c

Friday, 5 February 2010

Kota, Kraton dan Kampung Yogyakarta

Bukan hanya pemimpin yang handal dan panglima perang yang tangguh, Sultan Hamengkubuwana I juga perencana kota yang cermat dan cakap. Dengan pandangan yang jauh dan menyeluruh, beliau meletakkan dasar-dasar bagi tata ruang dan kegiatan ibu kotanya yang dalam banyak hal masih penting hingga saat ini. Secara fisik, sosial, fungsional dan simbolis kota, keraton dan kampung Yogyakarta menyimpan banyak hikmah untuk dikaji. Mari kita pahami bersama kota yang merupakan warisan terbesar buah cipta Hamengkubuwana pertama.

Toponim . . .

Kota Yogyakarta dirancang dengan seksama, karena dicita-citakan menjadi kota yang “terluhur di dunia”. Sultan Hamengkubuwana bersemayam cukup lama di pesanggrahan Ambarketawang, istana sementara di sisi barat Yogyakarta agar cukup waktu untuk menata susunan kota dan segala isinya sehingga kota dapat menjadi tempat kediaman bagi semua dengan sejahtera dan merata.

Jalan panjang dan lurus direntangkan membujur utara-selatan di tengah kota. Monumen tugu tegak di persimpangan jalan ujung utara dan di pangkal selatannya terdapat Panggung Krapyak, bangunan persegi yang juga menjadi pusat padang perburuan rusa. Dalam lingkungan yang lebih besar, jalur ini bisa dibentangkan ke utara menerus ke Gunung Merapi dan ke selatan menjangkau Laut Selatan, dua unsur penting di bentang alam yang membentuk ruang dan jiwa negri Yogyakarta.

Di dalam kota, lajur panjang ini menjadi pengikat utama susunan jaringan jalan, kampung-kampung tempat kediaman serta berbagai sarana yang menghidupkan kota. Saat ini kita dapat berjalan menyusurinya dan masih bisa mendapati elemen-elemen penting kota yang telah ada di masa pemerintahan Sultan pertama. Istana yang menjadi tempat kediaman Sultan dan jantung kehidupan kota terletak tepat di tengah poros ini menghadap ke utara. Di depan terdapat alun-alun tempat warga kota berkumpul di keramaian atau bersila mengajukan permohonan pada Raja. Masjid raya ada di sisi baratnya tempat umat Islam bersama punggawa negara dan junjungan mereka menghadap Allah bersama-sama di dalam shalat jamaah sebagai hamba Yang Mahakuasa. Dua beringin rimbun melambangkan kesetimbangan jagad raya tertanam kokoh di pusat alun-alun utara dengan enam puluh empat beringin lain mengelilinginya menghamparkan kesejukan di tengah kesibukan kota.

Di seputar istana terdapat kampung-kampung permukiman abdi dalem yang melayani keseharian raja dan istana dengan rumah-rumah besar atau dalem tempat kediaman kerabat terdekat Sultan. Keseluruhan kompleks ini di masa menjelang akhir pemerintahan Hamengkubuwana I dilingkupi oleh benteng tebal berparit sekelilingnya. Terdapat lima gerbang (plengkung) yang menghubungkan bagian kota yang ada di dalam benteng (jeron bètèng) dan kawasan di sekitarnya, Plengkung Nirbaya di selatan, Madyasura di timur, Tarunasura dan Jagasura di utara, serta Jagabaya di barat. Saat pasukan Inggris dan sekutunya mengepung dan menyerbu benteng Yogyakarta yang dikenal sebagai Gègèr Sepèhi pada tahun 1812, plengkung Madyasura runtuh sehingga warga Yogyakarta menggambarkan susunan kota yang baru dalam tembang Mijil sebagi berikut:

Ing Mataram bètèngira inggil/ ngubengi kedhaton/ plengkung lima mung papat mengané/ jagang jero toyanira wening/ apager pinacak suji/ gayam turut lurung.
Di Mataram tinggilah bentengnya/ melingkupi istana dan sekitarnya/ gerbang lima hanya empat yang terbuka/ parit keliling yang dalam sungguh jernih airnya/ pagarnya rapi terjalin/ pohon gayam berjajar sepanjang jalan.

Berjalan ke utara kita jumpai perempatan yang menuju ke kawasan di seputar kota dan fasilitas lain ada di sisi utaranya. Tak dapat dipungkiri, Yogyakarta didirikan di bawah pengaruh besar kekuasaan kolonial Kompeni Belanda. Hal ini tampak dengan keberadaan kediaman resmi Residen Belanda dan benteng markas pasukan tepat di utara perempatan ini. Selangkah berikutnya kita jumpai Pasar Gedhé yang kemudian bernama Beringharjo menjadi pusat kesibukan perniagaan kota. Tak jauh di utaranya, terdapat kompleks Kepatihan, tempat kediaman Patih Danureja, punggawa utama sederajat perdana mentri di masa kini, yang sekaligus juga menjadi pusat kegiatan administratif negara.

Di ujung utara jalan raya, yang kemudian disebut sebagai Malioboro atau Margatama yang berarti jalan keutamaan, didirikan tugu yang kokoh di persimpangan jalan. Tugu ini berpuncak pada sebentuk bola (dalam bahasa Jawa disebut golong) yang disangga tiang silinder (gilig) sehingga monumen ini dinamai Tugu Golong Gilig yang melambangkan kebulatan tekad segenap warga kota Yogyakarta untuk menyatu dengan raja mereka dalam mencapai cita-cita mulia. Monumen yang tegak tunggal ini juga mengisyaratkan ketauhidan agar manusia selalu mengesakan Tuhan sesembahan mereka. Saat baginda bertahta di persidangan di Siti Hinggil utara yang ditinggikan, pandangan matanya terfokus pada sosok tunggal yang tegak ini agar selalu ingat tugas yang diembannya, menyatukan rakyat agar mendapat anugrah dari Yang Mahaesa. Karena roboh saat gempa besar tahun 185… , yang kita dapati sekarang berupa tugu lancip adalah bangunan pengganti yang didirikan pada tahun 187 …

Pada awalnya, Malioboro menyandang peran utama sebagai jalur seremonial untuk menyelenggarakan berbagai perarakan agung dan poros simbolis untuk mengisyaratkan nilai-nilai luhur yang melandasi perkembangan kota Yogyakarta. Saat kegiatan ekonomi dan perniagaan kota mulai berkembang lebih pesat, jalan utama ini mendapatkan peran barunya sebagai kawasan komersial, khususnya yang dilakukan oleh warga Tionghoa yang semula terbatas berkegiatan di Ketandan dan Kranggan. Maka Malioboro pun jamak disebut dengan nama Pecinan.

Dari masa ke masa, kota Yogyakarta berkembang. Selalu ada bagian yang bertambah dan berubah, tanpa harus kehilangan akar budayanya. Yogyakarta menjadi kota yang tetap kehidupan yang baik karena beberapa hal yang diwariskan dari masa awal pembentukannya, yakni: kesetimbangan antara yang duniawi dengan yang spiritual, pemilihan lokasi yang baik,

No comments:

Post a Comment