya mendengar berita bahwa perang kemarin para parepot banyak yang tertawan musuh. Jika demikian bagaimana usaha kita agar dapat merebut mereka kembali ?".
B.P.H Hadiwijaya menjawab : Adinda, kakanda dan para pangeran hanya menurut apa yang menjadi kehendak adinda".
P. Mangkubumi kemudian menanyakan kepada para abdi dalem semua : "Abdiku semua, bagaimana saran kalian semua tentang para parepot yang tertawan musuh tadi ? Apabila tidak bisa direbut pada perang hari ini juga, saya merasa sangat nistha, sebab wanita itu titah yang harus diluhurkan !:.
Semua yang hadir setelah mendengar sabda P. Mangkubumi tersebut sangat takut. Akan membantah tidak berani , kalau menyanggupi merasa tidak mampu. Akhirnya mereka berkata bersama : "Gusti junjungan kami, apabila ada perintah dari Gusti, hamba semua tinggal melaksanakan"
Setelah P. Mangkubumi mendapat jawaban semua yang hadir seperti itu kemudian bicara dalam hati : "Apa jadinya nanti apabila semua hanya menurut apa yang menjadi kehendak saya. Jika demikian apabila saya belum bisa menyatukan (njumbuhake) Kawula dan Gusti, serta tetap mantap apa yang menjadi kehendak saya, pasti tidak akan terlaksana".
Akhirnya P. Mangkubumi bersabda : " Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semua saja yang hadir, hantarkan saya untuk merebut para parepot, yaitu saudara saya dan juga saudara dari semua yang hadir disini. Jika nanti saya belum gugur di medan perang, semua jangan sampai ikut-ikut!".
Setelah semua yang hadir mendengar sabda Kanjeng Susuhunan (P. Mangkubumi) seperti itu lantas tergugah semangatnya, kemudian semua berkata : " Sebelum kami semua gugur, jangan sampai paduka Kanjeng Susuhunan bertindak sendiri untuk merebut parepot !".
Berkata demikian bersamaan mereka menarik semua keris mereka dari warangkanya seraya berkata : :O, junjungan kami, apakah kami sudah diijinkan berangkat sekarang , sebab apabila kelamaan tidak akan baik akibatnya:.
P. Mangkubumi menjawab : " Sabar dulu Kanda B.P.H Hadiwijaya serta semuanya, sarungkan dulu kerisnya!".
Setelah semua menyarungkan kerisnya, P. Mangkubumi bersabda : "Kanda B.P.H Hadiwijaya, apabila nanti ada salah satu pangeran atau para punggawa yang kembali karena takut terhadap musuh, jangan sampai tanya dosanya, pasti akan saya bunuh sendiri!".
Semua yang hadir menjawah serentak : "Silahkan Gusti".
P. Mangkubumi kemudian memerintahkan membuat gelar perang Garudha Nglayang (Dalam sumber lain menyebut gelar perang yang dipakai adalah Supit Urang).
Pasukan Mangkubumen bertemu dengan pasukan pimpinan Mayor Clereq. Peperangan serupun terjadi. Lama kelamaan Mayor Clereq kehabisan pasukan, sebab banyak yang tewas maupun terluka, atau lari meninggalkan senapatinya. Setelah Mayor Clereq hanya tinggal sendiri, abdi dalem Mantrijero bernama Wiradigda menombak, tetapi sayang hanya kena pundak yang dilapis baju besi. Mayor Clereq setelah pedangnya jatuh, segera menarik pistol, namun bersamaan dengan prajurit Mantrijero bernama Prawirarana menusuk leher Mayor Clereq. Mayor Clereq jatuh terlentang, diinjak oleh Prawirarana kemudian disembelih. Dengan gugurnya Mayor Clereq semua pasukannya lari tunggang langgang.
Peristiwa gugurnya Mayor Clereq ini terjadi pada hari Minggu Legi, 22 Sura tahun Jimawal 1677 J atau tanggal 12 Desember 1751 M. Adapun abdidalem Prawirarana yang berhasil membunuh Mayor Clereq oleh P. Mangkubumi dinaikkan pangkatnya menjadi bupati dengan nama T. Kartanadi (nantinya menjadi Bupati Grobogan dengan nama T. Sasranagara). Sedangkan tombak yang digunakan untuk membunuh Mayor Clereq nantinya dijadikan tombak pusaka kraton dengan nama Kanjeng Kyai Clereq.
Selanjutnya pasukan Mangkubumen menyerang Pekalongan pada hari Sabtu Pon tanggal 1 Jumadilawal tahun Jimawal 1677 J atau 20 Maret 1752. Dalam peperangan ini banyak pasukan musuh yang menyerah dan menyatakan bergabung dengan P. Mangkubumi, yakni Kapten Juwana orang Bugis, lengkap dengan prajurit Bugis, Galengsong dan Kraeng Daheng dari Terate dan Ujung Pandang. Para prajurit inilah yang nanti menjadi Korps Prajurit Kraton Yogyakarta.
Demikianlah peperangan demi peperangan terus berlangsung yang membawa banyak korban di kedua belah pihak. Di pihak Belanda tercatat nama Letnan Koen yang tewas dalam perang di Gawong, Dalam pertempuran di Juwana Residen Van Goens tewas, Letnan Van Gier tewas dalam perang di Grobogan, Letnan Foster tewas di pertempuran Gunung Tidar, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff luka parah pada ontran-ontran beteng Ungaran yang akhirnya juga tewas, Mayor Clereq dan Kapten Winter tewas dalam peperangan di Jenar (Bagawanta), dan prajurit Belanda yang tewas 3801 prajurit.
Melihat kenyataan ini, kemudian Belanda menggunakan politik de vide et impera (politik memecah belah). Melalui T. Sujanapura, Baron von Hohendorff berhasil menghasut R.M Said (P.H. Mangkunagara), dengan kemungkinan R.M. Said akan disingkirkan setelah P. Mangkubumi menang, sehingga menimbulkan rasa curiga R.M kepada P. Mangkubumi, paman sekaligus ayah mertua R.M. Said sendiri. R.M. Said terkena hasutan dan memisahkan diri dari pasukan Mangkubumen dan bergabung dengan pasukan Baron von Hohendorff memusuhi P. Mangkubumi. Dengan pisahnya R.M. Said dengan pengikutnya, maka kekuatan pasukan P. Mangkubumi tinggal 60 %. P. Mangkubumi yang sudah hampir mencapai kemenangan atas VOC, kini harus menghadapi VOC yang didukung pasukan dari Kasunanan Surakarta dan R. M Said (P.H. Mangkunagara)
Melihat peperangan yang tidak menguntungkan Belanda, maka Gubernur Jenderal Yacob Moesel meminta diadakan perdamaian dengan P. Mangkubumi melalui Sarib Besar Syekh Ibrahim dari Turki sebagai juru bahasa dan juru runding dari pihak Belanda bersama Nicolaas Hartingh.
Maka ketika VOC menyatakan ingin damai, dengan terpaksa Pangeran Mangkubumi harus menatap kenyataan bahwa belum saatnya VOC hengkang dari tanah Jawa dan beliau menerima tawaran perdamaian tersebut.
Sebelum perjanjian perdamaian dilaksanakan, diadakan pertemuan pendahuluan antara Nicolaas Hartingh dengan P. Mangkubumi bertempat di pesanggrahan Pangeran Mangkubumi di desa Padhagangan, Grobogan. Dalam pertemuan tersebut terjadi pembicaraan dan perdebatan yang sangat alot antara P. Mangkubumi dan Nicolaas Hartingh , sehingga sampai memakan waktu dua hari yaitu hari Minggu s/d Senin tanggal 22 s/d 23 September 1754. Perdebatan sengit tersebut meliputi tiga hal yaitu tentang pembagian wilayah, gelar raja dan lokasi bagian Pangeran Mangkubumi.
Tentang pembagian wilayah semula Belanda mengajukan separuh Jawa sebelah timur sebagai bagian Pangeran Mangkubumi karena toh basis pertahanan Pangeran Mangkubumi di bagian Timur, dan lokasi ibukota kerajaan bagian Pangeran Mangkubumi dikehendaki Belanda di Surabaya. Saran yang diajukan Belanda tersebut adalah saran yang dicari-cari, karena penyebab yang sebenarnya, orang-orang Jawa Timur sangat sulit diperintah oleh Belanda
Tentang pembagian wilayah dan lokasi ibukota kerajaan ini Pangeran Mangkubumi bersikukuh di wilayah Barat dengan ibukotanya Mataram Ngayogyakarta. Agaknya Pangeran Mangkubumi telah mengetahui gelagat Belanda dengan politik devide et empera nya. Jika letak keraton sebagai ibukota kerajaan pilihan P. Mangkubumi terlalu dekat dengan kraton Surakarta, Belanda sangat khawatir apabila dua raja tersebut bersatu untuk melawan Belanda, maka pihak Belanda akan sangat kerepotan.. Kegigihan Pangeran Mangkubumi dalam memilih lokasi kraton di Ngayogyakarta ini didasari pertimbangan yang sangat khusus yang tidak lepas dari nilai filosofis – magis berkaitan dengan lokasi dan topografi calon ibukota kerajaan Pangeran Mangkubumi tersebut. Dalam hal penentuan lokasi kraton sebagai puat pemerintahan ini Belanda terpaksa mengalah, namun untuk sebutan raja, Pangeran Mangkubumi juga mau mengalah dengan sebutan Sultan bukan Sunan karena jangan sampai sama dengan sebutan raja di Surakarta sehingga seolah – olah ada matahari kembar.
. Kemudian Perjanjian Perdamaian (Traktat reconciliatie) disetujui dan ditandatangani di desa Giyanti pada hari Kamis Kliwon, tanggal 29 Rabiulakhir, Be 1680 tahun Jawa, wuku Langkir atau tanggal 13 Februari 1755 yang lebih terkenal dengan Perjanjian Giyanti atau Palihan Nagari. Sebulan kemudian pada hari Kamis Pon, 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 13 Maret 1755 Sultan Hamengku Buwono I memproklamirkan bahwa separo dari Negara Mataram yang dikuasainya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. Tanggal ini (khususnya tanggal , bulan dan tahun Jawa) dinyatakan sebagai Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram - Ngayogyakarta.
Pada hari Kamis Pon tanggal 3 Sura,Wawu 1681 tahun Jawa, wuku Kuruwelut atau tanggal 9 Oktober 1755 M Sri Sultan Hamengku Buwono I mesanggrah di Ambar Ketawang dan memerintahkan untuk membangun Karaton Ngayogyakarta di desa Pacethokan dalam hutan Beringan.
Setahun kemudian, tepatnya pada hari Kamis Pahing tanggal 13 Sura, Jimakir 1682 tahun Jawa, wuku Julungwangi atau tanggal 7 Oktober 1756 M, Sri Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarganya memasuki Karaton Ngayogyakarta yang baru dan untuk sementara menempati gedhong Sedhahan.
Perpindahan Sultan Hamengku Buwono I dan keluarganya dari Ambar Ketawang ke Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat inilah yang saat ini diyakini sebagai hari jadi Kota Yogyakarta yakni tanggal 7 Oktober 1756 M. atau 13 Sura 1682 J. yang ditandai dengan candrasangkala memet Dwi Naga Rasa Tunggal ( 1682 J ) yang diukirkan di atas banon renteng kelir baturana kagungan dalem regol Kemagangan dan regol Gadhung Mlathi.
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat
Mengapa Pangeran Mangkubumi memilih Yogyakarta sebagai ibukota negara, karena Pangeran Mangkubumi disamping sebagai seorang yang ahli dibidang strategi perang, tetapi juga seorang arsitek yang sangat memegang teguh nilai historis maupun filosofis yang sangat dipercaya akan berpengaruh terhadap sikap perilaku dirinya sebagai raja sampai pada para kawulanya. Pada saat Kanjeng Sunan Amangkurat IV (Amangkurat Jawi ) memerintah di Mataram – Kartasura beliau mendapat wisik bahwa wahyu karaton jatuh di hutan Beringan. Maka Sunan Amangkurat Jawi yang juga ayahanda Pangeran Mangkubumi bermaksud untuk memindahkan kraton ke lokasi tersebut dan mulai membangun benteng dan calon kraton yang telah diberi nama Garjitawati.. Namun niat beliau belum terlaksana Sunan Amangkurat Jawi keburu wafat. Sebagai penggantinya adalah putra mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II yang juga kakak Pangeran Mangkubumi lain ibu. Pada saat pemerintahan Susuhunan Paku Buwono II nama Garjitawati diubah menjadi Ngayogyakarta yang di dalam bahasa Sanskerta berati telah selesai dikerjakan/dibangun dengan baik. Arti yang lain dari Ngayogyakarta berasal dari kata Yogya yang berarti baik dan karta berarti rahayu, tulus dan indah. Maka Ngayogyakarta berarti baik dan rahayu atau baik dan indah. Makna yang lebih dalam lagi adalah orang yang berdiam di Ngayogyakarta adalah orang yang berakhlak baik dan berhati tulus. Pada saat itu pesanggrahan di Ngayogyakarta dianggap suci karena difungsikan untuk pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri. Pertimbangan lain yang mendasar bagi Pangeran Mangkubumi memilih lokasi tersebut sebagai ibu kota negara adalah berkaitan dengan nilai filosofis magis. Dari sisi topografi letak Ngayogyakarta terletak diantara enam sungai yang mengapit secara simetris yaitu sungai Code dan Winanga di ring pertama, sungai Gajahwong dan kali Bedog di ring kedua , serta sungai Opak dan sungai Progo di ring ketiga.
Sebelah utara ada gunung Merapi yang masih aktif dan sebelah selatan ada laut Selatan. Penentuan lokasi oleh Pangeran Mangkubumi ini dapat dianalogikan dengan pemilihan lokasi bangunan suci oleh orang – orang Hindu. Menurut kitab-kitab suci agama Hindu untuk lokasi bangunan suci yang berupa candi dipilih tempat yang berbeda dengan alam sekitarnya karena menampakkan kekuasaan dewa atau keajaiban lainnya. Puncak gunung dan lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik, dataran tinggi yang menjulang di atas tepi lembah, tepian sungai atau danau, tempat bertemunya dua sungai, adalah diantaranya daerah yang baik untuk lokasi bangunan suci (Soekmono,1991). Apabila kita telusuri aliran sungai Progo dan Elo merupakan padanannya sungai Gangga dan Jamuna di India dan tidak jauh dari tempat itu terletak bangunan suci kota Bodh Gaya dan stupa Bharhut kalau di indonesia candi Borobudur, begitu pula Ngayogyakarta yang diapit oleh dua sunagi besar di ring paling luar, sungai Opak dan sungai Progo serta sungai Code dan Winongo di ring yang paling dalam. Puncak gunung menurut mitologi Hindu merupakan tempat bersemayamnya para dewa yang di Yogyakarta diwakili Gunung Merapi. Dengan setting lokasi seperti inilah Pangeran Mangkubumi menciptakan poros (sumbu) imajiner Gunung Merapi – Tugu Pal Putih -- Kraton – Pranggung Krapyak -- Laut Selatan.
Gunung sebagai ketenangan tempat suci, dataran pemukiman sebagai tempat aktifitas kehidupan manusia dan laut sebagai tempat pembuangan akhir dari segala sisa di bumi yang hanyut dan dihanyutkan ke laut. Penciptaan poros imajiner ini selaras dengan konsep Tri Angga (Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu – Tengah – Hilir serta nilai Utama – Madya – Nistha ). Secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min Allah) , manusia dengan manusia (Hablun min Annas) maupun manusia dengan alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari laut Selatan, angin (maruta) dan akasa (either). Demikian juga konsep Tri Hita Karana , tiga unsur yang menjadikan kehidupan (phisik, tenaga dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu imaginer tersebut. Tugu Golong Gilig / Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu golong gilig bagian atasnya berbentuk bulatan (golong) dan bagian bawahnya berbentuk silindris (gilig) dan berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih. Tugu Golong Gilig ini melambangkan keberadaan Sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya yang dilandasi menyembah secara tulus kepada Tuhan Yang maha Esa dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong – gilig) dan didasari hati yang suci (warna putih). Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini juga sebagai titik pandang utama Sultan pada saat melaksanakan meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara.
Filosofi dari Panggung Krapyak ke utara merupakan perjalanan manusia sejak dilahirkan dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (Brontodiningrat 1978). Visualisasi dari filosofi ini diujudkan dengan keberadaan kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak yang melambangkan benih manusia, pohon asem (Tamarindus indica) dengan daun yang masih muda bernama sinom melambangkan gadis yang masih anom (muda) selalu nengsemaken (menarik hati) maka selalu disanjung yang divisualisasikan dengan pohon tanjung (Mimusops elengi). Di alun – alun selatan menggambarkan manusia telah dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akhil baligh, yang dilambangkan dengan pohon kweni (Mangifera odoranta) dan pohon pakel. Masa muda yang mempunyai jangkauan jauh ke depan divisualisasikan dengan dengan pagar ringin kurung alun-alun selatan yang seperti busur panah. Masa depan dan jangkauan para kaum muda dilambangkan seperti panah yang dilepas dari busurnya. Sampai di Sitihinggil selatan pohon yang ditanam adalah pelem cempora (Mangifera indica) yang berbunga putih dan pohon Soka (Ixora coccinea) yang berbunga merah yang menggambarkan bercampurnya benih laki-laki (dilambangkan warna putih) dan benih perempuan (dilambangkan warna merah). Di halaman Kamandhungan menggambarkan benih dalam kandungan dengan vegetasi pohon pelem (Mangifera indica) yang bermakna gelem (kemauan bersama), pohon Jambu Dersono (Eugenia malaccensis) yang bermakna kaderesan sihing sasama dan pohon Kepel (Stelechocarpus burahol) yang bermakna kempel, bersatunya benih karena kemauan bersama didasari saling mengasihi. Melalui Regol Gadhung Mlathi sampailah di Kemagangan yang bermakna bayi telah lahir dan magang menjadi manusia dewasa.
Sebaliknya dari Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq . Golong-gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa dilandasi kesucian hati (warna putih) melalui Margotomo (jalan menuju keutamaan) ke selatan melalui Malioboro ( memakai obor/ pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus ke selatan melaui Margomulyo (jalan menuju kemuliaan), kemudian melalui Pangurakan ( mengusir nafsu yang negatip). Sepanjang jalan Margotomo,Malioboro dan Margomulyo ditanam pohon Asem (Tamarindus indica) yang bermakna sengsem/menarik dan pohon gayam (Inocarpus edulis) yang bermakna ayom/teduh. Di ujung jalan Pangurakan sebelah Selatan terdapat dua pohon beringin (Ficus benyamina) yang bernama Wok dan Jenggot yang melambangkan ilmu sejati yang halus, lembut dan rumit seperti halusnya rambut Wok dan Jenggot. Ilmu tersebut sebagai bekal orang akan menghadap Tuhannya. Jumlah pohon beringin di alun-alun Utara 64 (enam puluh empat) termasuk dua ringin kurung di tengah-tengah alun-alun. Jumlah tersebut sesuai dengan usia Nabi Muhammad menurut perhitungan tahun Jawa. Dua ringin kurung mempunyai nama yang berbeda. Ringin kurung sebelah timur bernama Janadaru, dan yang sebelah barat bernama Dewadaru. Kedua ringin kurung tersebut melambangkan Manunggaling Kawula - Gusti. Posisi ringin Dewodaru di sebelah barat dan Janadaru di sebelah Timur melambangkan konsep Hablum min Allah wa Hablum min Annas. Dasar alun-alun yang berpasir , jika siang panas dan jika malam dingin melambangkan di dunia ini hanya ada dua yang selalu berlawanan. Ada siang ada malam, ada susah ada gembira, ada jujur ada yang jahat dan sebagainya. Hendaknya mausia memilih jalan yang baik untuk menghadap Tuhannya di hari Kiamat nanti. Dari ujung jalan Pangurakan sebelah Utara sampai masuk ke Kedhaton akan melalui tujuh pintu (gapura / kori) yang melambangkan tujuh tangga menuju surga (the seven step's to heaven) atau tujuh surga bagi orang yang beriman. Tujuh pintu dimaksud adalah Gapura Gladhag, Gapura Pangurakan njawi, Gapura Pangurakan nglebet, Kori Sitihinggil, Kori Brojonolo, Kori Kamandhungan Lor dan Kori Danapratapa.. Adapun tujuh halamannya meliputi : Pangurakan njawi, Pangurakan nglebet, Alun-alun Utara, Siti Hinggil, Kamandhungan Utara, Sri Manganti dan Plataran Kadhaton. Tujuh pintu dan tujuh halaman tersebut melambangkan juga tujuh surga bagi orang yang beriman yakni : Jannatul Firdaus, Jannatul 'Adnin, Jannatul Khuluud, Jannatul Na'iem, Jannatul Salaam, Jannatul Jalaal dan Jannatul Ma'waa.
Keabadian hidup di alam akherat dilambangkan dengan adanya lampu yang tidak pernah padam sejak Sultan Hamengku Buwana I yang bernama Kyai Wiji di ndalem Prabayaksa.
KEPUSTAKAAN
Barmawi Umari, Drs.
1968 Analisa Tauhid, Ramadhani, Semarang - Sala.
Brongtodiningrat, K.P.H
1978 Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta
Buminata, G.P.H.
1958 Kuntharatama, Mahadewa Yogyakarta
Hertog Djojonegoro, K.R.T
1987 Ngayogyakarta Hadiningrat, Lembaga Javanologi Yogyakarta
Poespodiningrat, K.R.T
1987 Filsafat Bangunan Kraton Yogyakarta "Ngayogyakarta Sinandi"
Lembaga Javanologi Yogyakarta.
Ricklefs, M.C.
2002 Yogyakarta di bawah Sultan Mangkubumi 1749 - 1792, Sejarah
Pembagian Jawa (terjemahan), Matabangsa Yogyakarta.
Soedarisman Poerwokoesoemo, MR.
1986 Sejarah lahirnya Kota Yogyakarta, Lembaga Javanologi Yogyakarta.
Soekanto, Dr.
1952 Sekitar Yogyakarta, 1755-1825 (Perjanjian Gianti-Perang Dipanagara, Jakarta
Soekmono, Drs.
1991 Candi sebagai obyek Arkeolog (makalah seminar), Jakarta
Wibatsu Harianto, Ir. H.
1995 Kraton Dalem Ngayogyakarta Hadiningrat, Soemodidjojo Maha Dewa , Yogyakarta.
BIODATA
Nama : Ir. H. Yuwono Sri Suwito, MM.
Lahir di desa Kwasa, Klaten tanggal 14 Oktober 1951 dari keluarga Dalang. Ayah bernama Ki Pudjosumarto yang pernah menjadi dalang pribadi Presiden pertama R.I Bung Karno disamping Ki Gitosewoko. Ki Pudjosumarto juga sebagai guru dalang terkenal seperti Ki Nartosabdo, Ki Gondodarman dan Ki Gitosewoko.
Isteri bernama Rien W. Yuwono, 2 (dua) anak Himawan Andi Kuntadi, S.T, S.E dan dr. Yuanita Mardastuti.
Pendidikan S1 dari Teknik Sipil UGM, program Studi Teknik Sipil Transportasi, S2 dari Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta. Pernah menjadi dosen luar biasa pada beberapa Fakultas Teknik Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta seperti Universitas Janabadra (1982 - 1986), Univeritas Muhammadiyah (1983 - 1992), Universitas Cokroaminoto (1983 - 1988), dan pernah menjadi dosen tetap di program studi Teknik Arsitektur , Fakultas Terknik Universitas Islam Indonesia (1987 - 1989). Dosen tetap tersebut ditinggalkan setelah Menteri Keuangan R.I mengangkatnya sebagai Direktur Operasi dan Teknik di PT. Taman Wisata Candi BOROBUDUR dan PRAMBANAN (Desember 1989 s/d April 2001). Saat ini aktif di organisasi yang berkaitan dengan budaya, antara lain sebagai Ketua Lembaga Javanologi Yogyakarta , Ketua Dewan Kebudayaan Propinsi D.I.Y (tahun 2005), dan Penasehat Jogja Heritage Society, dan mengajar di program Diloma III Pariwisata UGM. Sering menjadi pembicara seminar yang kebanyakan berkaitan dengan kebudayaan. Pernah melakukan penelitian tentang Konstruksi Bangunan Karaton Surakarta (1989). Karya yang dipublakisan berupa buku (karya tim penulis) : Upacara Ruwatan, Sebuah Pedoman (1991), Ramayana, Transformasi, Pengembangan dan Masa Depannya (1998), Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Indonesia (1998), Bharatayudha (2004), Wawasan Budaya untuk Pembangunan (2004).
Tahun 2005 sebagai Ketua Tim Penulis Buku Pedoman Pelaksanaan Upacara Adat dan buku tentang Daur Hidup.
Penghargaan yang pernah diterima : Satya Lencana Wirakarya (1995), Tokoh Pariwisata D.I.Y (1995), Adi Karya Award (1996), Satya Lencana Pembangunan (1998), Dosen Teladan PPKP - UNY (1998) dan Penghargaan Gubernur D.I.Y sebagai Budayawan Yogyakarta (2007).
Kalau boleh dipertanyakan;
ReplyDelete1. Mengapa harus ada perjanjian Giyanti.
2. Kemudian sudah ada Perjanjian Giyanti mengapa harus ada perjanjian Salatiga?
3. Dalam perjanjian Giyanti Mengapa tidak melibatkan pihak pihak yang bertikai dan berpengaruh secara keseluruhan?
4. Mengapa Mataram harus dipecah?Apa tidak lebih baik satu utuh dengan satu raja yang tunggal menguasai kerajaan?
5. Mengapa Pangeran Mangkubumi menerima pemecahan Kerajaan yang diperhalus dengan bahasa "Palihan Nagari' ? dalam perundingan dengan Nicollaas Hartinghs mengapa pula begitu menerima konsep pembagian kerajaan? Mengapa konsep pembagian tidak ditolak dan perang dilanjutkan?Bukankah VOC sudah hampir kalah?
Saya sedang menelusuri makam Gn Tambal, Pandak Bantul yang disana juga dimakamkan AP Jayaningrat, T.Jayawinata/Gajah Pramodo dll, Kabanaran dimaksud daerah mana? apa Bagelen sebelah timur Purworejo? Nama Jayawinata di silsilah yang kami punya ada 3 , mereka semua anak turun Ky Wonokriyo/R Riyo yang dimakamkan di Jejeran Sewon bantul (dr R Sunu AT , di wonogiri)
ReplyDelete